Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

03 June 2012

Seberapa Besar Daya Juang Mereka, UN SMP 2012 #6

Pada artikel saya sebelumnya, http://www.aguslistiyono.blogspot.com/2012/06/un-smp-2012-5-adakah-praktek-kotor.html, yang berbicara adanya dugaan kami, atau kemungkinan akan adanya aroma buruk tentang praktek kotor dalam pelaksanaan UN SMP tahun ini, yang tentunya pemain utamanya adalah anak-anak kami sebagai peserta UN dengan sponsor langsungnya adalah para penjual kunci jawaban UN dan sponsor tidak langsungnya adalah para penyandang dana, saya akan melanjutkan asumsi dari dugaan tersebut dalam artikel ini. Dimana kelanjutan dari skenario tersebut adalah mereka yang terduga tersebut merupakan prototipe sebuah generasi yang tidak cukup memiliki daya juang. an dari beberapa kasus yang kami lihat, dikemudian harinya, anak-anak dengan nilai UN yang ujug-ujug tinggi tersebut, rata-rata akan menyurutkan langkahnya kebelakang karena memang secara realita kompetensinya tidak berbanding lurus dengan nilai UN yang dimilikinya saat UN. Tetapi kenyataan ini, yang cukup membuat kami sedih adalah tidak atau minimal belum lahirnya kesadaran dari pihak orangtua akan 'gerak-gerik' para anandanya. Alhasil, meski langkah mereka surut kebelakang beberapa langkah  setelah sebelumnya melompat ke depan.
Melompat ke Depan

Yang saya maksud dengan langkah mereka yang melompat ke depan adalah karena secara harian dalam kehidupan normal di dalam kelas, mereka adalah anak-anak yang memang secara khusus butuh perhatian dari para gurunya. Misalnya dalam hal pemahaman terhadap materi pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Mereka anak-anak yang benar-benar memerlukan dorongan. Meski secara normal dalam setiap tahunnya jumlah mereka tidak lebih dari lima anak untuk seluruh angkatannya. Sebuah angka normal untuk sebuah kurva normal. Meski juga harus saya sampaikan di sini bahwa mereka bukan anak-anak yang oleh beberapa orang disebut sebagai kurang. Mereka hanya berada satu titik di bawah anak-anak dengan prestasi normal di kelas.

Namun tidak dipungkiri pula bahwa ada diantara mereka yang berada dalam posisi normal atau dalam strata rata-rata di dalam kelasnya. Meski demikian, pada posisi itulah guru menjadi terkaget dan bertanya manakala pada hasil UN nilai mereka yang jumlahnya lebih kurang lima anak tersebut melonjak tinggi dan berada pada posisi sepuluh terbaik.

Lalu darimana hasil UN tersebut menjadi tinggi sebagaimana yang saya uraikan itu? Allahu a'lam bishawa. Karena secara normal, berdasarkan pada  kompetensi akademik yang dimiliki beberapa anak didik kami tersebut, harusnya bukan berada pada titik itu posisi mereka. Inilah yang saya maksudkan dengan istilah melompat.

Surut ke Belakang

Lalu apa yang saya maksudkan dengan surut ke belakang? Karena dengan nilai UN yang melompat tersebut, beberapa anak yang berhasil memperoleh nilai UN melompat tersebut menggunakannya untuk dapat masuk ke SMA dengan passing grade yang bagus-bagus. Meski, sekali lagi, hampir semua dari mereka yang berhasil melompat itu telah memiliki sekolah swasta yang juga telah diselesaikan administrasinya.

Dan inilah yang akhirnya terjadi, beberapa lagi dari mereka yang telah masuk SMA pilihannya dengan modal hasil UN yang melokpat itu hanya masuk lebih kurang satu semester untuk akhirnya surut ke belakang. Langkah surutnya kebelakang ini, sejauh saya mengetahunya, terdapat dua langkah. Langkah pertama adalah berhenti sekolah dan memilih untuk home schooling. Dan langkah keduanya, adalah pindah sekolah ke sekolah yang lebih kurang dengan passing grade yang lebih rendah.

Mengapa mereka yang kami duga memiliki nilai UN dengan melompat tersebut pada akhirnya memilih langkah untuk surut ke belakang? Menurut asumsi saya, karena secara mendasar, kompetensi mereka atau daya juang mereka tidak cukup besar untuk melakukan sebuah lompatan. Atau setidaknya, ketika melakukan lompatan, mereka terlalu jauh.

Dan inilah salah satu implikasi bahwa memperoleh nilai UN dengan cara-cara instan, hanya berakhir kepada sebuah kenangan yang menyakitkan sekaligus tidak akan pernah membanggakan. Apalagi menaikkan martabat kita. Lalu apa pilihan Anda untuk UN tahun berikutnya?

Jakarta, 03062012.

No comments: