Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

02 July 2012

Para Pengunjung Studi Banding

Sebelum menuliskan apa yang tiba-tiba menggelayuti pikiran  saya,  tentu yang berkenaan dengan menimba ilmu atau belajar, ada baiknya bila saya sampaikan sepenggal cerita atau sebuah laporan pandangan mata. Karena dari kisah inilah catatan ini harus saya sampaikan dalam halaman ini agar tidak memberati memori batin saya.

Bahwa ada sebuah  sekolah, seharusnya tidak sekolah saja. Karena sangat boleh jadi Ia berupa lembaga, institusi, atau mungkin juga tempat usaha, sebagai tempat berkumpulnya para pagawai dan bisa jadi bersama pemiliknya. Namun Mengingat saya yang menrangkainya, dan latar belakang saya adalah guru, maka menceritakan tentang sekolah akan jauh lebih mudah dan lebih kontekstual. Karena sekolah sudah menjadi bagian dari diri saya. Ia sudah inheren dan menyatu.

Dan inilah kisah saya yang kebetulan saya dapatkan sore itu di sebuah tangga., di lembaga dimana selama ini menjadi tempat berkaryanya. Teman saya, yang baru saja selesai mendapat kunjungan dari sekolah lain dalam rangka studi banding. Teman saya yang juga berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta di Jakarta itu bercerita keopada saya justru tidak dalam kerangka bangga karena sekolahnya mendapat kunjungan studi banding dari sekolah luar daerah. Teman saya yang bekerja di sebuah sekolah yang menjadi rujukan banyak pihak untuk menimba ilmu dalam mengelola sebuah lembaga sekolah formal berbasis agama yang berhasil. 

Pendek kata, tidak salah bila teman saya akhirnya menceritakan apa yang menjadi pengalamannya atas kunjungan studi komparasi dari guru-guru dari lembaga  sekolah yang berada di luar daerah. Suatu usaha yang bagus bila hasil studi komparasi itu pada akhirnya menginspirasi para pengunjung itu untuk kemudian mengadopsi yang baik yang mereka temui di sekolah yang dikunjungi untuk kemudian mengangkat  mental belajar semua teman dari teman saya yang menjadi pengunjung itu. Mulia bukan?

Namun menjelang penguhujung pertemuan antara saya dengan teman saya itu berakhir, ia emnyampaikan kekecewaannya bahwa, orang-orang yang berkunjung ke sekolahnya, hampir semua, katanya, masih silau dengan fasilitas yang sekolahnya miliki. Dan dari kesilauan itu para pengunjung sering mengukur sebuah keberhasilan. 
  • Para pengunjung studi banding itu hanya memiliki kacamata sarana dan prasarana sebagai pembuka setiap diskusi. Mereka, kata teman saya, tidak melihat bagaimana sebuah hasil itu berproses. Karena mereka sudah terlanjur terkesima bukan kepada effort para gurunya seperti kami ini, katanya, tetapi justru selalu dikaitkannya dengan alat, sarana, dan prasarana yang kami miliki. Jelas teman saya penuh semangat.
  • Mengapa mereka bisa berpandangan seperti itu? Desak saya lebih jauh.
  • Menurut saya, kata teman saya, itu terjadi karena mereka merasa tidak terlibat dalam sebuah keberhasilan. Mereka berpikir bahwa keberhasilan sebuah lembaga itu berangkat dari sarana dan prasarana yang lengkap. Dan bukan karena usaha keras para individu yang berada dalam komunitasnya. Mereka mengeliminir mental belajar mereka sendiri dengan sadar sesadar-sadarnya.
Saya tentu saja pusing mendengar argumentasi yang dikemukakannya. Maklum, apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang masih absurd bagi saya. Ini terjadi mungkin karena besar sekolah dimana saya berada selama ini tidak lebih besar dari sekolahnya. Meski begitu, saya berusaha keras untuk memaknai beberapa pilihan kata yang terlontar dari benaknya tadi. Seperti effort, mental belajar, sarana, dan prasarana sekolah.

Dan dari sekelumit hasil pertemuan tersebut, saya selalu  mensyukuri sebagai pertemuan yang merangsang pikiran saya. Semoga. Amin.

Jakarta, 25/06-02/07/2012

No comments: