Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

31 March 2009

Takut Dicontek

Nah ini penyakit yang sering nyerang bagi siapa saja, bisa juga sebuah sekolah, yang menganggap diri telah maju atau minimal lebih maju dari yang lain. Karena telah merasa memperoleh kemajuan tersebut, maka takut sekali kemajuan yang telah dipunyai dengan penuh pengorbanan dan investasi yang mungkin tidak terhitung sedikit, menjadikan dirinya takut disamai atau takut kemajuannya dicontek sekolah lain. Model sepertin memang tetap sah-sah saja. Apalagi sebagai sekolag atau lembaga swasta, yang segala daya dan upayanya akan memiliki akibat lurus bagi masa depannya.

Bagaimana cara menyimpannya?

Ada yang menyimpan rapat-rapat apa yang telah dimilikinya dan ditutup secermat mungkin dan mengontrol amat lekat arus data dan informasi yang dianggapnya sebagai 'pembeda' yang masuk dalam kategori kemajuan.Ada juga yang menyimpan kemajuan tersebut hanya pada satu orang. Sehingga tidak semua guru atau karyawan apalagi tamu serta pengunjung mampu dan diberikan akses. Pendek kata kemajuan yang telah diperoleh menjadi rahasia bagi sebuah keberhasilannya. Oleh karenanya kepada seluruh komunitas sekolah dimintanya untuk menyimpan apa yang menjadi resep keberhasilan sekolah tersebut.

Beberapa tahun yang telah lalu saya berkesempatan untuk memperdebatkan apakah para tamu kunjungan dari sekolah lain diijinkan mengambil foto, meminta dokumen dalam bentuk foto copy dan bentuk lainnya. Seusai perdebatan, kami memutuskan bahwa apapun yang diminta tamu yang mengunjungi sekolah kita akan kita berikan dalam batas kewajaran.

Mengapa? Karena yang mereka minta adalah sekedar dokumen. Yang dapat digandakan dan dibagikan kepada pihak lain sebagai hasil studi banding. Tetapi ruh dokumen dari dokumen tersebut tidak akan mungkin ditransfer dalam konstelasi yang berbeda. Karena untuk melakukan hal itu dibutuhkan 'cita rasa' yang sama.

Dan ruh itu ada dalam proses ketika dokumen tersebut diproduksi. Dan kualitas ruh tersebut hanya lahir dari orang-orang yang bekerja penuh dedikasi serta integritas.
Dengan argumentasi seperti ini, maka saya tidak pernah mempunyai rasa takut untuk dicontek.

Alasan pertama; karena saya sendiri (dan mungkin juga lembaga dimana saya bernaung) tidak memiliki sesuatu yang mungkin dapat dicontek.dAlasan kedua; contek dan foto copilah apa yang mungkin kami punya. Karena toh tahun atau mungkin juga bulan depan kami akan berkumpul kembali untuk merumuskan apa yang kami inginkan terjadi di tahun taubulan berikutnya.

Pulomas, 31 Maret 2009.

26 March 2009

Menjadi Tukang Ketik


Inilah pekerjaan yang saya lakukan dalam setiap perumusan program sekolah untuk masa tahun pelajaran berikutnya. Tapi tidak hanya saya sendiri yang menjadi tukang ketik tersebut. Mengingat ada beberapa bidang dalam program sekolah tersebut, maka konsekuensinya juga ada lebih dari satu tukang ketik.

Seperti dalam dua kali pelaksanaan 'workshop' guru di TUGASKU yang telah lalu. Dimana guru dalam setiap unitnya kita bagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok yang akan menyusun Standar Kompetensi Siswa dan kelompok yang akan menyusun Standar Kompetensi Guru. Dimana dalam setiap kelompok tersebut dibekali sumber yang berbeda. Untuk kelompok siswa dibekali SKL dan Standar Isi dari BNSP. Sedang kelompok Guru dibelkali Standar Kompetensi Guru dari Depdiknas. Sekaligus dengan sumber yang berbeda, serta tentunya, tukang ketik sebagai pendamping masing-masing kelompok yang berbeda pula.

Apa hasilnya? Dalam dua pertemuan terdahulu kita telah menghasilkan dua produk berharga hasil dari kompilasi pendapat para dewan guru yang terkumpul sebagai dokumentasi hasil workshop. Yaitu SKS dan SKG. Hasil ini kami kembangkan sebagai lanjutannya, yaitu KTSP dan Sistem Penilaian Kinerja atau SPK.

Dalam KTSP, selain SKS yang telah kita hasilkan, kita juga akan menjadikan dokumen KTSP sebelumnya dan silabus guru sebagai bahan revisi. Sedang SPK akan mengacu kepada SKG yang ada selain juga akan merevisi SPK sebelumnya. Dan dua hal ini berhasil kami lakukan dalam workshop guru pada Jumat, 27 Maret 2009.

Kami berharap semoga apa yang telah dihasilkan teman-teman dalam workshop tersebut dapat menjadi peta perjalanan kita dalam proses pertumbuhan. Dan saya sangat bahagia ketika berperan sebagai tukang ketik bagi teman-teman dalam usaha pendokumenasian mimpi teman-teman semua.

Cipete, 26-27 Maret 2009 (17.00).

19 March 2009

Persahabatan

Kami pernah selama tiga tahun penuh bersama sebagai sahabat ketika usia kami 16-18/19 tahun. Ketika kami berada di bangku sekolah menengah. Ada diantara kami yang sejak kelas 1 hingga kelas 3nya selalu bersama dalam satu kelas. Namun banyak kegiatan yang kami lakukan bersama. hingga menginap bersama. Terutama saat kami menginjak di bangku kelas tiga. Dimana kami sama-sama mempersiapkan ujian. Terutama di rumah kawan kami yang hidup sendiri di Kalimiru karena orangtuanya berada di Lahat (?). 
 
Namun untuk terus memelihara persahatan kami, selain ber sms atau email, kami menyempatkan diri untuk saling mengunjungi saat kami bisa pulang kampung. Dan Idul Fitri adalah waktu paling tepat bagi kami untuk menjalin silaturahim.
Foto ini diambil saat liburan Idul Fitri 2008 yang lalu. Kami sempatkan untuk berkumpul. meski dalam kondisi kelelahan. Dari kiri ke kanan: Sutomo, teman kami yang setia dengan tanah kelahirannya. Ia menjadi Guru dan bertugas dan tinggal di Cangkrep Kidol; Saya; Pujiono, sahabat kami yang merantau paling jauh. Ia sekarang di Bengkulu; Heri Pranoto, mengajar di Bayan dan sekaligus sebagai reporter media TV. Nah beliau adalah orang yang paling lelah malam itu. Mengingat saat lebaran adalah saat paling 'banyak berita'. Makanya kawan kami Pujiono yang bertugas menunggu dan membawa beliau sepulang dari 'lahan bertia' di Kebumen; dan yang paling kanan Suryono, mengajar dan tinggal di Bayan.

18 March 2009

Mengajar Kelas I SD

Inilah pengalaman yang sebelumnya tidak terbayangkan. Tidak terbayangkan karena saya sendiri adalah guru muda yang baru lulus dari Sekolah Pendidikan Guru pada Juni 1984 dan penawaran itu saya terima pada Juni 1986. Sehingga kalaupun saya diberikan kepercayaan mengajar dan menjadi guru kelas satu tentu itu diluar apa yang saya harapkan. Seperti sejak Desember 1985, ketika awal saya diterima menjadi bagian di sekolah yang menjadi universitas guru bagi saya secara aplikatif tersebut, untuk membantu dan mendampingi mengajar di kelas dua. Dan mendapat tugas di tingkat kelas ini maka saya merasa melakukan proses belajar dengan wajar.

Namun mulai Juli 1986 almarhum Bapak Setiono selaku Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Masjid Al Ikhlas dan Bapak M. Mudjib selaku kepala sekolah pada saat itu memberikan amanah agar saya mengajar dan menjadi guru kelas di kelas satu.

Apa yang menjadikan saya begitu berat untuk memegang amanah tersebut? Tidak lain karena mengajar di kelas satu adalah suatu yang menurut saya pribadi menjadi spesial. Mengingat usia saya yang masih muda sementara kelas awal di SD tersebut terdiri dari anak-anak yang butuh perhatian dan keahlian serta keterampilan yang jauh lebih baik. Sedang yang saya punya?

Ketika keberatan dan kondisi saya sampaikan kepada kepala sekolah, justru kepala sekolah memberikan dorongan dan meminta saya untuk mencoba. Kalau bukan Pak Agus, untuk saat ini, kita belum ada guru yang cocok untuk menjadi guru kelas satu. Demikian jelas kepala sekolah.

Meski semua doa telah saya panjatkan untuk kekuatan agar saya benar-benar mampu mengajar di kelas satu, tak pelak lagi tekanan berat tetap menjadi beban yang tidak mudah saya hilangkan. Hari-hari pada awal tahun pelajaran menjadi guru kelas satu merupakan masa yang menurut saya waktu berjalan begitu lambat..

Pagi hari begitu azan Subuh berkumandang rasa berat itu bergelayut di hati dan pikiran saya. Tak jarang saya berguman mengapa justru saat dari sore hingga pagi waktu berjalan begitu cepat? Dan tak jarang saya menitikkan air mata merasakan beratnya tekanan itu. Dan sepanjang perjalanan di bus kota dari Minangkabau di Manggarai hingga Cipete, tidak henti-hentinya saya memvisualisasikan pembelajaran yang akan saya lakukan di dalam kelas nanti.

Yaitu bagaimana dan apa yang saya harus lakukan saat sampai di sekolah dan memasuki ruang kelas, ketika bertemu siswa saya yang diantar oleh orangtuanya atau oleh susternya, apa yang akan saya lakukan saat jam pelajaran pertama berlangsung, bagaimana jika siswa saya masih ada yang belum berani ditinggal pergi oleh orangtuanya sehingga siswa tersebut harus ditunggui ayah atau ibunya dengan duduk disampingnya di dalam kelas, atau bagaimana saya harus bersikap jika ada beberapa orangtua siswa yang terutama ibu-ibu mendampingi putra atau outrinya dengan menonton di jendela sekolah yang pada masa itu tidak menggunakan AC, dan semua hal hingga siswa pulang dan kelas berakhir?

Dan tidak jarang ketika pikiran masih membebani saya untuk melangkah menju sekolah, jarak saya dengan kelas saya menjadi dekat sekali. Yang bararti saya harus siap lahir dan batin, yang berarti juga bahwa memvisualisasi tidak mungkin lagi saya lanjutkan.

Pada masa-masa ini, waktu berakhirnya kelas menjadi waktu atau masa yang benar-benar saya nikmati sebagai waktu bebas tiada beban sama sekali. Dan saya akan mengisinya dengan penuh gembira seperti saya bercengkerama dengan sesama teman. Tidak jarang pula saya sempatkan untuk berkunjung atau mampir ke tempat kontrakan teman sebelum saya berniat pulang ke Pasar Rumput.

Ya, seperti apa yang telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa modal lagu dan bercerita, saya merasakan pertolongan yang luar biasa. Dengan bercerita, saya menyampaikan keinginan kepada siswa saya untuk dan harus seperti apa. Sedang dengan lagu, saya juga jadikan selingan dan pelajaran kebersamaan.

Tahap pertama saat membelajarkan sebuah lagu adalah mengenalkan irama dan nada lagu tersebut tentunya dengan saya memberikan contoh secara berulang-ulang, sebelum siswa saya akan mengikuti saya bait demi bait dari lagu tersebut. Dan tahap akhirnya adalah kita menghafakan syairnya. Dan ketika syair telah dihafalkan oleh sebagian siswa, saya mengajak siswa untuk keluar kelas dan pindah ke aula masjid yang ada di dalam kompleks sekolah. Dan untuk mengurangi kejenuhan, saya akan membagi siswa dan siswi untuk menyanyikan bagian syair lagu secara bergantian dan seterusnya. Ini semua saya lakukan sebagai ikhtiar agar siswa tidak bosan karena dalam setiap tahap selalu ada yang berbeda sehingga mereka merasakan selalu ada tantangan.

Setelah bulan pertama terlewati, catur wulan pertama juga berhasil saya lalui, tantangan demi tantangan menjadi telah biasa bagi saya. Meski demikian diluar jam mengajar saya sempatkan untuk melihat kelas teman yang bisa menjadi inspirasi bagi saya dalam mengajar.

Itulah bagian hidup yang tidak akan mungkin saya sendiri lupakan. Bagian yang menjadi pondasi bagi kehidupan saya di hari berikutnya…

Slipi, 15 Maret 2009.

(Tulisan ini nyambung juga ke: Berawal dari Kelas,Undangan Reuni dan Ponten)

Polusi

Cerita ini berasal dari salah seorang dari calon orangtua murid yang berkeinginan mendaftarkan putrinya. Selama ini putrinya bersekolah di kelas tiga salah satu sekolah dasar swasta yang tergolong favorit di kawasan paling elit di bilangan Jakarta Selatan.

Katika saya tanya mengapa ibu memindahkan putrinya dari sekolah yang tergolong bagus? Ibu menceritakannya bahwa keputusan pindah sekolah bukan hanya menjadi keputusannya saja, tetapi juga menjaii keputusan anaknya sendiri. Mengapa putrinya juga turut andil dalam pengambilan keputusan pindah sekolah? Hal ini tidak lain karena menurut sang putri, ia tidak merasa nyaman lagi untuk pergi ke sekolah guna menuntut ilmu.

Ketidaknyamanan tersebut berawal dari jawaban sebuah soal yang diberikan putrinya dalam suatu tes atau yang mereka sering sebut ulangan harian. Jawaban putri salah menurut bu guru, padahal menurut sang putri, dan juga menurut dirinya serta akal sehat memang benar. Ulangan dalam topik polusi tersebut, guru menemukan jawaban putrinya, sampah untuk pertanyaan; Apakah penyebab polusi udara?

Menurut sang putri jawaban sampah untuk soal penyebab polusi adalah benar. Hal ini didasari kenyataan bahwa tumpukan sampah dipojok jalan dekat rumahnya sering menyebarkan bau tak sedap ketika ia melewatinya. Bau tak sedap tersebutlah yang dimaksud sebagai polusi udara.

Keesokan harinya Ibu tersebut mencoba memberanikan diri untuk mengkonfirmasikan jawaban yang disalahkan guru padahal menurut putrinya benar. Namun alangkah kecewanya sang ibu dengan jawaban guru. Jawaban putrinya salah. Karena ketika latihan, guru telah menjelaskan pada siswa bahwa penyebab polusi udara adalah debu. Jika jawabannya sampah, maka salah. Tidak sesuai dengan apa yang telah dilatihkan dalam latihan soal tempo hari. Luar biasa.

Jadi ibu positif memindahkan putrinya di sekolah ini? Ibu itupun mantap menjawabnya. Padahal ia itu tahu bahwa sekolah saya adalah bukan sekolah yang memiliki prestasi segudang sebagaimana yang dimiliki sekolah-sekolah lain seperti juara nilai ujian akhir sekolah/nasional. Di tingkat kebupaten sekalipun!

Renungan Kita

Sebagai orang yang berprofesi sebagai guru, kasus yang dialami oleh seorang siswa tersebut, sudah seharusnyalah menjadi pelajaran bagi kita untuk melihat apa yang telah kita lakukan di dalam kelas. Karena hanya dengan cara inilah kita akan menjadi baik hari demi hari. Pernahkah kita mengalami hal demikian?

Sesungguhnya semua jawaban siswa yang berasal dari proses berpikirnya adalah benar. Hal ini jika kita mau bersabar untuk mendengarkan alasan yang akan dia kemukakan. Artinya jika menemukan jawaban yang berbeda dengan apa yang telah kita ajarkan dan berbeda dari buku yang menjadi pegangan siswa, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tetapi cobalah mengajukan pertanyaan untuk menggali mengapa dia menjawabnya demikian. Dengan cara demikian maka si anak tetap merasa dihargai atas jawaban yang diberikan dan guru juga tidak salah dalam mengambil keputusan.

Jawaban yang guru sampaikan sebagaimana cerita di atas sesungguhnya telah membuat akan didiknya menjadi putus asa karena sama sekali tidak mendapatkan penghargaan sebagaimana yang diharapkan. Bukankah sampah organik dalam jumlah tertentu yang membusuk memang membuat polusi udara?

Slipi, 7 September 2003

11 March 2009

Berawal Dari Kelas



Ketika membalik-balik album, harap maklum bahwa era 90-an, dimana saya mengajar di kelas satu SD di SD Islam Al Ikhlas Cipete kamera digital masih menjadi milik segelintir orang Indonesia, itupun kalau teknologi telah ada. Namun yang jelas, pada era tersebut dokumentasi gambar baru dalam bentuk foto cetak. Dan salah satunya adalah apa yang termuat dalam gambar saya ini bersama siswa saya. Mungkin itu sekita tahun 90-an.


Tetapi dari album foto inilah saya memiliki kenangan masa muda dulu, meski sekarang juga masih tetap muda, dimana siswa saya ngeriung di dekat meja gurunya. Waktu itu tentunya saya belum belajar banyak tentang bagaimana membelajarkan siswa dengan lebih dahsyat. Lihat saja bagaimana saya mendesain kelas saya. Semua masih tampak sederhana. Tetapi yakin bahwa ada diantara siswa saya itu, saat itu memiliki impian yang jauh dari sederhana apa yang terlihat dalam foto.

Saya masih teringat kali pertama mengajar di bulan pertama di kelas satu SD dimana saya harus membantu mengambilkan dan membukakan buku pelajaran siswa sebelum melakukan pembelajaranm, dari tas mereka masing-masing. Itu berarti, jika ada 40 siswa saya di dalam kelas, maka saya harus berkeliling menghampiri setiap mereka, membuka tas mereka, mengambilkan buku yang sesuai dengan pelajaran yang akan kita pelajari, membukakan pad halaman dimana siswa saya harus menulis. Beban? Itulah yang ajaib. Lelah sudah pasti. Namun semua tetap saya jalani hingga saya mendapat hitungan mengajar selama 8 tahun (dihitung mulai dari tahun pelajaran 1985/1986 hingga 1993/1994) hanya di kelas satu. Setiap akhir tahun pelajaran saya bermohon kpada kepala sekolah untuk mengajar di kela berikutnya atau kelas tiga. Kepala sekolah mengizinkan, namun masalahnya tidak ada atau belum ada yang berani atau mau mengajar di kelas satu. Sampai akhirnya saya benar-benar ngambek untuk naik kelas, hingga kepala sekolah tidak dapat menolak lagi.
Dua hal yang menjadi modal saya untuk mengajar di kelas satu. Ini sesuai dengan apa yang dipesankan oleh Bapak Guru saya ketika kami masih duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru di Purworejo. Yang pertama, kata guru saya, adalah menyanyi. Jadi kita harus menguasai minimal 10 lagu siswa. Dan tentunya lagu-lagu yang syairnya untuk anak dan positif bagi anak. Yang kedua adalah mendongeng atau bercerita. Nah, lanjut guru saya, bagaimana kalian bisa bercerita di depan siswa kalian jika kalian sendiri adalah para guru yang tidak suka membaca cerita?

10 March 2009

Efektifkah Sekolah Saya?

Jumat lalu, kami di sekolah seperti biasa berkumpul bersama, untuk bersama-sama membicangkan tentang perjalanan kita sebagai anggota atau komunitas sekolah yang sama-sama kita cintai. Ini kami lakukan setiap ba'da Jumat. Jika semua teman kompak maka jam tepatnya kita akan memulai acara pada pukul 13.30.

Sebagai acara rutin kita, yang kita sebut sebagai professional development bagi seluruh anggota pendidik di sekolah, maka agendanya adalah dialog sekitar bagaimana kita masing-masing dapat berkontribusi secara lebih maksimal dan tumbuh terus menerus. Selain itu ada juga kesempatan teman untuk menyampaikan presentasi atau memberikan suatu sebagai pembuka kita berdialog. Atau kadang juga kita meminta orang lain untuk memandu kita dalam berdiskusi. Dan kebetulan ba'da Jumat tanggal 6 Maret 2009 lalu kita bersama-sama membahas tentang diri kita sendiri berdasarkan cermin yang telah kita siapkan.

Ya, cermin itulah yang bernama Sekolah Efektif. Berupa rubrik kuesioner yang terdiri dari sembilan komponen. Yang setiap komponennya masing-masing memiliki indikator rubrik yang kita harus memilihnya atau menentukan pada posisi mana kita berada saat ini. Kita dalam kelompok akan berdiskusi dalam penentuan posisi yang kita pilih. Memang ada sedikit banyak yang harus kita pertahankan masing-masingnya dalam penentuan posisi yang telah berhasil kita raih.

Dan itulah kesempatan berharga yang dapat kami lakukan bersama. Apa yang dapat kita peroleh dari cermin itu? Saya pribadi melihatnya sebagai introspeksi. Dalam sebuah peristiwa yang bernama tumbuh, bercermin sama artinya dengan membuka kembali peta perjalanan kita ketika kita ada dipertengahan jalan.

Apa yang akhirnya kita lihat? Ada kekurangan yang harus menjadi perhatian kita bersama untuk kemudian kita analisa dimana perhatian itu harus kita tumpahkan. Ada kecukupan dimana kita juga masih harus memberikan pemikiran yang tidak kurang. Dan tentunya ada juga bagian atau komponen kita yang telah berkinerja baik, dimana kta juga harus melihatnya secara hati-hati agar supaya kita semua tetap menjadikannya sebagai bagian dari proses pembelajaran yang tiada ujung.

Ba'da Jumat lalu itu menjadi saksi bagi kami didalam melihat siapakah sebenarnya kami berdasarkan cermin sembilan sekolah efektif tersebut. Kami bangga tidak saja kepada hasil dari rubrik kuesioner yang telah kami rekap. Tetapi kami jauh lebih bangga pada proses yangkta alami ketika kami semua bersama-sama meghadapkan diri pada cermin yang ada...

Pulomas, 6 Maret 2009

05 March 2009

Pasar Murah



Kami, komunitas dari Sekolah Islam Tugasku bersaa OSIS SMP menyelenggarakan Pasar Murah di sekolah pada Sabtu, 21 Februari 2009. Menyenangkan sekali melihat antusiasme warga sekitar sekolah berbelanja sembako dan berbagai kebutuhan lain dengan harga yang sangat miring.

Karena miringnya harga, ada diantara pembeli yang mengkhawatirkan kualitas barang yang dijual. Seperti komentar Pak Ali, penjual rokok di dekat sekolah; Saya pikir mie instan kedaluwarsa. Kok harganya miring banget? Setelah saya cek tanggal kedaluwarsanya ternyata barang baru. Ya jadi saya minta teman untuk belanjain lagi...

Namun bagi kami sendiri ini adalah kegiatan yang malah menjadi wahana untuk saling mengakrabkan satu dan yang lainnya dari kami sesama komunitas TUGAKU. Kami kompak dalam melayani para pembeli yang tiada hentinya. Barang yang kami jual adalah barang sumbangan dari para orangtua siswa kami.

Bersama ini, kami mengucapkan terima kasih atas kontribusi, donasi dan dkungan dari semua pihak atas kegiatan amal itu.

03 March 2009

Model Belajar Nadia dan Diana

Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan BELAJAR? Berikut ini adalah anekdot-anekdot yang dirinya kita dapat memaknai apa yang dimaksud dengan Belajar itu. Anekdot pertama adalah saat orangtua meminta anaknya untuk belajar di meja belajar, padahal si anak sedang asyik membaca buku cerita fiksi (novel anak). Si anak dengan sopan menjawab seruan orangtuanya dengan kata: ngak ada pekerjaan rumah (pr) Bunda. Orangtua tetap meminta si anak untuk duduk di meja belajar dan berujar: Nadia, kan dapat mengulang pelajaran kemarin untuk persiapan hari besok. Siapa tahu besok ada ulangan mendadak?

Keesokan harinya di sekolah guru tidak memberikan ulangan atau pertanyaan atau meminta siswa untuk membuat laporan apapun. Nadia tentu kecewa karena pelajaran yang telah disiapkan semalam tidak diulas di sekolah. Guru di sekolah melanjutkan materi pelajaran berikutnya. Padahal semalam ia harus meninggalkan bacaan fiksi yang lagi seru-serunya. Kembali di rumah Nadia protes sama Bundanya. Ia ngambek dengan langsung membuka buku fiksinya yang ia telantarkan gara-gara kemarin diminta Bundanya untuk mengulang pelajaran agar siap kalau esok gurunya mengadakan ulangan mendadak.

Jadi apakah yang dimaksud dengan belajar bagi Nadia? Bagaimana pula arti belajar dalam anekdot yang berikut ini? Saat pelajaran Sains, Diana, salah satu dari siswa SD masuk dalam kelompok untuk menerima tugas dari gurunya. Diana dan kawan-kawannya dengan pengawasan guru men-sweeping binatang yang ada di dalam lingkaran, yang terbuat dari tali rafia. Nama-nama binatang itu harus dicatat. Di dalam kelas dengan dipandu Bu Guru, siswa mendiskusikan arti komunitas dan habitat.

Pekerjaan rumah yang diberikan guru berupa tugas agar setiap siswa mencatat binatang-binatang yang ada di halaman rumah masing-masing atau lokasi lain yang berdekatan dengan rumahnya. Catatan tersebut akhirnya didiskusikan bersama di kelas pada pekan berikutnya. Hasil diskusi tersebut dibuat dalam bentuk laporan narasi tentang habitat, lalu dipajang di dinding pajangan di sekolah.

Jika kita adalah Nadia atau Diana, pola belajar yang manakah yang menjadi pilihan kita masing-masing? Apakah pola Nadia atau pola belajar Diana? Pola belajar manakah yang benar-benar hidup di masyarakat kita?

Dalam setiap pertemuan dengan pihak orangtua, saya selalu mengkomunikasikan mengenai belajar, proses pembelajaran, dan hasil-hasil belajar. Termasuk juga keunikan yang dimiliki siswa. Di sekolah, beberapa program kita coba lakukan seperti pajangan kelas, pertunjukkan kelas secara reguler dan event spesial, kita laksanakan secara reguler. Semua orangtua setuju. Karena itu merupakan cara Belajar yang relatif memberdayakan siswa.
Tetapi nilai anak saya harus baik juga pak. Begitu komentar salah satu orangtua. OK, kata saya. Nilai (angka) rapot siswa juga baik. Dan pada saat Pekan Kebudayaan Internasional, dimana setiap kelas memilih satu negara untuk menjadi tema yang akan dieksplorasi selama satu pekan secara terus menerus, siswa dan seluruh komunitas sekolah menikmatinya. Kegiatan pembelajaran berupa menggambar peta, cerita tentang negara-raja-pemerintahan-penduduknya-pertaniannya. Mengeksplorasi pariwisatanya, makanan khas, budaya, menginterview nara sumber, membuat laporan dan juga membuat cindera mata. Di akhir pecan sebagai puncak dari tema, siswa mempertontonkan perayaan sonkran yang dirayakan raja bersama rakyatnya di hadapan komunitas sekolah. Sesudah itu siswa, dengan membawa pasportnya masing-masing, berkeliling ke ‘negara-negara tetangga’ untuk tour.

Ketika usai saya tanya pada komunitas sekolah tentang Pekan Budaya. Inilah Jawaban mereka: Siswa: senang pak, selama pekan budaya ngak ada pelajaran! Kita main terus. Guru: Wah pak, kalau pelajaran tidk ada target kurikulum dan tidak ada ulangannya, kita jadi bisa kreatif ya pak . Orangtua: anak saya tiba-tiba tidak susah bangun pagi, rupanya kalau tidak ada pelajaran mereka jadi senang ke sekolah.

Pak Agus, saya sekarang sadar sebenar-benarnya betapa model pembelajaran seperti Pekan Budaya Internasional kemarin efektif buat anak saya. Mereka dalam satu pekan itu ternyata menyerap informasi tentang tempat wisata, nama raja, khas-khas yang ada, wilayah selatan yang Muslim dan utara yang Budha. Kenaikan kelas ini ia pingin sekali diajak mengunjungi pengembangan pertanian dan pemukiman Muslim di Thailand! Begitu komentar salah satu dari orangtua siswa terhadap hasil belajar yang diperoleh sang anak.

Tujuan Pendidikan Kita
Betulah panjang cerita tentang apa sesungguhnya yang mnjadi esensi dari kegiatan belajar yang hidup di masyarakat dan sekolah kita. Berikut ini adalah konsep pemerintah yang termuat dalam undang-undang No 20 Th 2003 tentang Sisdiknas berkenaan dengan tujuan pembelajaran. Dalam Bab II, Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sedang tentang Proses Pembelajaran, inilah panduan yang terdapat dalam Kurikulum 2004 atau KBK (maaf, kita hanya menguji-cobakan saja).
Siswa Ingat Kegiatan Belajar
10 % Baca
20 % Dengar
30 % Lihat
50 % Lihat dan dengar
70 % Laporkan
90 % Lakukan dan laporkan

Melihat itu, maka apakah yang harus kita lakukan dalam mencermati masalah belajar siswa kita? Pertama, ubahlah cara pandang kita mengenai belajar. Dalam kenyataan sekarang ini terdapat empat mitos dalam belajar. Empat mitos belajar itu mengatakan bahwa; sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar; kecerdasan bersifat tetap; pengajaran menghasilkan pembelajaran; kita semua belajar dengan gaya yang sama. (Jeanette Vos,2000).

Kedua, jadikan kegiatan membaca sebagai keterampilan hidup menuju pembelajar sepanjang hayat. Menjadi tugas kita untuk menjadikan seluruh komunitas sekolah sebagai warga belajar yang suka baca. Sejak dini siswa dapat kita berdayakan tidak saja bisa membaca tetapi menjadi suka. Peringkat suka membaca itu sendiri memiliki makna baginya (konsep AMBAK/apa manfaat bagiku).

Ketiga, berdayakan cakrawala berpikir anak melalui mengambilan hikmah dari suatu peristiwa/kejadian. Dalam setiap akhir pelajaran, guru harus membuat konklusi bersama siswanya mengenai apa yang telah mereka capai. Juga apa implikasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Keempat, berdayakan kompetensi non-akademik. Hasil belajar tidak saja domain kognitif yang terukur secara akademis. Hasil belajar lebih luas dari itu. Hasil belajar akademis adalah salah satu dari hasil belajar. Dan bukan satu-satunya. Berdayakan semua komunitas sekolah mengenai konsep belajar seperti itu melalui berbagai cara dan secara reguler.

(Sumber: Agus Listiyono dalam Harian PELITA, 28 Maret 2006)

Tes Sumatif

Tes semester yang dilaksanakan pada akhir semester lebih dikenal dengan tes sumatif. Akhir Desember dan awal Januari lalu adalah saat dilaksanakannya tes sumatif diberbagai sekolah sebelum penerimaan rapor semester ganjil. Dan sekitar bulan Mei atau Juni untuk semester genap. Materi pelajaran yang menjadi bahan tes sumatif adalah materi pelajaran sepanjang semester tersebut. Setiap siswa dengan kapasitasnya masing-masing pasti telah menyiapkan diri dalam menghadapi tes tersebut.
Diantara mereka ada yang susah payah mengatur jadwal belajarnya karena mungkin harus membagi waktu antara belajar dengan menjaga adiknya atau melakukan perkerjaan lainnya untuk membantu orangtua. Sebagian yang lain bahkan ikut belajar kelompok bersama teman-temannya dengan memanggil guru sebagai pendamping belajar atau pergi ke bimbingan tes yang menjamur sebagai bisnis menjanjikan. Sebagian yang lain lagi belajar dengan guru kelas atau wali kelasnya dirumah yang sering kita kenal dengan istilah les privat.
Selama menjadi guru di sekolah, penulis banyak mendengar, menerima aduan baik dari siswa, orangtua dan bahkan juga guru tentang soal tes yang bocor. Mereka menceritakan suatu perbuatan yang menurut kasanah dan norma sosial adalah bentuk perbuatan yang tidak seharusnya terjadi. Kebocoran suatu soal tes bukanlah suatu yang terjadi karena ketidak sengajaan, tetapi lebih kepada bentuk penyelewengan intelektual dari para pembimbing belajar atau siapa saja yang memiliki akses terhadap soal tes yang ingin diwariskan kepada para generasi penerusnya. Bila kebocoran ini dilakukan oleh siapa saja yang berstatus pembimbing siswa dalam belajar, guru les misalnya, maka degradasi moral ini didasari oleh semangat mengumpulkan rezeki untuk sekedar menghidupi diri sendiri atau sanak keluarganya. Dan juga untuk mengangkat nilai agar seolah-olah siswa yang mendapatkan soal yang bocor tersebut pandai. Mengenaskan! Tetapi inilah sepenggal cerita dari keponakan penulis...

Beni adalah siswa sekolah menengah di sebuah sekolah di negeri tercinta ini. Ia belajar menyesuaikan dengan irama belajar teman-temannya. Sejak menginjak bulan kedua ketika sekolah berlangsung, ia bergabung bersama teman-temannya yang berjumlah lima orang untuk belajar kelompok dengan salah satu gurunya. Ketika awal dimulainya les, ibunya mencoba menghubungi Bapak Guru untuk menanyakan fee yang harus dianggarkan pada akhir bulan nanti. Disela-sela diskusi dan nasehat agar putranya belajar lebih giat karena Bundanya mengeluarkan ’dana ekstra’ diluar uang bulanan rutin lainnya, Beni menyahutnya dengan rileks. ”kadang Pak Guru menyebutkan agar kita mengingat soal ini, nanti keluar di ulangan.” jelas Beni. ”jadi begitu?” Ayahnya kaget.
Selain Beni, Dita keponakan penulis yang lain, adalah sosok siswa yang berbeda. Paling tidak kapasitas mengingatnya sedikit jauh lebih banyak dan baik dari Beni. Dita adalah perkeja keras. Saat belajar, hampir titik dan koma yang terdapat di buku pegangan mampu diingatnya. Maka saat bunyi bel pertanda habis waktu dan ia merasa belum berhasil menemukan jawaban dalam tes, ia begitu gusar. Namun betapa ia kaget ketika satu teman kelasnya yang tergolong ’papan bawah’ berkomentar dengan pasang tampang bangga, ” Yes! Semua soal yang dipelajari semalam keluar! Gampang! ” dan selidik punya selidik teman itu adalah salah satu murid les dari oknum gurunya...
Dua fragmen diatas adalah kejadian nyata. Dan dengan itu penulis tidak bermaksud untuk mendiskreditkan profesi guru yang kebetulan di sandang oleh pembimbing dari siswa diatas, yang penulis kutip secara penuh sebagaimana ilustrasi di atas. Namun dengan kejadian yang telah dipertunjukkan oleh oknum tersebut penulis yang juga guru mencoba untuk berkaca di depan cermin.
Pertama, kalau penulis adalah guru yang memberikan bimbingan kepada siswa, apapun bentuk bimbingannya –privat ataupun kelompok- dengan cara memberikan latihan soal yang persis akan keluar dalam tes, maka pertanyaannya adalah; apakah penulis sudah berlaku adil pada siswa yang bersangkutan dan juga pada siswa yang lain? Apakah dengan cara tersebut maka tes dapat dikatakan valid dan reliabel? Apakah itu bukan tindakan kriminal? Lalu apakah esensi dari belajar?
Kedua, jika memang fee yang menjadikan tujuan mungkin akan normal saja jikalau jalan yang ditempuh adalah jalan profesional. Namun apakah jalan yang dititi oleh dua fragmen diatas adalah jalan wajar menurut norma sosial, norma agama? Seberapa besarkah uang yang mampu penulis kumpulkan untuk memenuhi hidup dan seberapa besar harga diri dan martabat yang telah penulis korbankan? Dapatkah uang tersebut terkumpul dalam bentuk harta bermerek , seperti Mercy atau Volvo? Jika tidak, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah jika kekayaanpun tak terkumpul, masihkah kita menggadaikan nama baik diri dengan memalsukan kata ’keberhasilan’?
Ketiga, bacalah luka yang dialami oleh Dita dan Beni dalam fragmen itu. Maukah kita merenungkannya akibat dari kedua anak tersebut karena ingatan tentang apa yang penulis lakukan? Ingatan yang mungkin akan menjadi abadi. Nama penulis diabadikan dalam sebuah kenangan yang paling pahit. Dan itulah kenangan yang akan membuat mereka mengingat sepanjang hidup tentang penulis? Nestapa...

Dengan mengambil tiga hikmah dari fragmen itu, penulis kembali mengetuk hati nurani kita kepada hakekat harkat dan martabat seseorang. Bahwa tidak dapat dipungkiri apa yang telah menjadi tekad pemerintah dalam menjadikan guru sebagai profesi adalah pintu gerbang bagi pengentasan martabat guru sebagai profesi. Namun demikian guru sebagai pribadi yang bermartabat dihadapan siswanya, hanya guru sendirilah yang wajib menjaganya.

(Sumber: Agus Listiyono dalam Harian PELITA, 11 Januari 2005)

Peta Purworejo

Pagi ini saya menerima kiriman pos dari teman saya yang sejak berteman di SPG Bruderan tetap tinggal di Grantung, Purworejo. Isinya tidak lain adalah peta kebupaten dimana saya remaja di Purworejo. Peta ini menjadi impian saya untuk memilikinya setelah akhir Desember 2008 lalu saya berkesempatan memberikan pelatihan di Sekolah Islam Terpadu Ulil Albab yang berlokasi di Andong, Kutoarjo, Purworejo. Dimana di sekolah ini saya melihat sebuah peta kabupaten Purworejo.

Maka sepulang dari Purworejo, saya mengirim sms kepada segenap teman yang berdomisili di Purworejo untuk mencarikan peta itu. Dan Alhamdulillah, teman saya yang di Grantung (Fotonya ada di bawah halaman ini), yang bernama Heri Pranoto, mengirimkan untuk saya. Wah Luar biasa senang sekali saya.

Mengapa begitu bahagianya saya mendapat peta itu? Tidak lain karena saya menyukai napak tilas ketika menelusuri kembali nama-nama tempat atau desa atau jalan atau lokasi dimana saat remaja dulu saya berkelana, termasuk menjadi pengamen untuk menambah uang transpor.

Oleh karenanya, melalui tulisan ini, saya bermaksud menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada saudara dan teman saya Heri Pranoto di Grantung, Purworejo. Semoga ini menjadi amal kebaikan baginya. Amien. Saya memiliki kenangan khusus kepada kawan saya ini. Yaitu ketika kami, saya dan dia, ditambah teman satu lagi yang bernama Wawan Saroyo, satu kamar tidur saat kami menjalani magang di sebuah sekolah dasar negeri di desa Gebang kecamatan Gebang. dan dalam pergaulan selama satu bulan tersebut, saya mendapatkan makna persahabatan hingga kini.

Heri Pranoto menjadi guru di sebuah SDN yang berada di kecamatan Bayan bersama mantan ketua OSIS SPG Bruderan tahun 1984 yang bernama Astuti. Selain profesinya itu, ia juga adalah koresponden Global tv untuk wilayah Kebumen. Sedang teman saya yang satu lagi, Wawan Saroyo, menjadi guru SD Pius di Wonosobo. Saya sendiri, memegang amanah sebagai wakil yayasan untuk mengelola Sekolah Islam TUGASKU di Pulomas, Jakarta Timur.

02 March 2009

Undangan Reuni

Pada sebuah akhir pakan, Sabtu tanggal 28 Februari 2009, saya menerima telepon dari seorang yang ketika saya jawab salamnya, ia bernama Callista. Ya saya mengenal sekali nama itu. Ia adalah siswi saya ketika masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar pada tahun 1987. Dan ia sendiri mengingat kelasnya, karena selain menyebutkan nama ia juga menambahkan: dulu di kelas I C waktu Bapak mengajar kami. Dan setelah 22 tahun berlalu, ia kini adalah seorang Dokter gigi yang buka praktek di daerah Puri Mutiara Cipete Jakarta Selatan.

Lalu apa kepentingannya menelepon saya setelah sekian puluh tahun berlalu? Kami mengundang Bapak untuk acara reuni pekan depan di Sekolah. Kita kangen untuk kumpul. Kami mengundang semua guru-guru kami yang dulu mengajar kami. Apakah Bapak bias datang? Katanya. Dan tanpa berpikir panjang lagi saya menjawab bisa. Kalau siswa saja kangen dengan para gurunya, mosok kami tidak kangen dengan siswanya?

Lalu apa yang terbayang dipikiran saya setelah undangan reuni dari siswa saya sekian puluh tahun lalu itu? Selain kerinduan untuk bercengkerama. Saya antusias sekali untuk melihat sebarapa sukses dan hebatnya para siswa ini. Bahkan, saya sendiri ingin sekali memohon maaf atas kelemahan, kekhilafan, kekurangan yang ada pada diri saya ketika dulu mengajari mereka. Itu harus saya sadari karena saat mengajar mereka usia saya masih muda, atau mungkin juga kendali amarah saya masih tipis ketika mendapat mereka tidak sesuai dengan apa yang menjadi ekspetasi saya. Ya, saya ingin diberikan waktu untuk bicara dihadapan mereka, sekaligus mengungkapkan permohonan maaf atas kekurangan yang telah mereka terima dari saya.

Namun apa yang nanti bakal terjadi? Apakah harapan saya untuk dapat berbicara kepada mereka semua terwujud atau akan seperti apa pertemuan itu nantinya? Saya masih belum tahu persis. Namun saya masih bertekad untuk menyampaikan kegembiraan atas undangan mereka dan yang paling penting lagi, mohon maaf. Semoga reuni nanti menjadi awal bagi kami merajut silaturahim dalam konstelasi yang berbeda.

Benar saja, saat pertemuan itupun tiba. Ahad, 8 Maret 2009 di SD Islam Al Ikhlas, Cipete III, Cilandak Jakarta Selatan. Saya datang tepat ketika acara rehat makan dan Shalat. Ya saya terlambat. Tapi saya sangat gembira. Saya memberikan salam kepada mereka dengan, tentunya, membaca nama mereka. Deikian jga dengan mereka. Waktu yang panjang telah merubah beberapa bagian dari diri kita.

Ini adalah reuni khusus buat mereka yang lulus dari SD Islam Al Ikhlas tahun 1993, Dan Callista adalah satu dari 80-an alumni yang datang. Luar biasa!

SPG 1984















Saya yakin diantara anda akan bingung untuk menemukan yang mana foto saya. Itulah waktu. 25 tahun cukup bagi waktu merubah sesuatu. Meski pelan tapi pasti. Dan itu terjadi tidak hanya pada saya. Tetapi juga pada teman saya yang pada Mei tahun 1984, setelah ujian sekolah berakhir, kita wisata bersama, mengambil gambar bersama, sebagaimana yang terlihat di atas.

Foto ini diambil ketika kami berada di depan air terjun Curukmuncar. yang berlokasi di desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo. Saat itu perjalanan kami tempuh dengan naik angkot dari Panthok, Purworejo menuju Somongari dengan melawati desa Cangkrep, desa Kemanukan dan sampailah Somongari.

Foto ini juga sebagai saksi kali terakhir kita bersama setelah 3 tahun menempuh pendidikan di Purworejo. Kami berpisah untuk merajut perjalanan berikut masing-masing dengan harapan masing-masing. Pertemuan berikut yang lebih kolosal terjadi di almamater kami di SPG di Purworejo saat reuni dan silaturahim pada Senin, 7 Oktober 2008. Bertepatan dengan saat libur Idul Fitri. Alhamdulillah, saya bersyukur bahwa semua teman yang dapat dan menyempatkan hadir dalam reuni itu memiliki semangat dan kerinduan yang sama.


Setidaknya kita dapat saling ber-sms atau berkirim email untuk sekedar bertanya berita atau berkirim dokumen yang berkenaan dengan profesi kita sebagai guru.

13 February 2009

Dialog Utara-Selatan

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, komunikasi menjadi bagian paling utama saat membangun keberhasilan sebuah lembaga. Termasuk di dalamnya lembaga pendidikan. Goleman menguraikan bahwa kemampuan membangun komunikasi dengan pihak luar sehingga menjadi jalinan yang sinergi adalah tingkatan terakhir dalam sebuah kecerdasan emosional. Dan tingkat terakhir ini berawal dari tingkat yang paling endah. Yaitu mengenali diri.

Prinsip inilah yang mungkin menjadi pemicu bagi kegiatan dialog antara guru dengan manajemen yang memiliki alur bebas, tema bebas, seperti forum katarsis yang pernah saya alami di beberapa lembaga pendidikan swasta. Dialog yang kemudian kita namakan sebagai dialog utara-selatan, meniru apa yang pernah dilakukan oleh Presiden ke-2 kita, Bapak Soeharto. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah yang lebih pas, ngobrol ngalor-ngidol. Sebuah ungkapan yang menurut saya jauh lebih sarat makna.

Munculnya kegiatan ini, yang melibatkan antara lain manajemen di tingkat lembaga dengan para guru diilhami dengan keingintahuan pihak manajemen lembaga terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kita sebagai manajemen lembaga kadang melihat bahwa semua kegiatan dan program telah berjalan dengan baik, lancar dan sesuai dengan ekspektasi. Ketika ini telah berlangsung dalam kurun waktu tertentu, tentu kita yang menjadi bagian dari organisasi tersebut sedikit merasakan bahwa kegiatan atau program sekolah itu sudah berlangsung berulang seperti rutinitas. Sekalipun dalam setiap program yang berulang tersebut
selalu saja terjadi pengembangan bentuk dan kualitas karena penampungan ide-ide baru dari seluruh pelaksana di lapangan oleh guru yang kreatif. Tetapi cita rasa perulangan akan terus selalu dirasakan. Maka untuk memahami getaran cita rasa itulah, diperlukan sebuah dialog atau diskusi bebas.

Sebuah dialog yang pada akhirnya menjadi jembatan introspeksi tentang langkah yang telah dilalui dan kemungkinannya untuk membuat lejitan baru. Bisa pula sebagai penyamaan persepsi tentang semua hal yang menjadi fokus pembicaraan sehingga nantinya timbul komitmen baru. Bisa juga menjadi evaluasi bagi lembaga untuk menuju yang lebih baik lagi. Pertanyaannya adalah, apakah selama sekian lama tidak terjadi adanya dialog atau diskusi antara pihak manajemen dengan guru sehingga kita membutuhkan forum yang sedemikian khusus? Saya meyakini bahwa siapapun anda, khususnya sebagai manajemen di sebuah lembaga, pasti akan selalu membangun forum komunikasi. Baik itu dalam rapat kerja, rapat guru jika di sekolah, atau sekedar diskusi ringan ketika anda menyelesaikan sholat berjamaah di musholla. Tetapi karena dialog atau diskusi yang anda buat atau yang terjadi tersebut dari jawalnya tidak didesain dalam kerangka tertentu, maka akan selalu berbeda dengan forum yang saya sebut sebagai dialog utara-selatan.

Contoh konkrit misalnya, sebuah lembaga yang kesulitan untuk menemukan figur kepala sekolah. Hal ini dimungkinkan karena di sekolah tersebut selama sejarahnya, yang menjadi kepala sekolah adalah mereka yang pensiun dari lembaga pemerintah. Ketika kepala sekolah tersebut harus benar-benar istirahat karena kemampuan fisiknya yang berkurang, akan ada pengganti yang juga pensiun dari lembaga pemerintah yang lain. Demikian terus menerus. Ini memang beralasan, karena yang pensiun tersebut selalu mereka yang memiliki reputasi sebagai pejabat di lembaganya dulu. Minimal sebagai Pengawas Sekolah. Bahkan ada yang mantan Kepala Dinas.

Nah, ketika lembaga merubah paradigma, ini juga karena desakan perkembangan daya saing, maka pengurus lembaga tersebut menginginkan sesuatu yang berbeda. Maka forum penemuan pemimpin tersebut dilakukan dalam bentuk dialog. Dan peserta dialog adalah mereka yang direkomendasikan oleh kepala sekolah yang menjabat. Atau bisa juga guru yang ingin ikut serta meski tidak direkomendasikan kepala sekolahnya. Dan ketika dialog tersebut berlangsung, saya menawarkan diri agar untuk sementara kepala sekolah tidak ikut hadir di dalamnya. Ini karena forumnya telah diakadkan untuk menemukan figur kepala sekolah dari dalam lembaga itu sendiri.

Memang kadang terjadi pembicaraan tentang seputar reputasi kepala sekolah selama ini. Ini jika
reputasi tersebut benar-benar telah mencapai pada tahapan kronis. Tetapi guru yang memiliki visi ke depan dan berfikiran sebagai bagian dari sistem, akan selalu membawa arus dialog kepada bagaimana kita bergerak ke depan dari sekarang ini. Ia akan mengajak kita semua untuk memikirkan siapa kita, dimana kita, akan kemana kita, dan bagaimana kita seharusnya.

Mereka akan menyampaikan itu semua dalam kerangka berfikir yang jujur dan matang. Tidak dibalut dengan gaya bahasa yang kita merasakan dibuat-buat atau sebagai acting. Meski ia belum tahu apa solusi atau juga alternatif yang dapat kita tempuh, tetapi setidaknya kita tahu siapa diri kita, dan harus bagaimana kita selanjutnya.

Dengan demikian, bagi saya, dialog seperti ini benar-benar telah membuka ruang-ruang yang pada saat komunikasi sehari-hari tampak baik-baik saja. Sehingga dengan ini pula maka kita dapat memahami secara lebih jujur dan lebih akurat tentang apa yang terdapat di dalam atau bahkan dasar sebuah kolam. Sehingga jika pemilihan pemimpin yang menjadi tujuan dari dilakukannya dialog tersebut, atau mungkin pengembangan sekolah yang lebih baik lagi, kita dapat mendapatkan gambaran yang relatif lebih pasti.

Hanya harus pula kita sadari bahwa, apa yang kita lakukan dalam dialog tersebut adalah capital pertama. Sehingga masih diperlukan perenungan dan data tambahan untuk tahapan berikut sampai pada pengambilan sebuah keputusan. Tetapi saya ingin menyampaikan bahwa sebuah dialog terbuka dengan forum yang khusus sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas adalah sebuah kesempatan bagi kita untuk mengetahui siapa sesungguhnya kita, merefleksi diri di hadapan sebuah cermin, dan melihat masa depan yang lebih baik lagi.

(Sumber: Harian Pelita, 5 Juni 2007)

04 February 2009

Ponten

Ketika pada masa awal menjadi guru, banyak pengalaman yang saya alami berkenaan dengan kompetensi, pola komunikasi dan sosial saya. Terutama dengan dan bersama siswa saya di dalam kelas di sekolah. Tentunya yangberkenaan dengan kekurangan saya sebagai guru yang mencari jati diri dalam menuju profesinalisme. Tidak luput juga dengan apa yang menjadi judul tulsan saya ini. Ponten.

Ini adalah kosa kata Bahasa Indonesia yang baru buat saya, yang lahir dan besar hingga lulus sekolah pendidikan guru atau SPG di desa dan ibu kota kabupaten dengan penggunaan bahasa komunikasi sehari-hari masih menggunakan bahasa daerah. Maka saat menjadi guru saya belum mengenal ponten. Sekalipun saya melahap habis novel Edy D Iskandar, Teguh Esa, Darto Singo, Motinggo Busye, atau novelis lainnya, tetapi tetap saja belum pernah bertemu dengan kosa kata satu ini.

Peristiwanya ketka ada salah satu dari siswa saya bertanya tentang hasil ulangannya apakah saya sebagai gurunya telah memberikan ponten? Saya dengan yakin tentu menjawab sudah. Lalu mengapa Bapak belum juga membagi kertas ulangan kami? Lajut siswa tersebut menuntut. Saya berjanji untuk membaginya esok hari bersama-sama dengan ulangan lainnya yang masih ada pada saya. 

Benar saja. Esok harinya, siswa tersebut menghampiri saya ketika saya bersama teman guru lain sedang mengenakan sepatu ketika kami selesai menunaikan Shalat Dzuhur. Katanya sudah diponten, kok belum juga dikembalikan? Belum dibagikan kepada kami? Tuntut siswa saya lagi. Tentu tuntutan yang sangat masuk di akal. Karena memang hari ini saya berjanji untuk mengembalikan dan membagikan hasil ulangan mereka. Dan tentunya saya tetap mengatakan akan dibagi. Hingga siswa saya itu pun berlalu meninggalkan saya dengan penuh heran. Betapa tidak. Saya katakan ulangan mereka sudah selesai saya periksa dan saya beri ponten, tetapi saya belum juga mengembalikan atau membagikan ulangan tersebut. Lalu apa maksud saya? Begitu tentu pikir siswa saya.

Teman yang disamping bertanya kepada saya. Bapak tahu ngak apa maksud dia? Katanya. Saya tahu. Jawab saya yakin. Bapak tahu apa artinya ponten? Lanjut teman saya lagi. Tidak. Apa yang dimaksud dengan ponten? Tanya saya balik. Ponten itu nilai. Diponten itu dinilai. Jadi siswa Bapak tadi minta ulangan mereka kalau Bapak sendiri telah selesai memeriksa dan memberi ponten segera diberikan kepada mereka!
Deg! Saya langsung menyadari dan memahami apa yang diminta siswa saya sejak kemarin. Dan tanpa membuang waktu lagi saya segera menuju ruang kelas dan memberikan kertas ulangan siswa yang telah saya ponten kepada seluruh siswa yang kebetulan belum pulang.

Sikap Terbuka

Apa yang pernah saya alami tersebut adalah proses penundaan kemajuan yang secara sadar atau tidak saya telah lakukan untuk diri saya sendiri. Karena sejak awal siswa saya mengatakan ponten dan saya sendiri tidak terlalu memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan, saya tidak segera melakukan konfirmasi atau secara berterus terang bertanya balik apa yang dia maksud dengan kosa kata itu. Saya memilih untuk berdiam dan berusaha memecahkan persoalan tersebut tanpa ada proses keterlibatan pihak lain, yang mungkin akan memberikan jalan keluar. 

Mungkin saya waktu itu sangat percaya diri untuk mampu memahami sepenuhnya apa yang siswa saya, yang masih berusia 6-7 tahun, itu katakana atau maksudkan. Namun itu semua diluar kenyataan yang ada. Saya tetap tidak mampu memahami apa yang dimaksud siswa saya. Hingga pihak ketiga memberikan pertolongan kepada saya. Sekarang saya menyadari. Bahwa ini semua karena saya tidak cukup memiliki sikap terbuka atau sikap berterus terang.

Sikap dimana saya harus mengakui bahwa apa yang mereka maksud atau katakana, saya belum mampu memahaminya. Atau keberanian saya untuk mengatakan bahwa saya belum faham. Sikap tidak terbuka itu yang menyebabkan ilmu saya tentang ponten harus memakan waktu lebih dari satu hari. Sebuah jangka waktu yang tidak efektif bagi sebuah proses pembelajaran.

Sikap tidak terbuka itu terlahir karena saya melihat bahwa siswa saya bukan sumber belajar saya. Bahwa saya secara keilmuan berada pada tataran strata yang lebih tinggi. Belenggu inilah yang memicu perlambatan proses belajar saya. 

Sekarang, saya melihat peristiwa dua puluh tahun lalu itu sebagai mutiara yang berkilau. Yang mampu memberikan cermin untuk saya sendiri. Sebuah cermin untuk jujur pada diri sendiri dan terbuka mengatakannya kepada pihak yang belum mampu saya fahami. 

Semoga ini menjadi bekal belajar saya berikutnya. Tidak saja yang berkenaan dengan ponten, tetapi tentang berbagai hal yang mungkin jauh lebih luas dan kompleks!

21 January 2009

Bisa dan Suka Membaca

Dalam suatu acara di Jakarta, Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla memberikan tanggapan atas adanya unjuk rasa para guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia, PGRI; Jadi guru jangan hanya menuntut gaji 20 persen. Perlu tunjangan, tapi juga perlu membaca buku. Jangan cuma menterinya yang didemo. Guru juga harus didemo kenapa tidak membaca buku (Koran Tempo, 13 Juli 2007).

Apa yang dikemukakan oleh Bapak Wakil Presiden tersebut terjadi sebelum demo guru yang terjadi pada Kamis, 19 Juli 2007. Pada demo yang terakhir tersebut, perwakilan para guru sempat bertemu dengan para wakil rakyat di gedung DPR/MPR, dan juga bertemu dengan para menteri di Sekertariat Negara. Demo yang terjadi pada kamis lalu tersebut dengan tuntutat yang sama. Yang
antara lain adalah tuntutan agar anggaran pendidikan di APBN sejalan dengan amanah konstitusi, yaitu 20 %. Juga tuntutan terhadap pelaksanaan sertifikasi serta tunjangan fungsional guru sebagai mandat dari undang-undang Sisdiknas.

Yang menarik dari apa yang dikemukakan Pak Jusuf Kalla adalah berkenaan dengan kompetensi guru dalam menyerap informasi dan denyut di masyarakatnya melalui kegiatan membaca. Disinyalir oleh Bapak Wakil Presiden bahwa guru kita, mungkin sebagiannya, adalah generasi yang belum menjadikan membaca sebagai kebiasaannya.

Dalam tulisan ini, saya tidak hendak mengupas tentang angaran pendidikan kita yang belum sesuai dengan UUD yang berlaku, dan juga tentang komentar Bapak Jusuf Kalla terhadap demo guru, tetapi akan sedikit mengungkap kegiatan membaca sebagai bagian dari kompetensi belajar sepanjang hayat.

Bisa Baca bukan Suka Baca

Siswa kita yang duduk di kelas awal SD, atau mungkin juga yang di bangku TK, guru mengajarkannya untuk bisa membaca. Yang paling sering digunakan adalah metode suku kata. Dimana siswa diperkenalkan suku kata, yang terdiri dari konsonan dan vokal yang berganti-ganti. Lalu setelah siswa mulai mengenal suku kata tersebut, guru mencoba membuat kata, lalu kalimat. Biasanya konsonan akan diberikan secara bertahap. Dengan ini maka siswa sepanjang satu semester diharapkan telah bisa atau mampu membaca.

Namun tampaknya keterampilan membaca di kota-kota besar seperti Jakarta ini, sudah dibelajarkan sejak siswa kita duduk di bangku TK. Maka ketika PSB di jenjang SD, ada diantara sekolah dasar ada yang menjadikan membaca sebagai salah satu komponen yang diujikan. Dan anehnya ketika pekan-pekan awal siswa tersebut duduk di bangku SD, guru di kelasnya akan mengajar membaca sebagaimana ketika siswa tersebut baru belajar membaca. Padahal mereka adalah siswa yang lolos karena telah mampu membaca.

Ada aktivitas membaca yang berbeda ketika siswa pertama kali berkenalan dengan buku di TK. Yaitu kegiatan membaca gambar. Saya pernah melihat di sebuah sekolah yang menjadikan kegiatan membaca gambar adalah menu rutin. Guru membacakan buku yang halamannya penuh dengan gambar. Siswapun diminta membawa buku dari rumah masing-masing, dan pada jam tertentu setiap harinya di sekolah akan ada kegiatan membaca buku bersama dengan hening. Kegiatan ini dilakukan secara konsisten, maka dalam tempo tidak sampai satu tahun pelajaran, melahirkan generasi yang bisa dan suka membaca.

Mengapa suka membaca? Karena makna dari aktivitas itu telah ditangkap dan dinikmatinya seraya membuat gambar imajinasi dipikirannya. Kemampuan imajinasi ini terlatih ketika guru membuat kalimat-kalimat atau membaca kalimat-kalimat yang berulang dari gambar yang terdapat di buku. Dan ketika prosesi itu dilakukannya sendiri, pikiran mereka akan terangsang untuk \'mencipta\' dunia baru.

Namun bagaimana dengan apa yang terjadi di masyarakat sekolah kita. model belajar membaca yang mana yang masih dominan dilakukan? Model suku kata atau model membaca gambar? Sangat boleh jadi kita akan mengajukan argumentasi bahwa model membaca gambar butuh biaya dan modal yang tidak sedikit. Namun saya berpendapat bahwa, modal yang paling mahal saat ini adalah motivasi dan komitmen untuk melakukannya.

Kita harus belajar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Dimana siswa di tingkat sekolah dasar salah satu dari komponen hasil belajar (Rapor) setiap semesternya adalah kualifikasi membaca buku. Siswa berkualifikasi asas atau dasar jika dalam kurun waktu satu semester mampu membaca sebanyak 90-179 judul buku, kualifikasi sederhana jika dapat membaca 180-269 judul buku, kualifikasi tinggi jika jumlah buku yang dibacanya adalah 270-359, dan kualifikasi cemerlang, sebagai kualifikasi paling tinggi jika jumlah buku yang dibacanya sebanyak lebih dari 360!

Maka dengan mengambil hikmah dari apa yang disampaikan Bapak Wakil Presiden, serta ekspektasi pemerintah kepada siswa yang duduk di bangku sekolah dasar di Malaysia, membaca memang harus menjadi bagian inheren dalam hidup kita.

Sumber: Harian PELITA, 24 juli 2007.

Guru Meninggalkan Kelas

Dalam suatu kegiatan pelatihan, kebetulan berada di sebuah Kabupaten sekaligus provinsi yang baru dibentuk dari hasil pemekaran suatu daerah, penulis diminta untuk memberikan satu sesi mengenai guru. Sebagaimana di pelatihan-pelatihan sebelumnya, dalam pelatihan kali itupun penulis sebagai guru mencoba menyampaikan apa yang pernah penulis alami, lihat atau dengar.

Singkat cerita dalam pelatihan tersebut penulis menyampaikan sebuah anekdot mengenai beberapa rekan kita yang kalau datang ke kelas untuk mengajar, kadang kurang tepat waktu. Meski kurangnya ‘hanya’ lima menit. Padahal lima menit adalah waktu emas. Karena dalam lima menit tersebut, siswa dalam kelas dapat melakukan apa saja yang mereka mau tanpa kontrol dari guru. Tetapi beberapa teman ini memperlakukan waktu lima menit, kadang-kadang lebih dari lima menit, sebagai suatu hal yang biasa saja.

Dan ketika pun ia telah hadir dalam kelas, maka akan segera meminta kepada para siswanya untuk membuka buku cetak mereka pada halaman 32. Dari halaman itu siswa dimintanya untuk membuat ringkasan dari uraian materi untuk selanjutnya mengerjakan soal latihan yang terdapat pada halaman berikutnya. Beberapa menit sesudah guru memberikan tugas itu, ia meninggalkan kelas untuk suatu keperluan entah apa di ruang guru. Baru lima menit sebelum pelajaran akan berakhir, teman itupun datang ke kelas. ”Sudah selesai anak-anak?” begitulah sapaannya yang selalu pula dijawab siswa dengan koor.

Pada saat penulis mengemukakan anekdot itu, para peserta pelatihan terkekeh-kekeh. Di waktu jeda, seorang peserta mendatangi penulis untuk kemudian mengemukakan bahwa apa yang penulis kemukakan tersebut masih pada tarap ’bagus’. Kok? Menurutnya, ada guru yang jika dalam satu hari memiliki 7 jam mengajar di kelas, maka dia hanya masuk kelas 4 atau 5 jam pelajaran. Dan sisanya guru hanya membiarkan siswanya melakukan pelajaran bebas. Deg! Penulis benar-benar shok.

Fakta tersebut bukanlah omong kosong. Ada obyek yang jelas jikalau ingin menunjuknya. Namun kenyataan itu tidaklah bijak bila kita tidak menanggapinya secara adil. Pertama, harus kita sadari bersama mengapa masih terdapat guru yang memiliki kinerja seburuk itu. Untuk menemukan mengapa, maka kita harus menggali akar masalahnya. Namun secara umum dapat kita katakan bahwa kinerja guru adalah refleksi dari sistem pembinaan yang dilakukan oleh manajemen dan juga sistem pembinaan dari lembaga tersebut.

Harus kita akui bahwa sebagai guru baru di sebuah lembaga pendidikan, kita memerlukan panduan dalam mengimplementaikan semua visi dan misi lembaga dalam bentuk kultur. Baik kultur bertingkah laku, kultur kerja, dan juga kultur berinteraksi dengan siswa dalam bentuk proses belajar mengajar. Bila semua hal tersebut tidak mendapat perhatian yang secukupnya dari manajemen di lembaga tersebut, maka akan lahir kultur individu-individu. Bukan kultur lembaga sebagaimana yang tertera dalam visi dan misinya.

Pembinaan tidak dapat pula hanya diberikan secara insidental. Karena pembinaan model seperti ini hanya akan memberikan pencerahan sesaat tanpa implementasi dalam hidup sehari-hari. Maka pembinaan harus berlangsung secara terus menerus tanpa henti. Dengan demikian maka kepala sekolah sebagai figur manajemen dan atasan langsung para guru adalah ujung tombak dari keberhasilan pola pembinaan mereka.

Kedua, kepada para guru untuk merenungkan kembali tentang pilihannya menjadi guru. Bahwa pilihan akan selalu memberikan konsekuensi. Sebagai pendidik kiranya tidak bijak bila menyalahkan pihak lain atas ketidaknyamanannya menjadi seorang guru. Kesadaran yang tulus atas ini akan melahirkan semangat dirinya dalam menunaikan tugas dan amanah keguruannya secara optimal. Optimalisasi potensi pada akhirnya akan membuka pintu baginya yang lebih lebar. Hal inilah yang Allah SWT sebutkan meninggikan derajat. Bagaimana bentuk tingginya derajat itu, sudah bukan bagian kita lagi untuk menjadi urusan kita. Karena yang harus dan selalu wajib bagi kita adalah memeras potensi menjadi optimal.

Ketiga, menjadi kewajiban penulis, pembaca, dan kita semua sebagai pendidik untuk memberikan kontribusi yang paling indah dan sesempurna mungkin dalam membentuk generasi yang lebih baik. Karena kumpulan usaha kita yang sungguh-sungguh dan total itulah yang akan melahirkan siswa-siswi kita sebagai generasi yang lebih baik dimasa depan. Tanpa kesadaran ini maka sesungguhnya yang kita lakukan barulah sebatas komentator.

Dari uraian diatas penulis kembali menyadari betapa perjalanan optimalisasi diri adalah bentuk nyata dari membelajarkan diri. Proses ini tiada akan pernah menemui garis akhir sejauh apapun kita bergerak. Dan keberhasilan, sesungguhnya hanya diluar diri kita saja yang dapat menakarnya dengan parameter yang adil. Karena jika kita sendiri sudah mulai menghitung-hitung prestasi sendiri, maka yang lahir adalah; pertama, sikap sombong atas jasa yang telah diamalkan. Dan kedua, sikap puas diri yang akan menghentikan langkah eksplorasi diri yang berakhir pada tataran camper sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Stoltz dalam Kecerdasan Adversitasnya. Atau dalam bahasa kiasan kita, layu sebelum berkembang sempurna.
Dan perjalanan menuju kesempurnaan itu kadang lahir dengan melihat apa yang terhampar disekitar kita. Termasuk anekdot yang penulis kemukakan di atas...

(Sumber: PELITA, 31 Mei 2005)

Menjadi Kreatif

Pak, apakah mungkin dalam keterbatasan yang dimiliki oleh seorang guru dewasa ini mampu menjadikan dirinya kreatif? Itulah pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari salah satu koran kepada penulis dalam sebuah seminar di Istora Senayan Sabtu, 5 Maret 2005 lalu. Karena seperti kita maklumi bersama bahwa kenyataan secara nasional di lapangan, sosok seorang guru adalah kurangnya jaminan kesejahteraan. Hal inilah yang menyebabkan mereka harus jungkir balik berakrobat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Dan ini pulalah yang menjadi argumentasi atau landasan bagi terbitnya pertanyaan di atas. Mungkinkah sosok guru seperti itu dapat melahirkan karya-karya yang optimal, penuh semangat dan kreatif? Kalau tidak mungkin, maka wajarlah bila guru menjadi kurang memiliki komitmen penuh dan optimal dalam melaksanakan amanah keguruannya di depan kelas. Untuk itulah maka meningkatkan kesejahteraan guru adalah langkah paling mendesak yang harus dilakukan oleh petinggi negeri ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengungkapkan beberapa hal sebagai ilustrasi tentang dunia keguruan.

Pertama adalah kenyataan yang harus diakui bahwa kesejahteraan guru di Indonesia, secara umum, masih kalah dibanding kesejahteraan profesi lain. Ini adalah fakta. Lalu bagaimana kita sebagai guru mensikapi fakta ini? Dapatkah kita mengharapkan pihak lain, seperti pemerintah atau lembaga atau yayasan dimana kita bekerja memenuhi tuntutatan kita untuk mensejarterakan kita. Apakah bila kita melakukan tuntutan tersebut tidak berdampak kepada pekerjaan kita sendiri? Lalu kalai tidak bisa apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi fakta ini? Haruskah melakukan demonstrasi atau mogok mengajar agar pihak yang mempekerjakan kita memenuhi tuntutat?

Stephen R Covey, menjelaskan bahwa apa yang menjadi fakta sebagaimana penulis tuturkan di atas adalah sebagai lingkaran pengaruh tak langsung, yang selalu ada dimanapun kita bekerja dengan profesi apapun. Sebagai lingkaran pengaruh tak langsung, kita sebagai personal, tidak dapat melakukan perubahan secara langsung.

Kedua, bahwa seseorang menempuh jalur pendidikan keguruan dan kemudian menjadi seorang guru adalah menjadi pilihan masing-masing pribadi. Tidak ada satu lembaga pun, baik pemerintah atau swasta, yang memaksakan kehendaknya agar kita menjadi guru atau agar bekerja di lembaganya. Semua adalah pilihan. Sebagai pilihan, maka setiap pribadi berhak untuk mengatakan ya atau tidak sebelum pilihan dijatuhkan. Tetapi setelah pilihan diputuskan, maka seseorang tersebut memiliki konsekuensi. Inilah yang oleh Covey sebutkan sebagai lingkaran pengaruh langsung. Dimana setiap pribadi dapat secara langsung menentukan dirinya sendiri tanpa pengaruh orang diluar dirinya.

Dengan melihat hal tersebut, maka sangat tidak adil bilamana seseorang yang dengan kesadaran dan ketulusannya, dikemudian hari menuding lembaga atau orang lain yang bersalah tentang pilihan yang telah dijatuhkan sendiri. Menurut penulis ini justru adalah bentuk kezaliman walau kadarnya tidak parah.

Ketiga, Allah SWT mendeklarasikan bahwa setiap umat berhak memasuki surganya sebagai konsekuensi dari apa yang telah diamalkan didunia sesuai dengan ’panduan’ yang telah diberikan melalui utusan-Nya. Dan bahwa surga bukan hanya milik golongan tertentu, semisal golongan agnia, karena itu adalah bukan sifat Allah. Dengan logika yang sama, kita pun mestinya memiiki hak yang sama untuk mejadi apapun yang kita inginkan.

Artinya menjadi mungkin bila setiap kita dapat menjadi kreatif tanpa menunggu menjadi sejahtera lebih dulu. Atau dengan kata lain menjadi kreatif tidak dapat diukur dari tingkat kesejahteraan yang telah dinikmati. Sehingga sangat tidak beralasan bila kita sebagai guru yang tidak atau yang belum kreatif atau belum mengembangkan potensinya secara maksimal, misalnya, karena disebabkan oleh pihak lain yang tidak memberikan kesejahteraan pada kita? Demikian pula sebaliknya, adakah jaminan bahwa dengan sejahtera akan menjadi kreatif? Jika demikian yang kita lakukan, maka dapatkah kita dikatakan telah berlaku adil pada diri kita sendiri?

Keempat, dalam jaman seperti sekarang ini, dimana perkembangan sekolah demikian cepatnya, maka guru yang kreatif, akan memiliki peluang lebih dibanding dengan guru yang lain. Tentu bila ukurannya adalah kompetisi sosial. Sebagaimana kita ketahui bersama, dengan perkembangan sekolah-sekolah swasta yang baru yang mengusung model belajar yang lebih memberdayakan, dimana melihat siswa secara holistik, adalah sekolah-sekolah yang membutuhkan guru-guru berkualitas. Dengan demikian maka bila para guru kreatif tersebut, kreativitasnya menjadi terbelenggu oleh otmosfer yang ada dimana ia mengabdikan kompetensinya, maka masih terbuka pintu pihak atau lembaga lain bagi dirinya. Dan biasanya kesejahteraan berjalan seiring.

Melihat dari kenyataan-kenyataan seperti yang penulis ungkapkan di atas, maka sangat tidak masuk akal bila menyalahkan kesejahteraan atau pihak lain, sebagai penyebab tidak lahirnya kreativitas atau tidak tergalinya potensi diri. Untuk itu kepada semua teman guru agar menjadikan potensi yang dimilikinya terus menerus dikembangkan melalui berbagai sarana dan wahana yang ada. Dan agar tidak menyalahkan pihak lain sebagai terdakwa dalam karier kita ...

(Sumber: PELITA, 19 April 2005)

Belajar Cita Rasa

Citarasa yang dmaksudkan dalam tulisan ini tentunya berbeda dengan apa yang sering kita lihat atau toton di media televisi kita, seperti dalam wisata kuliner. Namun begitu kosa kata citarasa di dunia persolahan juga memiliki makna yang bersinergi dengan apa yang digunakan dalam wisata kuliner. Perbedaannya , menurut penulis, terletak pada obyek yang menjadi fokus. Jika dalam wisata kuliner citarasa dimaknai ‘kepekaan lidah’ untuk merasai enak, lezat, atau tidaknya suatu makanan yang menjadi obyeknya. Sedang dalam dunia persekolahan, obyek citarasa dapat berupa kebersihan, melayani, caring dan empati pada lingkungan sekitar. Tentu dengan subyek para karyawan, guru dan manajemen di sekolah.

Mengapa citarasa menjadi penting di sekolah? Karena, menurut penulis, sekolah adalah tempat pemberdayaan potensi seluruh komunitas sekolah dalam membangun ,masyarakat yang luhur. Masyarakat luhur lebih kurangnya adalah masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat sesamanya. Tentu itu semua didasari oleh semangat untuk berlaku jujur, komitmen, sinergis, kerja keras dan bertawakal. Oleh karenanya membangun pemahanan dan sikap tentang citarasa sesuatu, sebagaimana yang diinginkan, adalah sesuatu yang harus pertama tertanam pada para karyawan, guru dan manajemen di sebuah sekolah.

Misal paling konkret adalah bagaimana kerapian ruang-ruang yang ada di sekolah menjadi bagian yang perlu menjadi prioritas sebuah sekolah. Dan inilah yang sering menjadi bagian paling rumit dan lambat untuk dilakukan pembenahan. Termasuk juga ruang manajemen dan ruang para guru. Sebagai institusi pendidikan, kadang kertas memang menjadi bagian yang paling krusial untuk dilakukan pembenahan.

Hal ini apakah memang karena kelemahan para pelaku sehingga kerapian menjadi sulit terwujud untuk dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Karena yang terjadi jika hari ini telah dirapikan maka pekan depan tumpukan kertas pekerjaan siswa, administrasi, atu perlengkapan kerja lainnya telah kembali membukit atau berserakan di meja atau ruang kerja.

Sebaliknya, sebagaimana yang diceritakan oleh kawan saya ketika berkesempatan untuk mengunjungi di sebuah sekolah negeri, dan menjadi terkesima ketika melihat barisan toilet dan wc yang luar biasa cemerlang layaknya berada di sebuah hotel berbintang. Meski perkakas dengan merek yang standar tetapi lembaga tersebut telah mampu menjadikannya sebagai tempat para siswa dan guru melakukan hajat dengan penuh kesesuaian antara visi sekolahnya dengan apa yang terlihat di wc. Luar biasa! Sama halnya ketika kita mengunjungi sebuah taman yang benar-benar dirawat atau taman yang sekedar ditanam dan terlihat apa adanya? Bukankah hal itu adalah hasil sebuah citarasa?

Citarasa yang menyangkut dengan pembalajaran misalnya saja adalah bagaimana seorang guru yang ketika akan menyampaikan sebuah topik belajar, maka yang terbayang adalah bagaimana siswanya nanti di dalam kelas saat mengeksplorasi topik tersebut? Dan dari sudut inilah guru tersebut akan berpikir tentang bagaimana startegi atau kegiatan belajar yang akan disodorkan pada siswanya? Apakah ketika aktivitas yang dia ciptakan nantinya dikerjakan siswanya dengan penuh suka cita? Itulah citarasa.

Belajar Citarasa
Satu hal yang pernah kami, penulis dan kawan-kawan lakukan dalam membangun citarasa sekolah kita agar lebih moderen, semarak, dan membahagiakan para siswa untuk betah di sekolah adalah dengan melihat bagaimana kegiatan belajar dan aktivitas di sebuah sekolah yang kita anggap representatif. Itulah yang kita sebut sebagai kunjungan perbandingan. Dalam kegiatan tersebut guru dan manajemen dapat melihat, meski kadang secara sepintas, bagaimana orang lain, dalam hal ini adalah komunitas sekolah yang kita kunjungi, mengelola perkerjaan. Seperti melakukan pembelajaran, berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa, rapat sesama guru pararel atau guru satu rumpun pelajaran, membuat lay out kelas, dan memberdayakan papan pajangan yang tersedia. Kumpulan informasi dari hasil kunjungan tersebut kadang menyadarkan kita tentang bagaimana melihat sesuatu yang sama dari dan dengan kacamata yang berbeda. Maka inilah citarasa.

Belajar citarasa dengan cara pelatihan, mungkin menjadi bagian yang dapat kita lakukan bersama. Inilah strategi yang didasarkan pada studi kasus seperti layaknya tayangan Bedah Rumah yang ada di televisi. Dimana seluruh guru dibagi dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok akan mendapat tugas satu buah ruangan untuk dijadikan ujicoba mereka. Dimana tugas yang diemban oleh setiap kelompoknya adalah membuat racangan sedetil mungkin melalui diskusi. Dari rancangan yang telah mereka sepakati, mereka akan merealisasikan.

Ketika tugas setiap kelompok selesai, maka kelompok-kelompok tersebut dapat melakukan touring menuju ruangan yang menjadi tanggung jawab kelompok lain. Ini sebagai bagian dari startegi agar setiap anggota kelompok melihat bagaimana teman-temannya dari kelompok lain membuat citarasa baru dari ruangan-ruangan yang menjadi tanggungjawabnya. Sehingga diantara mereka dapat menemukan tentang bagiamana menata sesuatu dengan cara pandang yang berbeda.

Tujuan utama dalam belajar citarasa tidak lain adalah bagaimana kita memberdayakan diri untuk ‘naik kelas’. Sehingga sesuatu yang kita miliki dapat kita berdayagunakan secara optimal. Tidak saja optimal dari sisi penggunaannya tetapi juga pada fungsi dan estetikanya.

(Sumber: PELITA, 13 Nopember 2007)

Belenggu Kreatifitas

Kreativitas guru menjadi topik menarik untuk terus didiskusikan. Karena harus diakui bahwa guru sebagai operator pendidikan memegang peran yang sangat kunci dalam pengendalian mutu pendidikan suatu bangsa. Apapun tolok ukur kualitas tersebut. Apakah nilai atau angka dalam ujian nasional ataukah indeks prestasi dalam bentuk lain. Semua konsep apapun dan bagaimanapun, selalu memiliki akar pada bagaimana praktek atau proses pencapaian itu berlangsung. Hal ini tidak saja adanya hegomoni Ujian Nasional yang akan terus dilaksanakan bahkan akan terjadi perluasan pada institusi pelaksananya dan mata pelajaran yang diujikan sebagaimana termuat dalam PP No 19 tahun 2005, tetapi juga paradigma masyarakat Indonesia dalam memandang hasil belajar.

Namun pertanyaannya adalah, bersumber dari manakah belenggu-belenggu yang menumpulkan dan membekukan bagi lahirnya kreativitas guru dalam melakukan amanah keguruaannya di sekolah selama ini? Apakah ulangan umum bersama (UUB) yang dilakukan oleh sebagian besar sekolah atas kebijaksanaan pejabat pada setiap akhir semester dan juga pelaksanaan Ujian Nasional yang berkontribusi sebagai penghambat bagi tumbuhnya kreativitas guru Kompas, 13 Februari 2006)?

Tulisan ini akan mencoba memberikan gambaran perlawanan yang kami pernah lakukan di sekolah nasional plus, tempat penulis bekerja sebelumnya. Paparan untuk melihat kreativitas dan hambatan yang membelenggunya.

Keberadaan Ujian Nasional memang tidak dapat dipungkiri sebagai hal yang harus disikapi oleh guru dengan kewaspadaan yang sempurna dan optimal. Mengapa? Karena seluruh mata masyarakat, sekolah dan pemerintah menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai tolak ukur bagi keberhasilan sebuah sekolah.

Sebuah sekolah apapun nama dan reputasinya, akan selalu dihubungkan prestasinya dengan hasil rata-rata Ujian Nasional para siswanya. Hasil Ujian Nasional dengan rata-rata yang bagus akan menjadikan sekolah bersangkutan memiliki peringkat yang bagus di wilayahnya dan pandangan masyarakat dilingkungannya. Semakin berprestasi (baca: tinggi nilai rata-rata UN siswanya) maka semakin meningkat wilayah persaingannya. Dan pastinya semakin termasyur. Sehingga masyarakat akan berbondong-bondong memasukkan putra-putrinya di sekolah tersebut.

Hasil Ujian Nasional yang bagus tidak hanya akan meningkatkan peringkat sekolah yang bersangkutan saja, sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga akan berbanding lurus dengan banyaknya lulusan sekolah tersebut yang diterima masuk di sekolah-sekolah favorit atau sekolah paling eksklusif sekalipun. Hal ini terjadi terutama bagi siswa lulusan SMP yang akan melanjutkan di jenjang pendidikan SMA. Dimana hasil Ujian Nasional yang bagus dan maksimal, akan memberikan peluang yang besar atau kepastian untuk siswa dalam memilih dan diterima oleh sekolah yang diidamkannya.

Cara pandang inilah yang menjadi pemicu bagi guru untuk mengejar perolehan angka pada mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Bila usaha guru dalam membelajarkan siswanya dengan proses belajar ”konvensional” tidak membawa dampak positif dan berarti kepada perolehan hasil Ujian Nasional, maka ia akan melipat gandakan usaha. Usaha guru tersebut mendapat support sepenuhnya dari pihak sekolah sebagai lembaga. Dan sekolah tentunya akan mensinergikan semua lini yang menjadi stakeholder dalam pelaksanaan Ujian Nasional di sekolahnya. Alhasil Ujian Nasional hanya dilihat sebatas pada perolehan nilai. Dan tugas guru adalah bagaimana siswa memperoleh nilai yang bagus dari mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Kebiasaan yang terus menerus diredusir inilah sebagai awal lahirnya belenggu kreativitas guru.

Dalam kondisi seperti inilah penulis bersama teman-teman melakukan perlawanan. Strategi tersebut kami sandarkan kepada manajemen berbasis sekolah atau MBS. Semua orangtua di awal tahun pelajaran telah kami wanti-wanti bahwa sekolah kami bukan mendidik siswa untuk mendapat nilai Ujian Nasional Murni yang rata-rata 8, 9, atau 10. Sekolah kami adalah sekolah yang membekali siswanya tiga ranah pembelajaran yang di anut oleh pendidikan di Indonesia. Sekolah kami tidak menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai satu-satunya hasil belajar. Oleh karenanya sebelum Bapak/Ibu calon orangtua siswa mengamanahkan putra-putrinya di sekolah kami agar berpikir ulang, demikian kalimat yang kami sampaikan kepada para calon orangtua siswa. Kami juga sampaikan kepada orangtua yang masih menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai satu-satunya yang menentukan perjalanan hidup putra-putrinya untuk datang ke sekolah-sekolah favorit yang bertebaran dimana-mana.

Strategi perlawanan kami ini perlu waktu dan melelahkan. Karena tidak jarang dalam kurun waktu belajar ada orangtua yang semula sepaham dengan kami dalam melihat hasil belajar menjadi berubah paradigmanya karena kenyataan yang hidup di masyarakat. Tetapi dengan tidak putus-putusnya kami berkomunikasi kepada orangtua bahwa siswa yang menjadi pemimpin upacara, berani berargumentasi, senyum sapa, membuka web site sesuai dengan keperluannya atau hal positif yang melekat pada diri seseorang adalah juga hasil belajar. Sehingga nilai ujian tidak sama dengan hasil belajar. Nilai ujian adalah salah satu hasil belajar atau sebagai bagian dari hasil belajar.

Apakah kami tidak menyiapkan siswa untuk berhasil menghadapi ujian? Tidak. Kami tetap berkonsentrasi dalam menghadapi ujian. Tetapi kami akan melakukannya tidak dengan cara membabi buta dalam pola belajar copy-test-correction (CTC). Karena tugas guru lebih luhur dari pada sekedar sebagai tukang foto copy soal latihan, memberikan tes kepada siswa, dan mengoreksi soal setelah membahas bersama. Dan siswa jauh lebih diberdayakan jika ia diberikan kesempatan untuk melakukan eksplorasi dengan cara pencarian dan penemuan informasi, pengumpulan informasi, pengelompokkan informasi, menganalisa, menjustifikasi, menyimpulkan, mengevaluasi. Lebih-lebih bagi sekolah yang memang seluruh siswanya saat penjaringan memiliki rata-rata nilai Ujian Nasional 9!

Dengan demikian maka perlawanan kami adalah pemberdayaan masyarakat tentang esensi belajar, tentang proses belajar, dan tentang hasil belajar. Tanpa itu maka kita akan terus menerus berkubang pada pola pembelajaran CTC tersebut di atas. Dan jika itu yang dilakukan, maka untuk apa perguruan tinggi keguruan didirikan? Masih perlukah kita pada sarjana pendidikan?

(Sumber: PELITA, 6 juni 2006)