Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

21 January 2009

Belajar Cita Rasa

Citarasa yang dmaksudkan dalam tulisan ini tentunya berbeda dengan apa yang sering kita lihat atau toton di media televisi kita, seperti dalam wisata kuliner. Namun begitu kosa kata citarasa di dunia persolahan juga memiliki makna yang bersinergi dengan apa yang digunakan dalam wisata kuliner. Perbedaannya , menurut penulis, terletak pada obyek yang menjadi fokus. Jika dalam wisata kuliner citarasa dimaknai ‘kepekaan lidah’ untuk merasai enak, lezat, atau tidaknya suatu makanan yang menjadi obyeknya. Sedang dalam dunia persekolahan, obyek citarasa dapat berupa kebersihan, melayani, caring dan empati pada lingkungan sekitar. Tentu dengan subyek para karyawan, guru dan manajemen di sekolah.

Mengapa citarasa menjadi penting di sekolah? Karena, menurut penulis, sekolah adalah tempat pemberdayaan potensi seluruh komunitas sekolah dalam membangun ,masyarakat yang luhur. Masyarakat luhur lebih kurangnya adalah masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat sesamanya. Tentu itu semua didasari oleh semangat untuk berlaku jujur, komitmen, sinergis, kerja keras dan bertawakal. Oleh karenanya membangun pemahanan dan sikap tentang citarasa sesuatu, sebagaimana yang diinginkan, adalah sesuatu yang harus pertama tertanam pada para karyawan, guru dan manajemen di sebuah sekolah.

Misal paling konkret adalah bagaimana kerapian ruang-ruang yang ada di sekolah menjadi bagian yang perlu menjadi prioritas sebuah sekolah. Dan inilah yang sering menjadi bagian paling rumit dan lambat untuk dilakukan pembenahan. Termasuk juga ruang manajemen dan ruang para guru. Sebagai institusi pendidikan, kadang kertas memang menjadi bagian yang paling krusial untuk dilakukan pembenahan.

Hal ini apakah memang karena kelemahan para pelaku sehingga kerapian menjadi sulit terwujud untuk dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Karena yang terjadi jika hari ini telah dirapikan maka pekan depan tumpukan kertas pekerjaan siswa, administrasi, atu perlengkapan kerja lainnya telah kembali membukit atau berserakan di meja atau ruang kerja.

Sebaliknya, sebagaimana yang diceritakan oleh kawan saya ketika berkesempatan untuk mengunjungi di sebuah sekolah negeri, dan menjadi terkesima ketika melihat barisan toilet dan wc yang luar biasa cemerlang layaknya berada di sebuah hotel berbintang. Meski perkakas dengan merek yang standar tetapi lembaga tersebut telah mampu menjadikannya sebagai tempat para siswa dan guru melakukan hajat dengan penuh kesesuaian antara visi sekolahnya dengan apa yang terlihat di wc. Luar biasa! Sama halnya ketika kita mengunjungi sebuah taman yang benar-benar dirawat atau taman yang sekedar ditanam dan terlihat apa adanya? Bukankah hal itu adalah hasil sebuah citarasa?

Citarasa yang menyangkut dengan pembalajaran misalnya saja adalah bagaimana seorang guru yang ketika akan menyampaikan sebuah topik belajar, maka yang terbayang adalah bagaimana siswanya nanti di dalam kelas saat mengeksplorasi topik tersebut? Dan dari sudut inilah guru tersebut akan berpikir tentang bagaimana startegi atau kegiatan belajar yang akan disodorkan pada siswanya? Apakah ketika aktivitas yang dia ciptakan nantinya dikerjakan siswanya dengan penuh suka cita? Itulah citarasa.

Belajar Citarasa
Satu hal yang pernah kami, penulis dan kawan-kawan lakukan dalam membangun citarasa sekolah kita agar lebih moderen, semarak, dan membahagiakan para siswa untuk betah di sekolah adalah dengan melihat bagaimana kegiatan belajar dan aktivitas di sebuah sekolah yang kita anggap representatif. Itulah yang kita sebut sebagai kunjungan perbandingan. Dalam kegiatan tersebut guru dan manajemen dapat melihat, meski kadang secara sepintas, bagaimana orang lain, dalam hal ini adalah komunitas sekolah yang kita kunjungi, mengelola perkerjaan. Seperti melakukan pembelajaran, berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa, rapat sesama guru pararel atau guru satu rumpun pelajaran, membuat lay out kelas, dan memberdayakan papan pajangan yang tersedia. Kumpulan informasi dari hasil kunjungan tersebut kadang menyadarkan kita tentang bagaimana melihat sesuatu yang sama dari dan dengan kacamata yang berbeda. Maka inilah citarasa.

Belajar citarasa dengan cara pelatihan, mungkin menjadi bagian yang dapat kita lakukan bersama. Inilah strategi yang didasarkan pada studi kasus seperti layaknya tayangan Bedah Rumah yang ada di televisi. Dimana seluruh guru dibagi dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok akan mendapat tugas satu buah ruangan untuk dijadikan ujicoba mereka. Dimana tugas yang diemban oleh setiap kelompoknya adalah membuat racangan sedetil mungkin melalui diskusi. Dari rancangan yang telah mereka sepakati, mereka akan merealisasikan.

Ketika tugas setiap kelompok selesai, maka kelompok-kelompok tersebut dapat melakukan touring menuju ruangan yang menjadi tanggung jawab kelompok lain. Ini sebagai bagian dari startegi agar setiap anggota kelompok melihat bagaimana teman-temannya dari kelompok lain membuat citarasa baru dari ruangan-ruangan yang menjadi tanggungjawabnya. Sehingga diantara mereka dapat menemukan tentang bagiamana menata sesuatu dengan cara pandang yang berbeda.

Tujuan utama dalam belajar citarasa tidak lain adalah bagaimana kita memberdayakan diri untuk ‘naik kelas’. Sehingga sesuatu yang kita miliki dapat kita berdayagunakan secara optimal. Tidak saja optimal dari sisi penggunaannya tetapi juga pada fungsi dan estetikanya.

(Sumber: PELITA, 13 Nopember 2007)

No comments: