Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

21 January 2009

Belenggu Kreatifitas

Kreativitas guru menjadi topik menarik untuk terus didiskusikan. Karena harus diakui bahwa guru sebagai operator pendidikan memegang peran yang sangat kunci dalam pengendalian mutu pendidikan suatu bangsa. Apapun tolok ukur kualitas tersebut. Apakah nilai atau angka dalam ujian nasional ataukah indeks prestasi dalam bentuk lain. Semua konsep apapun dan bagaimanapun, selalu memiliki akar pada bagaimana praktek atau proses pencapaian itu berlangsung. Hal ini tidak saja adanya hegomoni Ujian Nasional yang akan terus dilaksanakan bahkan akan terjadi perluasan pada institusi pelaksananya dan mata pelajaran yang diujikan sebagaimana termuat dalam PP No 19 tahun 2005, tetapi juga paradigma masyarakat Indonesia dalam memandang hasil belajar.

Namun pertanyaannya adalah, bersumber dari manakah belenggu-belenggu yang menumpulkan dan membekukan bagi lahirnya kreativitas guru dalam melakukan amanah keguruaannya di sekolah selama ini? Apakah ulangan umum bersama (UUB) yang dilakukan oleh sebagian besar sekolah atas kebijaksanaan pejabat pada setiap akhir semester dan juga pelaksanaan Ujian Nasional yang berkontribusi sebagai penghambat bagi tumbuhnya kreativitas guru Kompas, 13 Februari 2006)?

Tulisan ini akan mencoba memberikan gambaran perlawanan yang kami pernah lakukan di sekolah nasional plus, tempat penulis bekerja sebelumnya. Paparan untuk melihat kreativitas dan hambatan yang membelenggunya.

Keberadaan Ujian Nasional memang tidak dapat dipungkiri sebagai hal yang harus disikapi oleh guru dengan kewaspadaan yang sempurna dan optimal. Mengapa? Karena seluruh mata masyarakat, sekolah dan pemerintah menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai tolak ukur bagi keberhasilan sebuah sekolah.

Sebuah sekolah apapun nama dan reputasinya, akan selalu dihubungkan prestasinya dengan hasil rata-rata Ujian Nasional para siswanya. Hasil Ujian Nasional dengan rata-rata yang bagus akan menjadikan sekolah bersangkutan memiliki peringkat yang bagus di wilayahnya dan pandangan masyarakat dilingkungannya. Semakin berprestasi (baca: tinggi nilai rata-rata UN siswanya) maka semakin meningkat wilayah persaingannya. Dan pastinya semakin termasyur. Sehingga masyarakat akan berbondong-bondong memasukkan putra-putrinya di sekolah tersebut.

Hasil Ujian Nasional yang bagus tidak hanya akan meningkatkan peringkat sekolah yang bersangkutan saja, sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga akan berbanding lurus dengan banyaknya lulusan sekolah tersebut yang diterima masuk di sekolah-sekolah favorit atau sekolah paling eksklusif sekalipun. Hal ini terjadi terutama bagi siswa lulusan SMP yang akan melanjutkan di jenjang pendidikan SMA. Dimana hasil Ujian Nasional yang bagus dan maksimal, akan memberikan peluang yang besar atau kepastian untuk siswa dalam memilih dan diterima oleh sekolah yang diidamkannya.

Cara pandang inilah yang menjadi pemicu bagi guru untuk mengejar perolehan angka pada mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Bila usaha guru dalam membelajarkan siswanya dengan proses belajar ”konvensional” tidak membawa dampak positif dan berarti kepada perolehan hasil Ujian Nasional, maka ia akan melipat gandakan usaha. Usaha guru tersebut mendapat support sepenuhnya dari pihak sekolah sebagai lembaga. Dan sekolah tentunya akan mensinergikan semua lini yang menjadi stakeholder dalam pelaksanaan Ujian Nasional di sekolahnya. Alhasil Ujian Nasional hanya dilihat sebatas pada perolehan nilai. Dan tugas guru adalah bagaimana siswa memperoleh nilai yang bagus dari mata pelajaran yang diuji nasionalkan. Kebiasaan yang terus menerus diredusir inilah sebagai awal lahirnya belenggu kreativitas guru.

Dalam kondisi seperti inilah penulis bersama teman-teman melakukan perlawanan. Strategi tersebut kami sandarkan kepada manajemen berbasis sekolah atau MBS. Semua orangtua di awal tahun pelajaran telah kami wanti-wanti bahwa sekolah kami bukan mendidik siswa untuk mendapat nilai Ujian Nasional Murni yang rata-rata 8, 9, atau 10. Sekolah kami adalah sekolah yang membekali siswanya tiga ranah pembelajaran yang di anut oleh pendidikan di Indonesia. Sekolah kami tidak menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai satu-satunya hasil belajar. Oleh karenanya sebelum Bapak/Ibu calon orangtua siswa mengamanahkan putra-putrinya di sekolah kami agar berpikir ulang, demikian kalimat yang kami sampaikan kepada para calon orangtua siswa. Kami juga sampaikan kepada orangtua yang masih menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai satu-satunya yang menentukan perjalanan hidup putra-putrinya untuk datang ke sekolah-sekolah favorit yang bertebaran dimana-mana.

Strategi perlawanan kami ini perlu waktu dan melelahkan. Karena tidak jarang dalam kurun waktu belajar ada orangtua yang semula sepaham dengan kami dalam melihat hasil belajar menjadi berubah paradigmanya karena kenyataan yang hidup di masyarakat. Tetapi dengan tidak putus-putusnya kami berkomunikasi kepada orangtua bahwa siswa yang menjadi pemimpin upacara, berani berargumentasi, senyum sapa, membuka web site sesuai dengan keperluannya atau hal positif yang melekat pada diri seseorang adalah juga hasil belajar. Sehingga nilai ujian tidak sama dengan hasil belajar. Nilai ujian adalah salah satu hasil belajar atau sebagai bagian dari hasil belajar.

Apakah kami tidak menyiapkan siswa untuk berhasil menghadapi ujian? Tidak. Kami tetap berkonsentrasi dalam menghadapi ujian. Tetapi kami akan melakukannya tidak dengan cara membabi buta dalam pola belajar copy-test-correction (CTC). Karena tugas guru lebih luhur dari pada sekedar sebagai tukang foto copy soal latihan, memberikan tes kepada siswa, dan mengoreksi soal setelah membahas bersama. Dan siswa jauh lebih diberdayakan jika ia diberikan kesempatan untuk melakukan eksplorasi dengan cara pencarian dan penemuan informasi, pengumpulan informasi, pengelompokkan informasi, menganalisa, menjustifikasi, menyimpulkan, mengevaluasi. Lebih-lebih bagi sekolah yang memang seluruh siswanya saat penjaringan memiliki rata-rata nilai Ujian Nasional 9!

Dengan demikian maka perlawanan kami adalah pemberdayaan masyarakat tentang esensi belajar, tentang proses belajar, dan tentang hasil belajar. Tanpa itu maka kita akan terus menerus berkubang pada pola pembelajaran CTC tersebut di atas. Dan jika itu yang dilakukan, maka untuk apa perguruan tinggi keguruan didirikan? Masih perlukah kita pada sarjana pendidikan?

(Sumber: PELITA, 6 juni 2006)

No comments: