Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

10 April 2011

Semua 'Jalan' Sama?

Saya berharap semua teman dan pembaca faham dan mengerti maksud saya, tanpa terlebih dahulu harus saya jelaskan tentang makna 'jalan' dalam judul tulisan ini. Bukan karena sombong maka saya tidak perlu memberikan penjelasan. Juga bukan karena saya berkeinginan membuat teka-teki kepada Anda semua. Terus terang saja, selain saya sendiri merasa kesilitan bagaimana menjelaskannya, juga kawatir justru jika saya menjelaskannya secara terang, Anda menjadi tersinggung. Saya tidak mau ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Meski yang saya tulis ini masuk dalam domain yang relatif sensitif. Untuk itulah, tidak perlu saya menjelaskan lebih lanjut tentangnya. Cukup sampai disitu saja. Semoga cerita yang saya tulis nanti justru menjadi penjelasan yang oprasional.

Kembali kepada judul artikel ini; Apakah semua 'jalan' adalah sama? "Jalan' apakah Gus? Maaf, cukup sampai disitu saja. Saya perlu jawaban. Bukan penjelasan apa yang dimaksud dengan jalan tersebut.

Sekali lagi, jadi apa jawaban Anda dengan pertanyaan itu? Mohon jawabannya. Dan karena ini bukan pertanyaan sebagaimana yang ada di dalam soal ujian nasional, maka jawaban yang dituntut bukan memilih pilihan jawaban yang sudah ada dan tersedia. Dalam persoalan ini, saya meminta Anda untuk melakukan lebih dari sekedar memilih jawaban. Yaitu meminta Anda memberikan argumentasi terhadap jawaban yang diputuskan.


Mengapa saya sibuk dengan pertanyaan tentang 'jalan" ini? Karena, pertanyaan ini lahir terkait dengan jinggle lagu yang yang secara samar saya dengar. Jinggle itu syairnya mengatakan kalau semua 'jalan' adalah sama. Karena semua ('jalan' itu) menuju kepada Tuhan yang sama (?). Jinggle lagu yqng sekilas saya dengar di radio, saat saya berada di halaman sebuah pasar moderen yang ada di bilangan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

'Jalan'

Dalam pemahaman saya tentang jalan menuju Tuhan, dan tentang saya sendiri menuju-Nya, maka saya menapaki jalan yang telah Tuhan saya berikan informasinya kepada saya. Sebuah informasi yang luar biasa karena saya harus memberdayakan akal dan pikiran saya serta rasa yakin. Jalan itu saya temukan melalui seorang yang paripurna liniernya antara pikirannya, gagasannya, ucapannya, serta perilakunya, yang saya yakini sebagai pemandu saya dalam menemukan tujuan akhir saya, dan mungkin juga Anda. Sebuah panduan yang jelas, yang tentunya dalam bentuk peta perjalanan. Inilah 'jalan' yang saya pilih dan yakini. Sebuah 'jalan' yang hakul yakin tidak ada duanya. Nah, bagaimana dengan 'jalan' yang Anda pilih? Mungkin sama dengan apa yang saya pilih. Tetapi sangat mungkin juga berbeda.

Kepada Anda yang memilih jalan berbeda dengan jalan yang saya yakini, maka saya mengajukan satu pertanyaan lagi; mengapa tidak anda memilih jalan yang saya pilih? Atau pertanyaan yang Sama anfa ajukan untuk saya; Mengapa saya tidak memilih jalan yang anda pilih? Tentu karena masing-masing kita meyakini bahwa 'jalan' menuju Tuhan yang berbeda tersebut, karena memang kita meyakini bahwa 'jalan' tersebut tidak sama. Beda.


Dengan logika sederhana seperti itu, saya berpendapat bahwa jalan menuju Tuhan tidaklah sama dan sebangun, jika kita kita membuat metapora dengan sebuah 'jalan' menuju kota Yogyakarta, misalnya.

Tidak Semua 'Jalan' Sama

Ada dua hal lagi yang ingin saya katakan. Bahwa kalau semua jalan menurut anda sama, sedang saya berpendapat berbeda, bukankah cukup bagi kita berhenti sampai di sini diskusi kita ini, dan mari saling menghormati apa yang menjadi keyakinan masing-masing kita. Karena jika Anda memaksa saya untuk meyakini kebenaran yang berbeda dari Anda, maka hingga akhir hayat pun, saya tetap mengakui yang sebaliknya. Oleh karenanya, mengapa dalam domain bertuhan pun saya harus diminta untuk mengatakan bahwa semua jalan sama?

Kalau hanya bermaksud mengibarkan bendera pluralisme tetapi harus memaksakan kehendak, saya justru meyakini bahwa Anda sebenarnya sedang memainkan dua peranan. Pertama, Anda sedang menjadi penebar perangkap dan sayalah korban yang menjadi sasaran Anda. Atau kedua, Anda sedang dijangkiti penyakit maju tak gentar membela yang bayar? Lalu kebenaran seperti apa jika dua peranan itu yang sedang dimainkan?

Jakarta, 10 April 2011.

09 April 2011

Pola Komunikasi dan Persepsi, Sebuah Refleksi dari Peristiwa Titipan

Artikel ini tidak membahas tentang pola komunikasi para anggota dewan yang terhormat berkenaan dengan pembangunan gedungnya yang hingga kini selalu hangat meski, katanya, anggaran pembangunannya sudah dialokasikan. Karena selain masalah itu begitu besar bagi saya pribadi yang hanya memiliki satu suara saat di dalam TPS, juga tidak ada guna dan manfaatnya bagi mereka yang ketika sudah menjadi anggota dewan terhormat, terlalu muskil untuk mampu dan bisa mendengar suara saya.

Jadi bukan tentang masalah itu. Tulisan ini adalah tentang hal kecil dan sehari-hari, yang kami alami di tempat kami memegang amanah sebagai guru di sekolah.

Berikut ini adalah kejadian yang saya alami di sekolah. Kejadian yang berkenaan dengan titipan barang, berupa hsil tugas siswa yang tertinggal, untuk dikirim kepada siswa melalui salah seorang anggota Satpam sekolah, yang ternyata tidak terkomunikasikan bahwa titipan sudah sampai. kepada orang yang dituju.

Peristiwa berawal dari komplain anggota Satpam kepada saya. Komplain berkenaan dengan titipan dari orangtua siswa yang setelah sampai di rumah, siswa mengaku belum mendapatkan titipan yang di kirim ke sekolah.

Bermula dari titipan yang diserahkan kepada salah seorang anggotaSatpam kepada guru yang bertugas di meja piket. Sebagai bentuk amanah, guru petugas piket langsung menyerahkan titipan kepada guru kelas yang dituju. Guru tidak mengkomunikasikan kepada siswa jikalau pekerjaan rumahnya yang tertinggal sudah diterimanya. Ketika sampai di rumah, sang Ibu yang menitipkan barang kepada Satpam bertanya kepada anak; Apakah titipannya sampai dan diterima? Jawab anak belum. Inilah model komunikasi yang sering membuat suasana dan atmosfer tidak lagi kondusif. Meski masalah yang timbul sesungguhnya terletak kepada kurangnya kepekaan dalam berkomunikasi.

Pola Komunikasi dan Persepsi

Peristiwa kecil di atas menjadi bahan tulisan ini, karena saya melihat ini adalah kejadian yang tampaknya sering menimpa kita. Anehnya kita sendiri membiarkannya, atau lebih tepatnya kurang memahami dan menyadarinya sebagai sumber penghambat dari sebuah keharmonisan hubungan. Tentu bagi kita, ketika kita berada pada pihak yang tidak diuntungkan. Seperti peristiwa di atas, dimana pihak otangtua akhirnya komplain kepada Satpam yang menerima langsung titipannya.

Padahal sesungguhnya tidak ada masalah dalam hal titipan itu. Bukankah titipan tetap sampai kepada orang yang dituju? Letak masalahnya adalah tidak adanya komunikasi antara guru yang menjadi tujuan dari barang titipan tersebut, kepada siswa yang bersangkut dengannya. Misalnya dengan mengabarkan kepada siswanya bahwa titipan berupa buku pekerjaan rumah yang tertinggal di rumah telah sampai dan diterimanya.

Sangat boleh jadi pihak guru, atau suatu saat dalam masalah lain misalnya adalah kita sendiri, tidak menyadari betapa pentingnya menyatakan apa yang telah diterimanya, itu kepada pihak yang berkait dengannya. Kenyataan seperti ini hanya dapat terjadi karena ketidaksadaran dan ketidaksampaian kita, bahwa menyatakan sesuatu yang diterima atau bahkan yang dipikirkan adalah hal yang bermakna bagi orang lain. Terutama yang berkait dengan sebab akibat dalam komunikasi sosial.

Atau boleh jadi hal semacam itu tidak terpikir karena guru yang menerima kiriman tersebut , karena pada saat yang sama sedang tidak fokus. Maka pemikiran titipan dari siapa dan untuk siapa, juga menjadi tidak diperhatikannya. Tapi itulah pola kamunikasi yang sering terjadi di lingkungan sosial kita. Bahwa sering kita menganggap orang lain telah tahu dan bahkan faham tentang apa yang ada di dalam benak kita padahal kita belum atau tidak menyatakannya. Karena tahu dan faham pada kenyataannya seperti itu baru ada pada tataran persepsi.

Pola komunikasi yang mengandalkan persepsi seperti peristiwa tersebut di atas itulah yang masih sering terjadi dalam domain sosial kita. Semoga hal semacam ini tidak terulang dimasa berikutnya. Terutama dan yang paling utama di lingkungan paling dekat dengan saya. Semoga. Amin.

Jakarta, 8-9 April 2011

08 April 2011

Kunang-Kunang, Dimana Lagi Bisa Kutemukan?

Pagi hari ini, di hall sekolah, saya menyaksikan atraksi anak-anak TK di depan teman-temannya dan juga di depan para ayah bunda mereka. Kegiatan yang dilakukan oleh siswa berkenaan dengan puncak tema yang mereka usung sepanjang lebih kurang empat pekan ini, berwirausaha. Diantara penampilan itu adalah panampilan tari kontemporer hasil karya cipta ibu guru mereka juga, yang diiringi dengan lagu kunang-kunang. Sebuah lagu yang membuat saya tergelitik dan tidak bisa lagi berhenti berpikir mengenang kembali binatang yang terabadikan dalam lagu itu.

Ya, kunang-kunang, siapa diantara generasi seusia mereka itu yang pernah melihat binatang kunang-kunang, yang mengeluarkan cahaya ketika berterbangan di senja hingga malam hari secara langsung di alam nyata? Tidak seorang pun. Bahkan gurunya pun, sebagai pelatih lagunya, tidak semuanya pernah melihat bagaimana kunang-kunang mengeluarkan cahaya 'kelap-kelip'nya yang menyala dan bersinar seperti bintang di malam hari?

Dengan kenyataan inilah, maka saya bercerita kepada anak-anak bagaimana kunang-kunang itu. Sebuah pengalaman yang terakhir saya lihat di desa saya, yang berada di ujung kabupaten Purworejo lebih kurang tahun 1979. Sebuah pemandangan yang selalu muncul di pinggiran sawah bengkok milik desa kami jika saya terlambat pulang ke rumah seusai bermain sepak bola di kampung sebelah. Dan pengalaman seperti itu pun tidak berlangsung lama. Karena sawah bengkok desa itu akhirnya dijadikan lapangan sepak bola oleh anak muda desa, termasuk saya, sebagai faslitas desa. Sehingga kunang-kunang tidak pernah muncul lagi di desa kami. Pergi entah kemana.

Kunang-Kunang di Resun-Pancur

Saya kembali melihat kunang-kunang itu setelah lebih kurang 30 tahun. Benar, 30 tahun! Tidak saja pengalaman baru ini menjadikan saya bahagia karena seperti menemukan kembali kenangan yang telah lama hampir saya lupa. Tetapi juga sekaligus membuat saya terhenyak kaget dan kagum akan banyaknya rombongan kunang-kunang yang mengiringi perjalanan saya dengan spead boat di sepanjang sungai yang saya lalui, antara Resun menuju Hotel Winner di Pancur, kabupaten Lingga, pada Desember 2009 lalu.

Di Dermaga Resun. Dok. Pribadi
Kunang-kunang itu seperti kawanan lebah yang berjumlah tidak saja ratusan, tetapi jauh lebih banyak dari itu. Mungkin ribuan. Mereka bergerombol membentuk koloni dengan lampu pijarnya yang kelap-kelip di sepanjang tepian sungai itu. Luar biasa indah. Ketika perahu dengan 12 orang penumpang termasuk saya melaju menuju hulu sungai dimana hotel yang kami tuju itu berada, koloni kunang-kunang tiada habisnya. Terus saya menemui mereka. Seperti mereka sedang mengiringi perjalanan kami.

Tak henti-hentinya lidah saya berdecak kagum sekaligus terkesima. Sebuah pengalaman luar biasa mengesankan, yang mungkin akan sulit lagi saya menemukannya sepanjang hidup saya ketika kembali hidup normal di Pulau Jawa?

Sama sulitnya, jika saya kembali ke kampung halaman, untuk menemukan kicauan burung yang bebas berterbangan di pepohonan yang hidup rimbun di pekarangan rumah orangtua. Mungkin hanya teriakan burung hantu ketika senja menjelang. Atau sesekali burung bence, yang kata tetangga saya sebagai pertanda akan adanya orang yang meninggal dunia jika burung ini bersuara. Suara ayam hutan jantan yang khas dengan penuh tenaga saat menyambut subuh pun, juga sudah lama tidak saya dengar lagi.

Dengan kanyataan hidup seperti itu, saya kembali teringat akan lagu kunang-kunang yang dinyanyikan siswa saya pagi ini. Saya berpikir; alangkah sepinya nuansa alam mengiringi hidup generasi mereka.

Jakarta, 8 April 2011.

06 April 2011

Hasil UN bukan Parameter Masuk PTN

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan Nasional, mengemukakan wacana untuk menjadikan hasil UN SMA sebagai bagian dari parameter penerimaan mahasiswa baru di jenjang Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Namun pada hari ini, Rabu, 6 April 2011, harian Kompas menurunkan berita yang tampaknya menjadi jawaban final bagi PTN. Yaitu bahwa hasil UN (SMA) tidak menjadi parameter untuk masuk PTN.

Apa yang disampaikan oleh beberapa pejabat di tingkat PTN tersebut, bagi saya sebagai bagian dari masyarakat, adalah bentuk ketidakberhasilan atas wacana yang diusung oleh Mendiknas dan Dirjen Dikti. Artinya para lulusan pada jenjang pendidikan SMA/sederajat pada tahun pelajaran ini, akan sama saja dengan apa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Inilah kenyataan yang saya alami bersama putri saya pada tahun sekitar bulan April 2009 lalu. Dimana putri kami pada saat itu telah mendapatkan kursi di PTN, dan dia bertanya sekaligus meminta persetujuan pada saya; Ayah, berarti target berikutnya sebagai akhir dari pendidikan saya di SMA adalah lulus UN 'saja'? Saya menjawab dengan enteng juga; Benar. Yang penting lulus. Putri saya paham sekali bagaimana untuk menjadi pragmatis. Tapi saya berpikir; bahwa generasi mereka adalah generasi 'cerdas' dalam membaca lingkungan yang tumbuh di sekitarnya. Kanyataan yang semestinya membuat kita khawatir, karena pragmatis akan melahirkan sikap untuk memilih jalan yang lebih mudah. Namun hendak dikata apa, itulah memang jalan yang akhirnya ditempuh oleh putri saya.

Kendala PTN

Apa yang menjadi kendala bagi perguruan tinggi negeri untuk tidak menjadikan nilai dalam Ujian Nasional (SMA/sederajat) tidak menjadi parameter masuk ke bangku kuliah di PTN? Beberapa hal dikemukakan para petinggi yang ada di beberapa PTN sebagaimana yang dikutip dalam berita Kompas tersebut (Kompas, 6 April 2011).

Pertama, ketidakmurnian hasil Ujian Nasional. Seperti adanya beberapa daerah yang menjadikan hasil UN sebagai gengsi daerah. Dengan begitu maka ada beberapa daerah yang melakukan berbagai cara untuk meningkatkan nilai rata-rata hasil UN.

Pada tataran operasional, sinyalemen Pembantu Rektor (PR) I, Universitas Andalas Padang ini tampak, misalnya pada saat sosialisasi Ujian Nasional yang dilakukan oleh Dinas Dikpora di beberapa daerah kepada para kepala sekolah. Dimana penekanan amanat untuk meningkatkan hasil rata-rata nilai UN disetiap tahunnya, menjadi bagian penting pada rapat-rapat tersebut. Dan itu sebelumnya belum menjadi masalah apa-apa, apabila disampaikan jauh sebelum UN akan berlangsung. Tapi bagaimana bila hal tersebut baru disampaikan ketika waktu yang tersisa untuk persiapan UN tinggal 6 pekan?

Repotnya lagi, beberapa sekolah dan beberapa pihak, menyikapi amanat tersebut tidak secara alami, yaitu dengan bekerja keras dan cerdas dalam mempersiapkan peserta didiknya untuk berhasil secara maksimal dalam menempuh UN, namun kadang juga masih melakukan praktek tidak alami atau praktek instan.

Kedua, tingkat kesulitan bagi PTN untuk membuat penyaringan berdasarkan hasil UN. Karena nilai UN para calon mahasiswa tersebut relatif seragam. Padahal jumlah calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke PTN tertentu sangat tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia. Ketidakseimbangan rasio pendaftar berbanding kursi yang tersedia ini diungkapkan oleh PR I Universitas Negeri Makasar.

Ketiga, Bahwa nilai UN tidak mengukur sesuatu yang spesifik dibutuhkan oleh fakultas yang terdapat di perguruan tinggi.

Lulus, sebagai Prasyarat

Jika demikian kenyataannya, maka apa esensi bagi lulusan SMA atau sederajat untuk tetap meraih hasil UN yang tinggi, terutama bagi kepentigannya untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi Negeri? Toh dengan hasil apapun, mereka harus tetap dituntut untuk berjuang memperebutkan kursi dengan melalui tes masuk?

Dari uraian berita yang dimuat dalam Kompas hari ini, jawabannya sangat sederhana: Yaitu tidak ada hubungannya. Selain hanya lulus saja. Karena lulus SMA/sederajat memang menjadi prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan di perguruan tinggi.

Kalau itu saja yang diperlukan, maka jangan heran kalau Program Paket C pada masa yang akan datang, masih akan menjadi incaran dan sekaligus alternatif bagi siswa SMA/sederajat.

Berbeda di perguruan tinggi swasta, diantara mereka sangat mengapresiasi bagi lulusan SMA/sederajat dengan hasil UN yang tinggi, dalam bentuk potongan harga dari uang masuk yang telah ditetapkan sebelumnya.

Jakarta, 6 April 2011

04 April 2011

'Kemudahan' dari Kartu Hutang

Kemudahanlah yang menjadi janji dan bukti bagi pemilik kartu hutang, yang sekarang ini sedang marak di ranah publik kita. Terutama sejak kasus meninggalnya seorang nasabah di kantor sebuah bank yang berkantor di Menara Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Mampang Prapatan, pada Selasa tanggal 29 Maret 2011 (Kompas, 4 April 2011). Salah satu kemudahan yang ditawarkan, antara lain datang kepada saya, saat saya mengganti baterai lap top saya di Ratu Plasa beberapa saat yang lalu. Dimana, karena saya tidak menyiapkan uang tunai, maka saya meminta kepada penjaga toko untuk membayarnya dengan menggunakan kartu ATM yang saya punya.
  • Ada kartu hutang Pak? Tanya pramuniaga itu kepada kepada saya.
  • Mengapa kartu hutang? Saya balik bertanya. Saya berpikir, jangan-jangan kartu ATM saya tidak laku lagi untuk digunakan sebagai kartu membayar belanjaan.
  • Karena kalau Bapak membayar dengan menggunakan kartu hutang bapak, Bapak akan mendapatkan potongan harga 5 %. Lumayan Pak. Lima persen dari satu juta ada lima puluh ribu rupiah Pak. Jelasnya dengan tetap memegang kartu ATM saya menuju mesin penggeseknya.
Saya tidak menjawab atau mengometari apa yang disampaikannya. itu Saya justru merenung. dan tertegun atas dua hal. Hal yang pertama, adalah shok karena harga baterai lap top saya, kok harganya tidak pernah turun(?). Padahal ini adalah baterai yang kedua sepanjang saya punya lap top ini. Baterai aslinya meleleh persis didekat adaptonya. Yang kedua juga tertimpa hal yang sama. Jadi saya pikir, harga mahal kok cengeng? Disisi lain, saya bangga karena lap top saya 'anti virus', tapi disisi lainnya lagi saya prihatin dengan harga spare partnya yang tidak pernah murah.

Hal yang kedua, adalah pertanyaan dari pramuniaga apakah saya tidak mau membayar apa yang saya beli dengan kartu hutang supaya mendapat 'keuntungan'? Apakah ini yang dimaksudkan dengan kemudahan itu? Membayar dengan menggunakan uang milik orang tetapi justru diberikan 'kemudahan' dibandingkan kalau saya membayar dengan uang yang jelas-jelas milik saya sendiri melalui kartu ATM? Pola pikir macam apakah model pembayaran semacam ini? Apakah dunia dalam keadaan baik-baik saja bila orang yang di dompetnya ada kartu hutang justru lebih trendy di banding dengan yang tidak memilikinya? Apakah tidak inilah jebakan gaya hidup yang 'berhasil' atas diri kita yang menjadi kalah di hadapan para pemilik modal? Saya tidak paham. Tapi saya masih sadar.

Kasadaran itu pararel dengan apa yang ditulis dalam Kompas hari ini , 4 April 2011, bahwa bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menggunakannya memang penggunaan kartu ini relatif membantu. Namun kemampuan apakah itu? Menurut saya, yang paling penting dan utama adalah kemampuan finansial. Dimana orang model ini akan menggunakan kartunya karena kemampuannya untuk dapat mengembalikan dana yang telah digunakannya segera atau paling tidak sesuai dengan batas waktu yang diberikan. Namun bagi yang kemampuan finansialnya pas-pas saja, akan menjadi bumerang manakala ia menggunakannya tidak bijak, seperti gaya hidup besar pasak daripada tiang. Model pengguna seperti ini yang akhirnya terlilit hutang sekaligus bunga berbunga yang tidak berkesudahan.

Maka bijaklah bila Anda adalah salah satu dari pengguna kartu hutang ini.
Salam bijak,

Jakarta, 4 April 2011.

03 April 2011

'Revolusi' Tukang Ojek yang Saya Tumpangi

Beberapa waktu lalu, setelah turun dari shelter bus transjakarta di Rawasari, Jakarta Timur, saya lanjutkan perjalanan saya menyusuri Jalan H Ten di Rawasari, dengan diantar oleh tukang ojek. Ia mengantar saya dengan kecepatan yang wajar. Tidak terlalu 'bligsatan' saat harus mendahului angkat 24 yang klebetulan ngetem di pinggir jalan itu yang hanya untuk 2 lajur kendaraan saja. Tidak ada bunyi klakson, apa lagi umpatan.


Jalanan sepanjang H Ten yang relatif sibuk kala menjelang pukul 06.45 itu, menjadi sedikit tersendat menjelang pasar yang ada persis di depan Masjid Salman Al Farisi. Lajur yang kami lalui, yang semestinya kosong, banyak diserobot oleh pengendara sepeda motor bahkan bajaj. Jadilah kendaraan yang saya tumpangi juga menyesuaikan diri pada situasi.

  • Perilaku di jalanan sekarang semakin tidak membuat kita nyaman naik kendaraan ya Mas. Kata saya kepada tukang ojek.
  • Semakin hari semakin banyak saja pengendara semakin tidak memikirkan bagaimana orang lain. Lanjut saya. Pendapat saya ini saya kemukakan kepada tukang ojek saya, saat lajur kami diserobot oleh dua kendaraan bajaj dari lawan arah. Bajaj menerobos jatah kami karena lajur yang menuju lampu merah perempatan Rawasari punuh antrian kendaraan roda empat. Jadilah kami mengalah. Karena jalan hanya menyisakan sedikit celah bagi ojek kami untuk melaju.
  • Ini tidak apa-apanya Pak, kalau kita mau bandingkan dengan apa yang terjadi di kalangan elit negeri ini. Mereka jauh lebih tidak pedulikan kita yang harus berjuang untuk bertahan hidup dengan sikap yag jauh lebih memuakkan dan tidak tahu malu lagi. Lihat bagaimana ujung kasus bank, kasus pajak, banyak Pak. Sergah tukang ojek saya.
Pendek kata, dari apa yang dia kemukakan sepanjang perjalanan adalah pandangan orang yang mengisi kepalanya dengan berita yang muncul di koran atau televisi. Dia lancar menguraikan apa saja yang menjadi 'dosa' para 'penguasa'. Dan sekaligus mengkonfrontirkannya dengan apa yang dia dan teman-temannya alami dalam mengarungi kehidupan yang keras. Pemikirannya, menunjukka kalau dia berpendidikan. Bukan saja lulus dari pendidikan formal saja, tetapi memiliki pola analisa yang jernih bahkan 'revolusioner'. Mungkin dia lulusan dari universitas kehidupan ini.


'Revolusi'


Labih-lebih saat dia mengemukakan bagaimana lazimnya kesulitan hidup yang dialami oleh orang-orang seperti di kalangan dia. Berikut ini misalnya apa yang diasampaikan kepada saya sepanjang 5 menit mengantarkan saya. Yaitu:
  • Mau memasukan anggota keluarganya menjadi PNS, maka harus punya saudara yang terlebih dahulu menjadi PNS. Jadi kapan keluarga saya dapat menjadi bagian yang menikmati gaji pemerintah?
  • Mau tetap menggunakan kompor minyak yang lebih aman, tapi harganya yang jauh lebih mahal dari pada bensin sehingga harus menggunakan kompor gas yang kadang menyimpan bahaya.
  • Ingin menyekolahkan anak agar nantinya dapat lebih memiliki kemampuan dalam mengangkat harkat dan harga diri keluarga, tapi terbentur dengan biaya sekolah yang semakin berat meski masuk sekolah miliki pemerintah?
Seandainya, katanya, kami semua yang senasib seperti ini memiliki persatuan sehingga kita semua dapat bersatu, saya teringat dengan apa yang dikemukakan oleh Minke dalam tetraloginya Pamudya Ananta Toer, kita akan mampu melakukan revolusi!


Saya diam. Saya merasa kalah melawan argumentasinya. Namun saya juga menikmati atas 'kecerdasan' pikirannya. Sebuah kepintaran yang saya kira bukan berasal dari sekolahan. Saya yakin sekali itu. Sayangnya, saya tidak lagi bertemu dengan dia lagi. Atau mungkin saya lupa yang mana dia? Karena toh, saya selalu turun di shelter bus transjakarta yang sama. Dan, di halte bus kota itu, selalu ada tukang ojek yang mangkal. Meski demikian, setidaknya saya yang produk sekolahan belajar tentang; bagaimana model 'revolusi'nya tukang ojek yang mengantarkan saya itu.


Jakarta, 3 April 2011.

Bersahabat dengan Plastik



Barisan pohon dalam plastik bekas air kemasan satu setengah literan di samping berderet lebih kurang 50 meter di sepanjang jalan Slipi Cabang Utama, dekat rumah Ibu Mertua saya di Slipi, terlihat seperti gambar kiri. Ini adalah karya ketekunan dari Bapak tetangga kami, H. M. Nur Umar, yang juga adalah Bapak RT di Rt 009 Rw 05, Slipi, Palmerah, Jakarta Barat.

Sebuah ide yang sederhana menurut saya. Namun ketekunannya untuk merealisasikan ide bagi penghias di ranah publik, adalah kecerdasan lingkungan yang maha langka. 


Setidaknya inilah yang saya juga temukan di lingkungan saya yang lain. Dimana plastik bekas kemasan makanan dan minuman begitu mudah saya temui di sepanjang aliran air di sepanjang jalan MH Thamrin wilayah kami. Plastik yang telah menjadi sampah tersebut begitu cepatnya menumpuk di sana. Sore diangkat, maka keesokan harinya telah menumpuk di jaring kawat yang dibuat salah seorang warga, tetangga kami. Dan plastik menjadi sangat dominan dari tumpukan sampah tersebut. Sampah daun blimbing wuluh, daun pohon kelengkeng, dan daun pohon mangga yang tidak jauh dari aliran got, menjadi bagian minoritasnya saja. Menyedihkan.


Bukan saja karena tumpukan yang tidak pernah berkurang, namun justru karena sampah plastik adalah yang sulit di urai secara alami. Dan menjadi tren kemasan dalam setiap aktivitas kehidupan kita. Mengedukasi konsumen untuk ramah dan sekaligus cerdas terhadap sampah, terutama yang tinggal di perkotaan, sudah menjadi bagian sulit bagi aktivis lingkungan, di tambah lagi dengan perilaku produsen yang jauh lebih tidak berpikir ekosistem dan masa depannya. Maka akan datang suatu masa dimana kita akan mendapatkan kesulitan atas apa yang kita tampilkan sekarang ini terhadap sampah plastik.


Edukasi melalui sekolah, dimana siswa dibelajarkan untuk memisahkan sampah organik dan un-organik, dengan pemisahan tempat sampah, meski baik dan menampakkan hasil, juga nampak masih menjadi budaya hulu. Karena sepanjang perjalan sampah tersebut, pada akhirnya akan bertemu dan bersatu lagi saat dalam penampungan sementara hingga akhir.


Belum lagi perilaku sembrono dan tidak berbudaya para pengendara kendaraan yang 'menumpahkan' apa saya yang menjadi sampah dari kendaraannya saat masih melaju. Dimana pun. Tidak peduli apalagi tumbuh rasa malunya. 


Saya sebagai bagian dari masyarakat, mencoba untuk menumbuhkan apa yang saya sampaikan ini dengan sebaik mungkin 'memperlakukan' plastik. Selain menyatukannya mereka saat akan kita 'donasikan' kepada petugas pengumpul sampah, saya pun mencoba untuk menjadikannya pot pembibitan. Seperti tampak pada gambar kanan. 'Pot-pot' itu sebagai wadah bagi tunas pohon asem dan pohon cermai. Semoga ini menjadi bagian dari kontribusi sayauntuk mensyukuri apa yang telah Allah anugerahkan  terhadap kenyamanan hidup kami.

Jakarta, 3 April 2011.

Leyeh-Leyeh


Leyeh-leyeh sambil membaca buku, membuka buku harian, yang saya beri judul pada bukunya sebagai Buku Kegiatan, dan diselingi dengan menuliskan apa yang tertangkap di kepala saya, alhamdulillah dapat saya lakukan kembali sore ini dengan senang hati. Sebuah kesempatan yang dianugerahkan Allah kepada saya dan istri.

Sebuah kegiatan yang menyenangkan sekaligus menenangkan batin. Duduk di hamparan tikar lipat lawas, ditimpa semilir angin mengibas keringat yang masih menyisakan lengket di badan. Ber-seliwer membawa kesejukan yang terasa hingga menembus pori-pori keriangan, menyelinap melalui ruang penangkap dibelakang rumah. 

Kegiatan yang saya lakukan untuk sekedar mengasingkan diri dari alam 'nyata', sebagai bagian penting untuk mengembalikan daya juang setelah satu pekan berada di area perjuangan. Kegiatan yang mengembalikan denyut gairah setelah layu dihempas atmosfer yang tidak menyapa dengan keramahan dan ketamahan sepanjang waktu kerja. Situasi yang mengembalikan pertumbuhan kembali sel-sel keharmonisan hidup yang penuh berpengharapan. Inilah masa refleksi diri bagi saya sekaligus sebagai saat untuk mengaca dan bercermin. Yaitu kegiatan leyeh-leyeh, santai merenungi masa yang lalu dan menempa mimpi untuk masa berikut.

Ruang Refleksi 

Saya membuka buku yang lain. Buku Kegiatanku tahun 2010-2016, yang baru 15 halamannya penuh dengan tanda peristiwa yang sebagian besarnya memang telah menjadi masa lalu. Menjadi sejarah. Diantaranya ada yang bertinta merah, hitam dan biru, serta kadang-kadang ungu. Menghiasi mind mapping kejadian, peristiwa dan catatan kalbu dalam setiap bahasannya. Dan saya meresakan sentuhan denyut kejadian dalam catatan itu terbayang kembali. Inilah saat refleksi diri yang tenang dan mendalam. 

Semakin jernih dan semakin jujur saya membaca lembar demi lembar yang tertuang dalam buku itu saya rabai, semakin cepat saya untuk terus menerus memancangkan tekad sekokoh-kokohnya menuju akhir yang baik. Akhir yang tuntas. Akhir yang merupakan gerbang sebuah perjalanan baru. Maka kejujuran pada saat saya menengok ke dalam wilayah lalu akan semakin memberikan pengharapan yang juga semakin terang. Itulah sunatullah. Inilah hukum sebab akibat.

Refleksi yang penuh dengan kejujuran juga akan memberikan dorongan kita untuk menjadi semakin akseleratif pada saat menemukan harkat dan martabat dalam akhiran yang baik. Itulah perjalanan leyeh-leyeh saya sore itu. Tidak ditemati kopi dan roti atau singkong goreng...

Jakarta, 2-3 April 2011.

01 April 2011

Silent Reading


      Menjadi suka dan gemar membaca, adalah sebuah kompetensi yang relatif kurang menjadi perhatian bagi sekolah. Hal ini terindikasi dari sepinya kegiatan Perpustakaan Sekolah. Dimana perpustakaan sering menjadi bagian yang tidak diberdayakan. Selain itu juga karena pengurus perpustakaan sebagian besar tidak memiliki kompetensi tentang keputakaan (Kompas, 2 April 2011).   
     Bagaimana kami di sekolah melakukan pemberdayaan terhadap kompetensi membaca pada para peserta didik kami? Inilah barangkali yang akan saya sampaikan kepada pembaca tentang ikhtiar yang telah kami lakukan. Kami menamakan apa yang kami programkan tersebut dalam kegiatan silent reading.
      Silent Reading di sekolah kami menjadi kegiatan rutin harian. Kegiatan ini tidak lain memiliki tujuan:
·      Menumbuhkan dan mengembangkan minat baca. Baikbacaan fiksi atau non fiksi.
·      Menjadikan membaca sebagai bagian hidup yang tidak terpisahkan,
·      Menjadikan kebiasaan membaca sebagai proses menjadi pembelajar sepanjang hayat,
·      Membaca sebagai wahana untuk menemukan minat dan bakat siswa. Dengan cara melihat topik buku yang menjadi pilihan/minat utamanya.
·      Memunculkan pembaca aktif dan kritis serta inovatif.
   Yang menjadi sasaran kegiatan membaca adalah seluruh komunitas sekolah tanpa terkecuali. Mereka itu adalah:  siswa, guru, karyawan, orangtua siswa.
   Strategi yang kami putuskan untuk berjalannya kegiatan ini adalah membuat kebijakan sekolah dalam bentuk:
·    Plotting waktu dari TK-SMP
·    Catatan buku yang dibaca siswa
·    Kerja sama dengan perpustakaan
·    Memasang slogan tentang gemar membaca atau semua hal yang berkaitan dengan kebiasaan membaca.
     Bagaimana pelaksanaan dalam bentuk plotting waktu tersebut? Yaitu mengalokasikan waktu selama 10 menit setiap hari dalam bentuk silent reading. Dengan tanda bel. Pembagian waktu antara lain:
       PG         : 09.30-09.45
TKA        : 10.30-10.45
TKB        : 10.55-11.15
SD 1-2    : 10.10-10.20
SD 3-6    : 12.55-13.10
SMP 7-9 : 12.40-12.50 hari Senin-Kamis
                   11.40-11.50 hari Jumat
    Setiap hari Senin-Jumat. penanggung jawab tersebut pada tingkat kelas adalah guru yang mengajar pada mata pelajaran berikutnya.
    Apa yang dilakukan siswa selama dalam waktu yang telah dialokasikan tersebut? Kegiatan yang dilakukan siswa adalah:
·    Membaca buku dari rumah masing-masing. Berbentuk buku naratif dan bukan komik. Fiksi atau non fiksi,
·    Dalam plot waktu yang telah ditentukan, semua komponen melakukan kegiatan membaca untuk membentuk antmosfer yang kondusif.
·    Pada akhir tahun pelajaran guru memberikan record buku yang telah dibaca dan minat serta bakat siswa kepada pihak orangtua atau sebagai catatan tambahan dalam komentar prestasi siswa.
·    Bagaimana kita memberikan motivasi bagi para pembaca tersebut? Bentuk dorongan yang dapat diberikan oleh guru dan juga para orangtua siswa  terhadap kebiasaan membaca pada siswa:
·    Guru dan juga orangtua dapat bertanya dan berdialog dengan siswa: Apa buku yang kamu baca? Kamu suka dengan buku itu? Bagian mana yang kamu suka dari buku itu? Mengapa kamu suka buku itu? Apa yang kamu pelajari dari buku itu? Hal apa yang dapat kamu jadikan pelajaran?
·    Melihat catatan buku yang telah dibaca,
·    Memberikan kesempatan kepada siswa untuk sharing/bercerita tentang buku yang dibaca di kelas,
·    Memberikan penghargaan verbal kepada siswa
·    Memberikan AWARDS,
·    Memberi contoh sebagai figur yang gemar membaca.
Jakarta, 1-2 April 2011.

30 March 2011

Statuta

Kosa kata ini belakangan menjadi sering disebut orang. Ya. Mirip nasib selebritis Indonesia yang tiba-tiba naik daun, alias terkenal. Setiap kali koran menurunkan berita tentang organisasi sepakbola Indonesia, nyaris selalu keluar kosa kata ini. Ajaib.

Inilah salah satu dari jasa, dan juga prestasi baik dari para pengurus organisasi ini, yang masa kepengurusnya akan habis pada tahun 2011 ini. Kegemilangan untuk mengangkat kata statuta dan sekaligus melambungkan prestasi kosa kata ini dalam khasanah kata Bahasa Indonesia. Ini bahasa serapan yang tiba-tiba harus diucapkan bila kita ingin membahas prestasi atau konggres organisasi ini.

Pada hari Rabu tanggal 30 Maret 2011 saja, saya kembali membaca kosa kata statuta dari orang yang berbeda di koran digital. Karena orang yang menyebutnya berbeda, pasti pembaca juga maklum bahwa sebagai dasar atau argumentasi apa kosa kata itu disebut. Ada pula akronim ikutan yang selalu menyertai kosa kata statuta tersebut. Yaitu, kalau tidak PSSI ya FIFA. Yaitu statuta PSSI atau statuta FIFA. Tampaknya, kita hanya mengenal statuta pada kedua ranah organisasi olah raga tersebut.

Sebagai Landasan Argumentasi

Dalam tulisan ini, saya tidak menuliskan bagaimana serunya proses pergantian pengurus baru dari organisasi yang mengurusi cabang olah raga paling digemari rakyat Indonesia ini, namun saya hanya mengajak kita untuk melihat adanya logika yang mirip dan sebangun dari hampir semua persoalan yang masuk dalam ranah publik serta ramai menjadi bahan berita di surat kabar atau media berita lain. Baik dalam edisi cetak maupun elektronik. Misalnya dalam hal kepengurusan ganda pada paratai politik.

Logika yang saya maksudkan tersebut adalah, kebenaran yang sama-sama mengambil dari dasar argumentasi dari pasal atau bagian lain dari dasar konstitusi yang mereka sama-sama jadikan pegangan. Dari sini, saya melihat bahwa hakekat makna dari sebuah pasal dalam landasan organisasi yang mereka miliki adalah tergantung kepada siapa yang memaknai dan menggunakannya. Terutama pada saat organisasi tidak sedang dalam kondisi yang kondusif. Seperti kasus organisasi sepak bola kita sekarang ini.

Repotnya lagi, saya sebagai salah satu penggemar olah raga ini pun, tidak memiliki dua (2) dokumen yang beberapa pasalnya sering disebut sebagai dasar berargumentasi. Misalnya pada pasal yang berkenaan dengan kata-kata kriminal.

Alhasil, dalam kisruh ini, jangankan saya mampu membuat pendapat, bahkan untuk berpandangan pribadipun saya nyaris tak sanggup bila harus mendasarinya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam statuta organisasi mereka.

Jika saya memiliki asumsi bahwa salah seorang dari pengurus yang akan segera berakhir masa jabatannya tersebut sebagai orang yang tidak tahu diri, angkuh. Misalnya, itu justru saya dapatkan dari sebuah pernyataannya di koran. Seperti ungkapan yang dikutip media cetak berikut ini; Tidak ada konstitusi PSSI yang mengharuskan supaya diakui oleh pemerintah (Kompas, 29 Maret 2011).

Maka saya merefleksi diri; adakah sebuah keangkuhan akan mampu melahir kemuliaan?

Jakarta, 30-31 Maret 2011.

29 March 2011

Ketika Harus Bicara tentang Remaja

Sabtu tanggal 26 Maret 2011 lalu, bertempat di sebuah Masjid sekolah di bilangan Pasar Minggu, saya diminta teman untuk mengisi kegiatan ceramah tentang remaja di hadapan pengurs komite sekolah menengah. Sebuah pengalaman sedikit unik bagi saya. Mengingat presentasi di hadapan para orangtua saat itu berada di masjid. Selain itu, karena sesungguhnya kegiatan rutin mereka adalah kegiatan taklim bulanan. Jadilah saya didaulat seperti ustad. Berat sekali rasanya. Oleh karenanya jauh-jauh hari saya memberitahukan kepada teman bila apa yang saya sampaikan adalah apa yang saya lihat, saya rasakan, dan saya alami, baik di rumah atau di sekolah, berkenaan dengan kehidupan remaja. Kawan saya setuju. Maka terjadilah kegiatan itu.

Terus terang, sering saya berpikir ulang jika teman ada yang meminta saya untuk menyampaikan sesuatu di luar apa yang saya tidak kuasai, atau apa yang tidak saya alami, atau apa yang saya tidak pernah lakukan. Dan biasanya, saat berpikir ulang tersebut, ada nama yang sepengetahuan saya lebih menguasai apa yang mereka sodorkan kepada saya. Saya tidak ingin ada komentar dari audiens bahwa apa yang saya sampaikan hanyalah apa yang saya dapatkan dari membaca buku. Namun ketika saya hanya mau menyampaikan apa yang pernah saya alami selama ini mendapat persetujuan teman, maka inilah apa yang saya sampaikan.

1. Digital Native

Ini menurut pendapat orang. Bagaimana bentuk konkritnya pada perilaku mereka dalam ranah ini? Mereka benar-benar memiliki fleksibilatas yang tinggi ketika berhadapan dengan dunia teknologi informasi. Kelenturannya yang dahsyat tersebut membuat mereka menikmati dan tenggelam dalam dunia maya. Sebagaian mereka benar-benar mampu mengekang kemahirannya untuk kebaikannya, dan sebagainnya tenggelam dalam menghabiskan waktunya sekedar untuk sosialisasi. Berbeda dengan kita, sedikit kaku ketika harus berhadapan dengan perangkat TI.

Keberadaannya sebagai pribumi dalam dunia TI, membuatnya juga sukses dalam bermain gambar. Maka, blog dan halaman catatan hariannya akan lebih dipenuhi oleh ilustrasi dan visual daripada narasi seperti apa yang kita lakukan.

Fleksibilitas dan kelenturannya dala bidang itulah yang akhirnya saya berpendapat bahwa sesungguhnya mereka adalah generasi yang pintar. Tapi mengapa nilai angka pelajaran mereka tidak menunjukkan itu? Saya punya dua dugaan. Pertama, karena pelajaran bukan menjadi fokus dan minat dia. dan kedua, dari kenyataan pertama itu, sayangnya cara kita memandang pintar hanya dari nilai mata pelajaran di sekolahnya.

2. Puber

Dalam masa pancaroba ini, remaja relatif klop dengan masa ngeyelnya. Kita yang berada di luar mereka akan selalu melihat itu sebagi sebuah fakta. Padahal sesungguhnya, antara mereka dan kita tidak sedang dalam gelombang dan koordinat yang sama. Ketidaksamaan itu bermakna ketidakpatuhan. Yang bersinonim dengan ngeyel. Padahal, ketika kita masih remaja, apa pendapat kita terhadap remaja yang ada dalam pikiran kita sekarang? Kalau meminjam istilah remaja, cupu.

3. Serba Mudah

Yang berlaku pada umumnya, remaja mendapat prioritas perhatian dari para orangtuanya. Siapa yang akan menyangkal bahwa remaja sekarang berada dalam situasi yang menguntungkannya? Saking beruntungnya, bahkan ada diantara orangtua mereka yang berujar: Dulu saya sudah susah, sekarang anak saya jangan sampai susah. Repotnya, ketika orangtua berujar seperti itu, tentu bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan remajanya. Sejak remajanya terbangun dari lelapnya tidur, hingga akan tidur. Semua kebutuhan mereka mendapat prioritas perhatian para orangtuanya.

Namun, ketika perhatian tersebut sudah keluar dalam ambang batas kewajarannya, maka remaja yang pintar tersebut akan menarik kesimpulan bahwa ia hidup dalam situasi mudah. bahkan mungkin ada yang menyimpulkan bahwa, mereka hidup tidak lagi sekedar dalam dunia yang serba mudah, tetapi bahkan serba mungkin. Pada posisi seperti ini, kita sebagai orangtua kadang lupa bahwa, kenyataan yang tidak serba mudah justru akan menempa jiwa dan raga remaja menjadi lebih kuat dan lebih pintar.

Asumsi kepada sikap serba mudah dan serba mungkin, akan membawa mereka masuk dalam budaya pragmatisme. Sehingga untuk apa lulus ujian nasional dengan mendapatkan angka maksimal? Kalau toh sebelum ujian berlangsung mereka telah mendapatkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi?

Seperti saya sampaikan di atas, semua itu tidak menjadi tren bagi semua remaja. Dan mudah-mudahan itu terjadi pada remaja kita sendiri di rumah. Semoga. Amin.

Jakarta, 29 Maret 2011.

27 March 2011

Menanam Pohon dan Mimpi Saya

Mari kita menanam pohon. Ajak Uly Sigar Rosadi di atas panggung. Ajakan yang disampaikan saat acara Gelar Pamit Tim Duta Seni SD Islam Al Ikhlas, Cilandak, Jakarta Selatan pada Sabtu, 26 Maret 2011 lalu. Nenek Uly, begitu Uly Sigar Rosadi dipanggil sang cucu yang juga adalah salah satu dari 27 peserta SD Islam Al Ikhlas, yang akan berangkat ke Fathiye, Turki pada 18-28 April 2011.

Ajakan untuk menanam pohon yang merupakan syair dari lagu yang dinyanyikannya, bersama putrinya, adalah ajakan untuk menjadikan alam sebagai sahabat. Ajakan yang juga bertepatan dengan hari bumi. Ajakan yang membuat saya berefleksi dan merenungkan akan pertanyaan yang selama ini menggantung di benak saya. Dimana lagi tunas-tunas baru saya akan saya tanam? Sebuah pertanyaan yang pada ujungnya menerbitkan mimpi.

Sebagaimana telah menjadi kebiasaan saya selama ini untuk menyemai beberapa biji tanaman yang saya temukan di jalan, atau yang saya minta ketika berkunjung di suatu tempat, atau ketika buah dari biji yang telah selesai saya santap. Dan setelah biji-biji itu nampak tumbuh menyenangkan, saya bingung untuk menanamnya. Oleh karenanya, dengan ajakan Uly untuk menanam pohon, bukan niat yang tidak ada pada diri saya. Tetapi justru area yang sudah tidak tersedia bagi saya.

Punya Rumah Relatif Kecil dan Tanah yang Relatif Luas

Inilah mimpi saya. Mimpi yang terbit dengan afirmasi yang relatif cemerlang. Punya tanah yang relatif luas, ini adalah salah satu bentuk harapan agar memungkinkan bagi saya untuk menyemai, menanam tumbuhan yang dapat menjadi teman hidup. Kehausan saya untuk menanam dan merawat tanaman dapat terakomodasi hanya dengan luasan tanah yang relatif cukup.

Disana akan tersedia tanaman buah dengan berbagai macam yang mungkin sudah tidak ada dalam ingatan anda. Juga tanaman keras yang akan mampu menyerap air tanah serta mengolah oksigen bagi saya, keluarga, dan tetangga.

Kalaupun harus ada bangunan, saya akan mempertimbangkan sekali keluasannya. Karena prioritasnya bukan bangunan tetapi lahan. Itu kalau posisi di daerah yang ramai. Dan tentu akan berbeda lagi mimpi saya bila tanah yang saya miliki ada di daerah sepi. di kampung halaman misalnya.

Namun yang menjadi prinsip utama dimanapun tanah yang nantinya Allah titipkan untuk saya adalah menanam pohon. Seperti ajakan Uly Sigar tersebut.

Bagaimana pula dengan rumah? Seperti apa bentuk dan gambaran dari rumah saya yang saya katakan relatif kecil itu? Mungkin seperti rumah BTN itu. Tentu dengan berbagai tambahannya. Yang pasti, rumah saya adalah rumah untuk menikmati alam dan semilir angin, serta untuk menemukan dan mewujudkan inspirasi.

Lalu, kapan menanam pohon dapat saya lakukan? Apakah menunggu hingga mimpi saya tentang tanah dan rumah tersebut terwujud nyata terlebih dahulu? Tidak. Setidaknya sekarang ini, saya telah pupuk pada diri saya dalam menyemai biji tanaman. Dan mungkin teman yang akan saya berikan benih itu untuk ditanamnya di rumah barunya.

Jadi, saya tidak akan pernah berhenti untuk menanam pohon meski itu di dalam pot. Juga tak akan pernah berhenti bermimpi untuk mendapat amanah memiliki tanah yang relatif lega dan juga rumahnya! Amin.

Jakarta, 27 Maret 2011.

Guru Mestinya Mengajarkan Apa yang Siswa Butuhkan

Kawan saya di Facebook, yang tinggal di Purworejo, Jawa Tengah, suatu saat menulis satu paragraf tentang apa yang guru ajarkan di sekolah di dindingnya. Tulisan itu adalah: ... yang terjadi adalah guru mengajarkan apa yang ia tahu. padahal menurut kurikulum yang dibuatnya, guru itu mestinya mengajarkan apa yang siswa butuhkan. Meski saya tudak mengomentari, namun tidak urung juga bahwa tulisannya itu mengusik pikiran saya sebagai pendidik.

Apa yang ditulisnya itu, keseluruhannya saya setuju dan sepakat bulat. Benar. bahwa itulah seyogianya apa yang menjadi dasar bagi interaksi guru-siswa di sekolah. Karena menurut saya, siswa dan guru hidup dalam alam yang berbeda. Dan kerena berbeda, maka tuntutan lingkungan terhadap guru sekarang ini dan terhadap siswa kelak dikemudian hari tidaklah sama. Guru berada pada masa sekarang ini dituntut oleh beberapa hal yang benar-benar tampak. Sedang siswa yang berada di masa yang akan datang, akan dituntut beberapa hal yang belum napak. Bekum diketahui seperti apa dan bagaimana?

Dengan fakta itu, maka yang diperlukan siswa untuk dipelajari dan dikuasai adalah keterampilan untuk bertahan dan berkompetisi di masanya nanti. Seperti apa masa nanti itu? Jika kita telah memiliki prediksi tentang hal itu, maka langkah berikut adalah membuat beberapa hal yang perlu dan harus menjadi kepandaian dan keterampilan hidup siswa. Namun, begitukah apa yang terjadi di dalam interaksi guru-siswa di dalam kelas di sekolah-sekolah kita pada detik ini? Bagaimana? Mengapa?

Guru dan Siswa

Di dalam kelas di sekolah-sekolah kita hari ini, guru membelajararkan target kurikulum pada aspek kognitif yang bernama ketuntasan belajar. Aspek ini terimplementasi dalam bentuk serangkaian materi atau bahan ajar. Bahan ajar ini di kelas akhir pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga SMA dikerucutkan dalam keputusan menteri dalam istilah Standar Kompetensi Lulusan atau SKL atau kisi-kisi.

Itulah panduan konkrit tentang apa yang harus 'diselesaikan' oleh guru dalam interaksi pembelajarannya dengan siswa di kelas. Dan tolak ukur atas kineja dari interaksi itu adalah angka kelulusan siswanya. Melihat itu, maka apa yang seharusnya atau apa yang dibutuhkan oleh siswanya adalah SKL.

Bagaimana dengan keterampilan hidup yang seharusnya diberikan siswa sebagaimana yang ditulis kawan saya itu? Jika mengacu kepada apa yang harus diberikan guru dengan melihat ketentuan di atas, disimpulkan bahwa apa yang dilakukan guru telah tuntas. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi.

Bagaiaman juga dengan tulisan kawan saya di dinding fb-nya itu? Menurut saya juga benar. Tulisan itu berada pada tataran ide atau taran paradigma yang semestinya terjadi. Sedang guru berkewajiban membelajarkan apa yang termuat secara legal formal, yang dilaksanakannya, yang adalah benar adanya.

Jadi apa langkah kita untuk mempertemukan apa yang seharusnya dengan apa yang dituntut secara formal? Menurut saya, adalah bagaimana kita dapat menjadikan keterampilan hidup itu sebagai bagian dari hasil belajar lulusan. Dan juga meyakini bahwa, hasil ketuntasan siswa tethadap SKL yang akhirnya dalam bentuk hasil ujian, hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya hasil belajar.

Dengan berpegang kepada paradigma inilah maka dalam seluruh interaksi guru-siswa harus terjadi pemindahan keterampilan hidup dan keterampilan kognitif secara berkesinambungan dan pararel. Konsep ini hanya dapat dan mungkin terjadi bilamana proses pembelajaran menjadi bagian penting yang harus dirancang oleh guru dalam proses interaksi tersebut.

Namun bagaimana bila proses dalam interaksi guru-siswa di sekolah kita masih belum menjadi bagian yang dianggap penting? Pendapat saya adalah: itulah esensi di balik jawaban terhadap apa yang disampaikan kawan saya di dinding facebook-nya.

Jakarta, 27 Maret 2011.