Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

13 November 2014

Karena Macet atau Terlambat Berangkat?

Pagi ini saya bertemu teman guru yang tergopoh-gopoh di halaman sekolah ketika jam sudah menunjukkan tanda waktu terlambat bagi guru. Mungkin ada rasa salah dari dirinya, atau juga bisa kagok karena bertemu muka dengan saya di halaman, sehingga tanpa saya bertanya kepadanya, terlontar alasan yang disampaikan; "Macet sekali Pak jalanan."

Saya sependapat apa yang disampaikan itu. Bahwa jalanan, sebagian besar macet saat jam berangkat dan pulang kantor. Bahkan di jalan bebas hambatan sekalipun. Saya juga sependapat kalau jalanan macet dan lancar sulit diprediksi. Utamanya saat jam pulang kantor, siang hingga sore hari. Tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang menggunakan jalanan yang relatif sama, saya sedikit melihat kemacetan dengan pendapat yang berbeda. 

Ini terutama untuk jam berangkat ke kantor, dimana saya sering berkorban untuk tidak berangkat bersama-sama dengan pengguna jalan yang lainnya. Walau implikasi dari usaha ini adalah keberangkatan saya yang lebih awal dan sampai kantor juga paling awal. Tetapi jika saya ingin bersama teman-teman kantor lain yang ada di Jakarta, maka akan mendapat nasib yang sama. Macet di jalan dan pasti terlambat sampai di tempat tugas.

Dengan logika semacam itu, dan perasaan untuk tahu diri serta sadar posisi bahwa saya adalah bagian dari pekerja yang lain, maka mana yang terlebih dahulu, yang kemudian menjadi penyebab bagi yang datang belakangan? Jika teman saya menyampaikan argumentasi atas keterlambatannya sampai kantor, maka; 
  • Apakah karena macet sehingga saya terlambat sampai ke kantor? Atau; 
  • Karena saya terlambat berangkat dari rumah yang menjadi penyebabnya?

Saya tidak ingin berdebat tentang dua premis tersebut. Namun saya punya pengalaman sendiri setelah bertahun-tahun menjadi karyawan yang sering mengalami terlambat datang sampai lokasi kerja. Pengalaman itu adalah suara hati saya ketika begitu saya keluar rumah untuk berangkat.

Ada rasa yang sering terlintas ketika saya benar-benar meninggalkan rumah di pagi hari. Rasa itu adalah harapan agar semua lampu merah yang saya lalui selalu hijau. Ini tidak lain ketika jarum jam yang saya lihat saat berangkat tersebut benar-benar hanya memberikan waktu yang mepet kepada saya untuk mencapai tujuan dengan tepat waktu. Artinya, selalu ada rasa kawatir untuk sampai di kantor tidak tepat waktu.

Maksud saya, sebelum sampai di kantor dengan kondisi yang terlambat, saya pun kala itu sudah dapat mengetahui bahwa akan terlambat begitu meninggalkan rumah (?). Allahua'alam bi shawab...

Jakarta, 13 Nopember 2014.

No comments: