Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

18 November 2010

Besar Pasak dari pada Tiang


Peribahasa ini menggambarkan perilaku boros seseorang. Dimana pengeluaran, yang digambarkan sebagai pasak atau paku, jauh tidak seimbang dari pada pendapatan, yang digambarkan dengan tiang. Dan menurut saya, salah satu pemicunya adalah gaya hidup. Semua harus menjadi serba cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tentunya akan semakin menderita seseorang tersebut manakala pasak besarnya jauh tidak seimbang dari pada tiangnya. Tapi karena martabat hidupnya harus ditopang, maka dengan ikhtiar apapun wajib terlaksana. Meski, seandanya, pendapatan yang dimilikinya masih belum mampu menopang gaya hidupnya yang wah.
Semua itu karena ada selisih antararena ada selisih antaráapun wajib terlaksana. Meski nakala pasak besarnya jauh tidak seimbang dari pada tiangnya. Tapi karena h yang diperolehnya setiap bulan kurang bisa memenuhi apa yang dibelanjakannya, maka jurus paling sering dan dianggap jitu adalah membuat aplikasi KTA alias kartu hutang bebas jaminan.

Maka pada saat kartu itu mulai aktif melaksanakan peranannya sebagai penopang kebutuhannya, saat itu pula sesungguhnya pengeluaran kita bukan semakin menjadi ringan tetapi justru kebalikannya, semakin terjerat dalam sistem yang telah secara sadar didesainnya sendiri. Memerosokkan diri di dalam lubang yang digalinya sendiri. Pada siklus berikutnya adalah hanya akan berputar pada sekitar mengembalikan uang yang terlebih dulu sudah dinikmatinya. Dan sistem ini akan membuatnya semakin bertambah besar beban hutang dari yang telah dinikmatinya.

Tebar Discount dan Kemudahan 

Keterperosokan sebagian kita oleh kartu hutang bebas jaminan sebagaimana yang saya kemukakan di atas bukan saja dikarenakan oleh kebutuhan dan gaya hidup kita semata, tetapi kadang dan sering juga oleh pertimbangan potongan harga yang ditawarkan dan juga oleh kemudahannya.

Orang akan menjadi semakin tidak berdaya untuk bangun mana kala income begitu pas pasan untuk memiliki satu atau bahkan lebih kartu hutang bebas jaminan dan sekawannya. Dan dengan dalih serta logika 'kebutujan yang mendesak', kemenangan sistem jerat hutang dimulai.

Berbeda karena keterdesakan, jurus sakti dan konyol lainnya adalah discount dan kemudahan. Padahal intinya tetap sama, yaitu hutang. Bagaimana tidak konyol, jika anda membeli suatu barang di sebuah toko, anda akan memperoleh discount atau potongan harga saat membayarnya dengan kartu hutang bebas jaminan tersebut. Namun akan membayar dengan harga tanpa potongan sedikitpun saat membayarnya dengan kartu debet yang anda miliki atau bahkan uang tunai dari dompet anda sendiri.

Demikian pula dengan jerat kemudahan. Sampai-sampai ada lembaga donasi yang hanya menerima donasi malui kartu hutang bebas jaminan dari para donaturnya. Ketika kita mencoba mendonasikan melalui kartu debet justru ditolaknya. 

Dengan menilik itu semua maka saya menjadi yakin bahwa soko guru dari ekonomi kita adalah jerat bunga hutang. Dan bagi yang terlanjur bergaya hidup 'mampu' namun belum ditopang oleh THP yang masih sedikit diatas UMR, bersiaplah untuk menjadi contoh nyata dari peribahasa 'besar pasak dari pada tiang'. Sebagai modelnya baik suka dan paling banyaknya ada pada sisi duka nestapanya.

Untuk itulah, saya mengajak pada diri saya sendiri dan Anda untuk menolak gaya hidup besar pasak dari pada tiang. Semoga Allah berikan kekuatan-Nya. Amin. 

Jakarta, 18 Nopember 2010.

13 November 2010

Takut Pergi ke Toilet

Ini kisah kampungan saya yang lain lagi. Saya lebih senang menyebutnya kampungan, karena kebetulan saya memang asli anak kampung. Jadi pas kan? Yaitu yang berkenaan dengan pengalaman saya untuk menggunakan barang atau alat baru, yang sebelumnya belum pernah saya menemukannya, mengenalnya atau bahkan menggunakannya. Misalnya saja saat pertama kali saya datang ke Jakarta pada tahun 1984 dan harus naik ke lantai 4 sebuah gedung yang ada di Jalan Asemka, Jakarta Barat, dengan tujuan melamar pekerjaan.

Di depan pintu gedung, tersedia lift. Namun karena mental kampungan saya itu, maka saya mencoba untuk menunggu orang yang akan menggunakan lift tersebut. beberapa detik saya berdiri di depan lobby, orang yang akan menggunakan lift yang mungkin saya bisa nebeng tak kunjung datang, mata saya jelalatan untuk mencari tangga. Tangga saya temukan dan tanpa membuang waktu saya buka pintunya dan saya naiki tangga itu. Dalam otak saya tersirat pikiran bahwa betapa manjanya orang kota. Untuk naik ke lantai 4 saja harus menggunakan lift. Dan sikap manja itu justru merugikan saya yang dari kampung dan tidak familier dengan teknologi lift. Tiba-tiba saya berpikir bahwa dunia ini tidak adil. Sampai di lantai 4, ternyata harus ada form yang harus saya isi sebelum proses wawancara dilakukan. Dan akhir kata, saya tidak diterima sebagai karyawan di kantor lantai empat itu.

Beberapa tahun kemudian, lift tetap menjadi teknologi yang tidak bersahabat dengan saya. Karena pada akhirnya saya menjadi guru di sekolah dasar yang tinggi bangunannya hanya dua lantai. Dan setelah berjalan waktu, saya hanya akrab dengan eskalator yang ada di Plasa Aldiron dan Plasa Sarinah di bilangan Blok M. Tempat dimana saya menghabiskan akhir pekan bersama teman saat itu.

Pada perjalanan hidup berikutnya, saya mengenal pesawat terbang. Bagaimana prosedur naik pesawat yang dulu tidak terbayang, saya alami juga. Namun setelah berulang kali naik pesawatpun, ada kesengsaraan yang secara sengaja saya ciptakan dan saya alami sendiri. Yaitu menahan pipis. Bukan karena sebagai latihan untuk tahan tetapi, sekali lagi penyakit kampungan saya, malu kalau-kalau orang lain melihat bahwa saya tidak bisa membuka pintu toiletnya. Cis! Norak sekali saya ini.

Penyakit takut pergi ke toilet saat pesawat mengudara, berhasil saya perangi ketika saya mampu mengusir perasaan malu saat orang lain tahu bahwa saya belum bisa. Bahkan justru ketika saya tidak tahu bagaimana membuka pintu toilet, saya bertanya bagaiamana cara membuka pintu ini kepada siapa saya yang dekat dengan diri saya kala itu. Mungkin kepada penumpang lain yang ada di antrian belakang atau kepada pramugari yang kebetulan ada di dekat itu. Dan dengan bertanya tentang apa yang saya tidak tahu atau belum bisa kepada orang lain, saya menjadi percaya diri. Dan rasa malu itu tiba-tiba sirna.

Dari titik itulah saya punya kesimpulan bahwa rasa malu saya untuk pipis dan akhirnya takut pergi ke toilet saat di pesawat adalah karena rasa gengsi saya sendiri. Yaitu gengsi kalau-kalau orang lain tahu bahwa saya ngak bisa. Gengsi kalau-kalau orang lain tahu bahwa saya bukan orang pintar. Dan rasa gengsi serta malu itu, menjebak saya untuk benar-benar tidak berkembang. Meski hanya untuk naik lift atau masuk toilet! Celakanya saya dengan rasa gengsi itu.

Jakarta, 13 Nopember 2010/6 Dzulhijjah 1431 H.

09 November 2010

Baju yang Kemarin

Ini adalah kisah kampungan lain lagi yang menjadi pengalaman saya ketika memulai tinggal di kota Jakarta. Kisah ini saya alami pada saat saya masih menjadi guru muda di lembaga pendidikan Islam di wilayah Cilandak Jakarta Selatan. Kisah memalukan sesungguhnya. Namun justru kisah penting dalam kamus kehidupan saya. Mengapa penting dan layak untuk saya abadikan dalam bentuk tulisan? Karena kisah ini benar-benar telah merubah cara pandang saya secara total tentang bagaimana hidup bersih, berpakaian dan menampilkan diri. Dan karena sejak semula saya menjadi guru, maka berpakaian pada saat mengajar di sekolah adalah suatu yang harus menjadi fokus. Bukan saja karena secara kebetulan saya mengajar di sekolah swasta, tetapi juga adalah bentuk penghargaan pada diri sendiri. Seperti kata pepetah Jawa: Ajining rogo ono ing busono. ‘Harga’ pisik seseorang berawal dari pakaian yang dikenakannya.

Perlu saya sampaikan disini pula kalau lembaga pendidiian ini adalah lembaga pendidikan swasta yang kedua tempat saya mengabdikan diri setelah lulus darí bangku sekolah pendidiian guru (SPG) di Purworejo. Sebelumnya saya mengajar di kelas 5 sekolah dasar Muhammdiyah yang ada di bilangan Pasar Rumput Jakarta, sejak bulan Oktober 1984 hingga bulan Juni 1985.

Jadi ada jeda 5 bulan saya tidak beraktivitas apa-apa di Jakarta selain menjadi kernet taksi gelap di stasiun Gambir. Yaitu sejak Juni 1985 hingga akhir bulan Nopember 1985. Dimana saya baru bekerja menjadi guru kembali di Cilandak tersebut mulai 1 Desember 1985, persis sesuai dengan SK Yayasan. (Lihat foto saya yang tersimpan di arsip SDM Yayasan, yang sekretaris Yayasannya sekarang menjadi sahabat saya di Yayasan yang sama. Sungguh Alah telah memberikan bukti nyata bahwa lingkaran waktu dan nasib seseorang ada dalam kuanya-Nya. Subhanallah).

Saya masuk bekerja di lembaga pendidikan ke dua itu tidak di awal tahun pelajaran. Tetapi di pertengahan catur wulan kedua. Oleh karenanya, hingga akhir tahun pelajaran 1985/1986 itu, posisi saya adalah guru pendamping di kelas 2 sekolah dasar. Untuk kemudian saya benar-benar diplot menjadi guru kelas pada Juli 1986.

Tidak tanggung-tanggung, saya diplot untuk menjadi guru kelas 1! Satu keputusan nekad dan berani dari pihak keala sekoah dan Bidang Pendidikan di Yayasan itu. Karena usia saya kala itu masih muda dan sekaligus juga adalah guru baru yang belum banyak memiliki pengalaman mengajar. Tapi Pak Setiono alamarhum sebagai Kepala Bidang Pendidikan dari Yayasan dan Pak Mujib yang menjadi Kepala Sekolah saya waktu itu, secara khusus meminta agar saya mengemban amanah menjadi guru kelas 1 dengan baik. "Kamu bisa melakukan itu. Saya yakin. Ini dari pengamatan saya selama ini ketika kamu mengajar di kelas 2." Kata mereka memberi semangat.

Baju yang Kemarin

Dan kisah kampungan itulah terjadi diwaktu-waktu tersebut. Yaitu saat saya mengajarkan siswa kelas 1. Setalah waktu berjalan sekian lama, data seorang siswa kepada saya. Di saat istirahat. Di luar pelajaran di kelas. “Itu kan baju Bapak yang kemarin. Kok dipakai lagi. Memangnya ngak bau?” begitu siswa saya berkomentar persis di depan saya. Wajahnya tetap sumringah tanpa beban sedikitpun. Anak itu tidak merasa telah mengucapkan kata-kata yang bobotnya sangat dalam. Saya gelagapan untuk menemukan apa yang disampaikannya. Saya menyadari bahwa apa yang dikemukakan adalah sesuatu yang nyata. 

Seingat saya, saya tidak mampu memberikan komentar banyak terhadap apa yang dikemukakan anak itu. Saya hanya mematrikan kata-katanya itu dalam dinding ingatan saya yang paling rahasia. Saya merasa hari itu berjalan tidak seperti biasanya. Terasa lama. Dan saya semakin menyadari betapa menjadi guru harus mampu meningkatkan harga diri saya sendiri di hadapan siswa saya yang memang berasal dari kelas yang berbeda harganya.

Kata-kata siswa saya itu, pada akhirnya membuat saya belajar tentang bagaimana saya harus menghargakan diri sendiri. Dan ketika harga yang dimaksud adalah raga atau rogo, maka tampilan pisik adalah tarifnya. Bukan yang mahal atau mewah. Tetapi yang well groom. Ini mungkin realisasi dari pepatah Jawa tadi; Ajining rogo ono ing busono.

Jakarta, 8-9 Nopember 2010.

07 November 2010

Usaha Saya untuk Berubah

Mungkin ada yang berpendapat bahwa untuk berubah atau melakukan perubahan diri dari satu titik koordinat menuju titik yang lain adalah sebuah hal yang mudah. Tapi saya sendiri justru punya pendapat berbeda. Setidaknya ada perjuangan yang harus saya komitmenkan untuk menjalankan viri baru saya. Yaitu perubahan pada pola pembelajaran atau interaksi instruksional di dalam proses belajar dengan siswa. 

Jadi yang saya maksud adalah perubahan pada budaya pembelajaran saya. Dan tidak saja perubahan pada cara pandang, konsepsi, dan paradigma. Tetapi masuk dalam tataran budaya dan menjadi etos dalam berperilaku yang saya harus ejawantahkan secara operasional. Meski untuk menjadi itu kita butuh landasan pacu yang berupa paradigma, konsepsí, pemahaman, dan juga komitmen.

Ceramah, Latihan, Ulangan 

Itulah pola pembelajaran yang hampir selalu saya jalani sepanjang memegang otoritas di kelas sepanjang 11 tahun karir saya menjadi guru SD menjelang tahun 90an. dengan jumlah siswa hingga 45 dalam satu kelasnya. Maka menjadi guru kelas adalah memberikan seluruh materi pelajaran di luar materi yang ada dalam mata pelajaran olah raga dan agama, menjadi kewajiban saya.

Masuk kelas dengan terlebih dahulu mengecek buku penghubung atau buku komunikasi dan juga pekerjaan rumah yang telah tersusun dengan rapi di meja baris paling depan adalah rutinitas yang saya terapkan kepada siswa saya menjelang usianya ke-7 tahun. 

Masuk pada mata pelajaran, saya akan menguraikan materi yang menjadi target tuntas pada hari itu. Tentunya dengan tetap berdirí di depan kelas dan sesekali membuat ilusttasi di papan tulis. Siang menjelang pulang sekolah, siswa akan membuka buku komunikasi guna menuliskan tugas pekerjaan rumah atau pr. Pekan depan, saya akan memberikan ulangan untuk meteri pelajaran itu.

Semua itu berangkat darí cara kerja yang melihat diri saya sebagai pusat. Dan bukan siswa atau anak didik saya. Di pihak lain, pengalaman lama mengajar dengan etos yang selama ini harus saya ‘ubah’, adalah bentuk pemaknaan saya atas apa yang dikemudian hari teman saya katakan dengan istilah: year of experience versus year of learning.

Saya memaknainya: bahwa lamanya saya menjalani profesi sebagai guru (lebih kurang saat itu 11 tahun), adalah kumpulan tahun yang menjadi tahun pengalaman saya bekerja dan belum belajar. Karena apa yang saya lakukan pada tahun perjalanan profesi saya yang ke-11 sangat boleh jadi adalah pengulangan apa yang saya lakukan di tahun pertama!

Siswa sebagai Pusat
 
Bagaimana saya selalu harus melihat bahwa siswalah yang harus menjadi fokus. Bagaimana? Ya kadang saat lesson plan meeting, datang pertanyaan kepada saya waktu itu; Apa yang akan dilakukan siswa saat Bapak menjelaskan tentang bunga? Apakah siswa tidak bosan karena tidak mndapat porsi untuk melakukan ? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang justru membuat otak saya berpikir dan terberdayakan. Bagaimana saya melayani siswa saya? Kata saya sendiri dikemudian hari sebelum materi pelajaran itu tertuang dalam strategi belajar yang kami diskusikan esok harinya.

Apakah dengan demikian lalu sertamerta pembelajaran di kelas berubah secara total? Kadang ya. Yaitu saat saya menemukan ide strategi belajar yang saya dapat dari buku referensi, atau juga dari kawan yang murah hati memberikan ilmunya kepada saya. Namun kadang juga tidak. Tentu saat saya benar-benar tidak menemukannya. Dan proses menuju ke titik itu secara terus menerus tetap saya jalani dengan penuh gairah.

Hingga saya menemukan pola kerja bahwa pembelajaran dengan persiapan yang matang, akan membuat kita sebagai guru di dalam kelas akan berdiri sebagai moderator dan fasilitator. Di depan saya akan menyampaikan penjelasan tentang apa yang akan kita pelajari hari ini dan langkah untuk mempelajarinya. Dan dalam prosesnya, siswa akan melakukan apa yang menjadi panduan belajar tersebut, dan memenuhi target yang telah disepakati. Saya akan dapat menikmati proses itu. Tentunya tidak sepanjang waktu saya harus menyampaikan informasi tentang apa yang harus siswa kuasai.

Itulah sedikit gambaran peta perjalanan saya tentang memposisikan siswa dalam pembelajaran. Meski akhirnya saya tidak langsung lagi memegang kelas, tetapi kebahagiaan sebagai guru tak akan pernah terhapus. Alhamdulillah.

Jakarta, 7 Nopember 2010.

Sumpel Kuping





Benda terbungkus warna kuning yang saya pegang bersamaan menimbang badan saat boarding, saya sangka sebagai jatah permen bagi penumpang. Malah saya berpikir ini adalah permen karet import. Tidak tahu mengapa pikiran itu yang lahir di kepala saya. Mungkin karena bersama saya justru banyak penumpang bule. Bukankah ini Sabtu pagi? Ini ketika waktu masih menunjukkan pukul 05.30 di Bandara kota Balikpapan.

Namun setelah timbang badan di waktu boarding selesai, dan masuk ruang tunggu, maka ada kesempatan bagi saya untuk membaca dan mengamati bungkus warna kuning itu dengan lebih seksama. 

Dan setelah mengeja dengan lebih sesame itulah, akhirnya saya berketapan hati bahwa benda ini adalah sumpel kuping. Kesimpulan ini semakin tebal setalah sekali lagi saya mengeja huruf demi huruf serta mencermati gambarnya. Sumpel kuping? Demikian keraguan datang lagi. Apa kepentingan sumpel kuping dengan penerbangan saya? Saya mencoba bersabar dengan pikiran saya itu dengan tetap memegang benda berbungkus kuning itu.

Bagi Anda yang memang sering bepergian dengan menumpang pesawat di daeran pedalaman, hal seperti ini tentu sebuah hal yang tidak aneh. Namun bagi saya yang baru sekali itu naik pesawat baling-baling dengan penumpang maksimal 15 orang, maka itu menjadi pengalaman yang sedikit membingungkan. Oleh karenanya sumpel kuping sempat saya duga sebagai permen karet. Tapi justru sumpel kuping itulah yang memberikan sedikit tambahan warna dalam lembaran hidup saya. 

Sebagai Guru yang diundang teman untuk berbagi pengalaman tentang merubah visi dalam menjalankan profesi, ini adalah bagian dari perjalanan yang mendorong rasa bangga atas profesi. Oleh karenanya dalam aroma ndeso-nya itulah, saya menulis cerita kampungan ini.

Bahkan saking kampungnya, untuk mengenakan sumpel kuping ketika pesawat benar-benar akan menerbangkan kami para penumpangnya, saya harus curi-curi pandang pada teman sebelah di dalam bus yang mengangkut penumpang dari ruang tunggu menuju pesawat. 

Padahal dalam bungkusnya instruksi pemakaiannya telah jelas tertera. Namun sekali lagi, seperti saya kemukakan di atas, karena ndeso-nya itulah yang membuat rasa percaya diri lenyap manakala berhadapan dengan hal baru dan asing.

Tapi itulah kisah tentang sumpel kuping yang saya terima dari petugas boarding dipagi hari di pertengahan tahun 2004 di Balikpapan.

Jakarta, 6 September - 7 Nopember 2010.

27 October 2010

Catatan Peristiwa; Berita Bencana


Hari ini, Rabu tanggal 27 Oktober 2010, dua koran yang ada di tangan saya menjadikan tiga bencana di tiga lokasi yang berbeda dengan skala derita yang berbeda pula, menjadi kepala berita. Di harian Republika, tiga berita bencana tersebut dimuat dihalaman pertama dalam judul; Mentawai Sukar Ditembus, Cuaca tak Bisa Diperkirakan, dan Wedhus Gembel Merapi Makan Korban. Demikian pula koran yang lain. Tiga berita bencana itu menjadi bagian yang penting untuk disampaikan kepada pembaca. Prihatin adalah perasaan duka yang dirasai oleh seluruh penduduk nusantara. Tentu berat bagi orang-orang yang mengalaminya di daerah bencana itu.

Bencana wedhus gembel merapi telah meninggalkan korban yang hangus. Baik kormbn manusia dan tempat tinggalnya dan juga alam sekitar yang terbakar oleh panasnya awan dari muntahan lahar merapi yang panasnya mencapai 600 derajat celsius dan bergerak dengan kecepatan 200 kilometer per jam. Mbah Maridjan, juru kunci dari Keraton Yogyakarta yang bertugas untuk mengawasi Gunung Merapi dipastikan meninggal bersamaan dengan korban lainnya di rumahnya (Republika, Rabu, 27 Oktober 2010).


Bencana kedua adalah Tsunami yang melanda wilayah Mentawai di Sumatera Barat. Menelan 449 korban jiwa meninggal. Belum termasuk yang hingga kini masih dinyatakan hilang 96 jiwa, korban denganluka berat 270 jiwa, dan luka ringan 142 jiwa, plus pengungsi sebanyak 14.983 jiwa (Kompas, 31 Oktober 2010).

Sedang bencana ketiga adalah banjir di Jakarta pada Jumat tanggal 22 Oktober 2010 dan Senin pada tanggal 25 Oktober 2010. Banjir yang membuat Jakarta menjadi kota yang lumpuh karena banyak ruas jalan yang tergenang air yang mengakibatkan kemacetan parah. Banyak pengguna jalan pada Senin, 25 Oktober 2010 itu yang menghabiskan waktu pulang kantoirnya di jalanan Jakarta antara 2 hingga 5 jam. Seperti yang dialami istri saya yang pulang dari kantornya di Cipete III, Jakarta Selatan pada pukul 17.00 dan baru sampai rumah di Slipi, Jakarta Barat pada pukul 22.30!

Bajir Jakarta yang menyebabkan beberapa wilayah kebanjiran dan kendaraan yang terjebak kemacetan itu membuat para korbannya mengekspresikan frustasunya dan kritikan kepada pemerintah DKI Jakarta, yang dipimpin oleh ahlinya, di berbagai media maya. Baik twitter, facebook, atau media messenger.

Dari peristiwa-peristiwa tersebut, masuk sms di seluler saya yang bernada mengajukan pertanyaan; apa makna dibalik angka 26? Dimana peristiwa bencana terjadi pada tanggal 26. Bahkan termasuk peristiwa tsunami Aceh. Saya menjawab: Maknanya adalah agar kita berpikir. Saya tidak mau terjebak oleh akal-akalan dengan cara otak atik angka yang seolah-oleh hasil analisa. Padahal menurut saya itu adalah bagian dari kleniknya orang berpendidikan. Karena saya mengangkat angka itu adalah bagian dari mutashabihat.

Dan yang terpenting menurut saya adalah, bagaimana perjalanan kita di masa depan dengan 'perimngatan' yang telah Allah sampaikan dengan banyaknya peristiwa tersebut. Masihkan kita terjebak dengan analisa dangkal hitungan angka?
Jakarta, 27-31 Oktober 2010.

24 October 2010

Dua Penyakit Belum


Ini catatan saya yang lain tentang berkendara. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu saya sudah meninggalkan rumah untuk menuju ke kantor tepat pukul 06.10. Penumpang pertama yang harus saya antar adalah anak bontot di Lapangan Tembak, Gelora. Perjalanan lanjut ke Blok M, dimana istri saya melanjutkan perjalanannya dengan Metro Mini 610 menuju Cipete. Untuk kemudian saya sendirian meneruskan rute Tendean-Tol Dalam Kota-Cempaka Putih -Pulomas. Biasanya saya telah sampai di halaman sekolah untuk menyambut siswa yang datang pada pukul 07. 10.

Dalam tulisan ini bukan rute perjalanan itu yang ingin saya sampaikan. Tetapi sebuah peristiwa tidak penting yang nantinya, semoga, kita dapat mengambil pelajaran darinya. Pelajaran untuk menjadi pribadi yang selalu mengedepankan baik sangka atau positive thinking, yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai penyakit belum berpikir positif.

Dan pribadi yang berpikir panjang atau minimal berpikiran satu langkah ke depan, one step a head, dan bukan orang yang berpikir pendek. Yaitu berpikir hanya hingga apa yang ada di depan kita. Dalam istilah saya adalah penyakit belum berpikir panjang.

Dua pelajaran itulah yang mudah-mudahan dapat kita tarik hikmah dari cerita saya ini.

Dua Penyakit Belum

Cerita berawal saat perjalanan saya sampai putaran Semanggi di Jalan Sudirman. Seorang Ibu mengendarai mobil sedan yang berada di belakang saya persis. Mungkin karena buru-buru dan bermaksud mendahuli tetapi karena situasi jalan yang tidak memungkinkan, selalu membunyikan klaksonnya. Isyarat agar saya melaju lebih cepat. Sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan mengingat ada kendaraan di depan saya. Dugaan saya bahwa pengendara sedan di belakang saya ini tidak melihat apa yang saya lihat.

Perjalanan sampai di perempatan Jalan Sisingamangaraja, persisnya di pojok Universitas Al Azhar. ke arah Blok M, rupanya pengendara sendan tersebut masih berada di belakang saya. Dan membunyikan klasosnya begitu lampu lalu lintas menyala hijau. Semenara laju kendaraan saya dan juga bus transjakarta masih terhambat oleh deretan kendaraan dari arah Jalan Hangtuah. Klakson itu baru berhenti setelah kendaraan saya dapat melaju.

Namun rupanya, pengendara senadan yang saya taksir minimal lulusan SMA itu membunyikan kembali klaksonnya ketika laju kendaraan saya terhambat kembali saat berada di jalur kiri di perempatan Sisingamangaraja-Panglima Polim menuju jalan Melawai Blok M.

Dengan peristiwa itulah saya berasumsi bahwa pengendara sedan dibelakang saya ini setidaknya mengidap dua (2) jenis penyakit perilaku belum. Yaitu penyakit belum berpikir positif dam belum berpikir panjang.

1. Belum Berpikir Positif

Karena pengendara itu selalu dihantui pikiran dan prasangka buruk. Dia menyangka bahwa kalau laju kendaraan saya pelan atau tidak jalan padahal lampu lalu lintas telah menyala hijau, karena saya adalah tipe pengendara lelet dan lemot. Sehingga dengan sengaja bermaksud menghambat pengendara sedan tersebut.

Dalam tiga rentetan klakson yang dibunyikan pada ruas jalan yang tidak terlalu panjang itu, dugaan saya sangat kuat bahwa, pengendara itu terjangkit penyakit perilaku belum memiliki atau mungkin belum belajar menjadi manusia yang berpikir positif. Misalnya; kok kendaraan di depan lajunya pelan, tapi saya tidak bisa melihat mengapa? Oh mungkin ada gerobak yang menghalanginya atau oh mungkin ada pesepeda. Atau pemikiran positif lain yang bukan curiga (?).

2. Belum Berpikir Panjang

Karena yang tampak hanya kendaraan yang persis di depannya, yang kebetulan kendaraannya lebih tinggi sedang kendaraan yang dikendarainya pendek dan tidak memungkinkan bagi dirinya untuk dapat melihat kendaraan yang ada di depannya lagi, maka sampai disitulah otaknya sampai pada sebuah kesimpulan. Berpikir hingga apa yang ada di depannya. Lebih dari itu ia tidak atau mungkin belum sanggup. Ia terjangkiti penyakit kedua, yaitu belum berpikir panjang.

Dalam beberapa kasus, model berpikir ini akan menjadi bumerang bagi pengendara itu untuk keselamatan dalam berkendara. Saya menduga terjadinya kecelakaan beruntun antara lain karena pengendara hanya konsentrasi kepada kendaraan yang ada persis di depannya. Hanya sebatas itu.

Itulah cerita saya dalam tulisan ini. Semoga saya dan Anda terhindar dari dua jenis penyakit perilaku buruk tersebut. Tidak hanya ketika kita berada di jalan raya saja. Mudah-mudahan juga saat kita berada dimana saja dan kapan saja. InsyaAllah. Amin.

Jakarta, Slipi, 24 Oktober 2010.

23 October 2010

Memiliki Sekolah Sendiri?

Di sela-sela interview untuk posisi direktur di sebuah sekolah di belahan Indonesia Timur, sahabat saya datang menemui saya. Ia memanfaatkan waktu yang tersisa lebih kurang empat jam dari saat bertemu dengan saya hingga keberangkatannya kembali ke rumahnya. Saya tentu gembira dan bahagia berjumpa dengan sahabat yang lebih kurang dua tahun tidak berjumpa. Dan meski bertemu untuk beberapa jam, kami sepertinya telah berbincang hampir seluruh masalah hidup. Terutama masalah hidup yang kami geluti bersama, sekolah.

Banyak hal tentang sekolah yang kami bincang dan diskusikan. Tentang siswa, orangtua, guru dan staf pendidikan, pasukan keamanan sekolah, hingga pramubakti. Bahkan juga tentang cita-cita saya untuk memiliki lembaga pendidikan sendiri entah dimana.
  • "Masih bersemangat untuk mewujudkan mimpi tentang lembaga pendidikan sendiri?" Katanya.
  • "Alhamdulillah masih"
  • "Bagaimana jalan menuju kesana?" desaknya.
  • "Itu masalah terbesar saya. Namun setidakmnya saya telah berkali-kali membuat konsep sekolah itu. Dan anehnya, beberapa konsep yang saya buat telah direalisasikan teman lain dalam bentuk lembaga pendidikan." Jelas saya.
  • "Tapi bukan milik kamu?"
  • "Memang bukan. Tapi setidaknya telah membantu orang untuk mereka yang bingung merumuskan bentuk sekolah." Kata saya.
Perlu saya jelaskan kepada Anda bahwa, teman saya ini meski sekarang telah memimpin sebuah sekolah, tetapi tidak pernah mau untuk bercita-cita membuat sekolah sendiri. Menurutnya, dengan pengalamannya selama ini mengurusi sekolah orang, ia justru merasa tidak cukup memiliki minat membuat sekolah sendiri. Ketika saya desak dengan statmen; lebih baik kecil tapi milik sendiri daripada besar tapi milik orang lain. Dia malah tersenyum saja. Menurutnya, saya akan berhenti mengurusi sekolah orang kapan saja saya sudah merasa tidak mau mengurusi.

Dan dari pernyataannya itu, saya percaya bahwa apa yang dilakukannya hingga sekarang ini adalah bentuk profesionalismenya. Dan bukan sekedar untuk mencari nafkah? Saya pun tidak pantas meragukan kapasitasnya untuk mendapatkan sumber nafkah baru jika hal itu dilakukannya. Saya iri akan apa yang menjadi kepintarannya. Dan pada sisi itulah salah satunya yang membuat saya menjadi begitu bersemangatnya untuk bersahabat erat dengannya. Namun apa yang membuatnya tetap berkomitmen dalam bersahabat dengan saya, saya belum pernah bertanya kepadanya.

  • "Bagaimana interview tadi? Apakah ada kabar baik?" tanya saya kepadanya.
  • "Tampaknya begitu. Kabarnya baik sekali. Tapi justru disitulah saya datang kemari."
  • "Apa yang dapat saya bantu dengan kedatanganmu kemari?"
  • "Maksudku" lanjutnya.
  • "Bagaimana menurutmu lembaga yang ditawarkan untuk aku tangani itu."
  • "Setidaknya menurutmu." katanya tiada jeda.
  • "Lembaga yang bagus. Tapi tetap saja kamu harus bisa membawa diri. Bukan kapasitasmu yang aku khawatirkan. Tetapi strategimu." nasehat saya kepadanya.
Karena jam keberangkatan, kamipun harus mengakiri diskusi kami hari itu. Dalam perjalanan pulang, saya termngiang pada apa yang telah kami bincangkan. Seperti pentingnya strategi penerapan konsep selain kompetensi dan lain sebagainya. Juga tentang pertanyaanku sendiri. Memiliki sekolah sendiri?

Slipi-Depok-Slipi, 23 Oktober 2010

22 October 2010

Berpikir Tingkat Tinggi, Higher-order Thinking



Berbasis kepada Taksonomi Bloom, terdapat tiga aspek dalam ranah kognitif yang menjadi bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher-order thinking. Ketiga aspek itu adalah aspek analisa, aspek evaluasi dan aspek mencipta.
Sedang tiga aspek lain dalam ranah yang sama, yaitu aspek mengingat, aspek memahami, dan aspek aplikasi, masuk dalam bagian intilektual berpikir tingkat rendah atau lower-order thinking.

Bagaimana proses belajar yang terjadi di dalam kelas yang dapat mendorong siswa atau peserta didik memilki kemampuan berpikir dalam taraf higher-order thinking tersebut? Dalam Buku A Guide to...Productive Pedagogies, Classroom Reflection Manual yang diterbitkan oleh Curriculum Implemantation Unit, Teaching and Learning Branch, Education Queensland, dicontohkan tentang pembelajaran dalam Mata Pelajaran Matematika dengan topik bahasan mengelompokkan benda. (Secara lengkap dapat di baca dalam foto yang saya lampirkan. Yang saya ambil dalam buku tersebut di halaman 1).


Apa yang menjadi contoh dalam buku tersebut tentang bagaimana guru memberlajarkan siswanya untuk mampu berpikir kritis, adalah sesuatu yang sangat mungkin kita lakukan. Benda yang dimaksud dalam contoh, yang nantinya dapat dikelompokkan, adalah benda yang ada di sekitar ita juga. Hulahub, dapat pula kita ganti dengan benda lain seperti tali rafia. Namun pelaksanaan pembelajaran seperti dalam contoh adalah bukan sekedar urusan sumber daya belajar, tetapi lebih kepada paradigma kita tentang belajar.

Bila tujuan belajarnya adalah pengelompokan, mudah bagi kita di kelas meminta siswa mengelompokan benda-benda yang ada berdasarkan pada ketentuan yang telah kita sebutkan. Sehingga siswa hanya belajar tentang benda ini masuk dalam kelompok mana berdasarkan kriteria yang telah guru buat. Memasukkan benda dalam kelompok yang sesuai dengan kriteria yang ada, tentu berbeda sekali jika siswa harus terlebih dahulu membuat kriteria pengelompokan.
Disitulah letak terjelas dari konsep Lower-order thinking dan higher-order thinking.

Ketika siswa hanya tinggal mengelompokkan berdasarkan kriteria yang telah disiapkan, itu berarti kita hanya menuntut siswa untuk faham. Dan faham masuk dalam aspek memahami. Yang juga bagian dari lower-order thinking. Namun ketika siswa harun menentukan terlebih dahulu kriteria mana yang menjadi dasar bagi pengelompokkan benda, berarti siswa dituntun untuk mencipta dan kemudian menganalisa. Yang juga berarti masuk dalam proses higher-order thinking.

Itulah sekelumit yang kebetulan saya lihat dari buku pemberian teman. Mungkin berguna untuk Anda dan kelas Anda?

Jakarta, 22 Oktober 2010.

20 October 2010

Karakter Kita, Tercermin di Halaman Publik


Wilayah publik, wilayah umum, wilayah sosial, adalah layar yang begitu luas dan jernih bagi penampakan karakter seutuhnya bagi diri kita. Dimana dan kapan saja kita berada. Karakter kita, perilaku kita, budi pekerti kita, melekat erat pada dinding-dinding sosial itu. Baik yang kita coba untuk sembunyikan atau kita beberkan. Bahkan jikapun berhasil kita coba pendam ke dasar samudera, hanya soal waktu saja bagi angin untuk mengungkapkannya.

Di rumah saat berkumpul dengan keluarga, di jalan saat kita beraktivitas, atau di kantor saat dimana kita mengamalbaktikan diri bagi masyarakat dan keluarga. Maka pada ranah itulah siapa kita tercermin. Dan bila menengok 10 karakter yang berlaku di sekolah saya, maka disitulah landasan penilaian kepada kepribadian. Apakah saya adalah manusia yang telah menjadi dan memiliki perilaku; tangung jawab, displin, jujur, percaya diri, mandiri, kerjasama, peduli, hormat, dan sabar.


Sebagai contoh saja, bila saya melakukan sesuatu di sebuah acara atau kegiatan, tidak perduli apakah sesuatu itu formal atau tidak formal, maka sesuatu itu akan menjadi bahan penilaian bagi khalayak dalam forum yang ada tersebut. Apa kriteria yang akan mereka pakai untuk menilai sesuatu yang saya perbuat? Ya kalau forum itu adalah sekolah saya, pasti 10 karakter atau attitude yang hidup di sekolah saya akan menjadi acuannya.

Dan bagi khalayak atau komunitas sekolah, akan mengingat sesuatu yang saya ucapkan, visikan, nyatakan dan lakukan akan masuk dalam folder memori mereka untuk kemudian, jika telah terkumpul beberapa file, dapat menarik kesimpulan berkenaan dengan performa saya secara holistik.

Di sini saya ingin katakan bahwa, kepada anggota khalayaklah kita dapat memperoleh gambaran secara keseluruhan tentang diri kita. Tentang siapa saya. Tentang seberapa besar dan banyak saya telah memberikan perhatian dan komitmen terhadap investasi pemuliaan diri. Dan itu semua berawal dari keikhlasan kita dalam 'menatap' cermin secara jujur dan apa adanya. Bila masih ada satu mili meter pun ketidakjujuran dalam menengok gambar kita dalam cermin, sesungguhnya kita telah menjauhkan diri menuju pribadi yang lebih mulia.

Dari konsep inilah saya bermohon kepada pemilik semua yang ada di bumi dan di langit, penguasa ilmu yang tidak dapat dikuasai oleh siapapun hingga kapanpun, Dia yang memasukkan siang ke dalam malam, dan menggantikan malam dengan siang, yang memudahkan bahtera melayari samudera luas, jadikanlah selalu pribadi yang terbuka dan pribadi yang jujur dalam menatap gambar diri. Peka terhadap lingkungan sekitar. Dan juga mau untuk selalu merubah diri secara terus menerus menuju pribadi yang lebih baik dan lebih bermartabat. Sebagai jalan menuju keridoan-Mu dan menemukan akhir yang baik. Khusnul Katimah. Amin.

Jakarta, 20-22 Oktober 2010.

19 October 2010

Membuat Kesimpulan, Refleksi sebuah Keputusan


Ketika ada penilaian sebuah kinerja, maka pada saat itu juga kesimpulan telah diambil dari serangkaian data dan fakta yang ada. Dan jika masih terjadi ketidaksinkronan antara penilaian tersebut dengan data dan fakta yang ada, menurut saya ada dua masalah. Masalah pertama adalah berkenaan denfan data dan fakta yang ada. Dan masalah kedua adalah bagaimana menafsirkan data dan fakta yang ada tersebut dalam indikator atau kriteria penilaian yang ada dan disepakati.

Hal ini saya tulis berkenaan dengan pengalaman bahwa seseorang telah divonis dengan hasil penilaian kinerja yang kurang baik oleh atasannya. Sementara yang bersangkutan merasakan kesulitan yang teramat luar biasa untuk merealisasikan apa yang telah disampaikan atasannya. Dan dari sinilah ketidak sinkronan terjadi.

Sebagai bawahan, ia menyadari hal ini sebagai bagian yang kurang dalam kinerjanya. Tetapi rupanya tidak berhenti disini. Karena indikator yang disepakati, menurutnya, tidak berdasarkan kepada siatuasi riel yang ada di lapangan. Karenanya bawahan itu selalu menemui kendala saat ekskusi kesepakatan itu.

Dari dua paragraf latar belakang masalah di atas, kesimpulan saya adalah adanya data dan fakta yang tidak valid atau tidak sahih dan juga data dan fakta yang tidak reliabel. Dua hal yang berkenaan dengan data dan fakta tersebut karena data yang digunakan bukanlah data dan fakta yang mampu menggambarkan ralitas secara keseluruhan. Namun hanya gambar pecahan-pecahan, bagian-bagian, yang memiliki dua kemungkinan. Yaitu kemungkinan saling kait mengkait antara bagiannya secara runtut. Atau berkait secara berlompatan. Atau bahkan bagian-bagian yang yang tidak berkait sama sekali. Sehingga dengan sendirinya pemaknaan antar bagian dari fakta dan data tersebut akan melahirkan permasalahan tersendiri.

Lalu apa yang telah ia lakukan terhadap kenyataan yang dialaminya? Tidak ada yang dia lakukan selain menerima apa adanya. Meski ia mengakui hal itu sebagai hal yang tidak adil baginya, ia sejauh ini hanya menuliskan apa yang dialami dalam mind map di buku kegiatan hariannya.

Ia meyakini bahwa sekecil apapun kebenaran atau keburukan atau ketidakcermatan, pasti akan terungkap juga. Dan keyakinan yang kokoh tersebut tak mampu menggoyahkan sikapnya untuk menerima penilaian yang disampaikan atasannya kepada dirinya.

Jakarta, 19-21 Oktober 2010.

13 October 2010

Kepala Sekolah, adalah Juga Guru

Kepala Sekolah adalah juga guru bagi siswa-siswinya yang menjadi peserta didik di sekolahnya dan juga guru bagi para guru-gurunya. Oleh karenanya, maka Kepala Sekolah secara jumlah adalah guru yang memiliki tugas tambahan. Tugas tambahan itu dihargai sebesar 18 jam pelajaran per pekan menurut ketentuan yang ada. Maka 6 jam pelajaran sebagai pelangkap bagi tugas minimal yang harus diembannya sebesar 24 jam pelajaran per pekan. Itulah Kepala Sekolah. Itukah Anda?

Berbagahagialah jika Andalah Kepala Sekolah itu. Seperti yang saya sampaikan kepada teman-teman saya di sekolah saat Rapat Manajemen sore itu, Rabu, 13 Oktober 2010. Ungkapan ini harus saya sampaikan kepada kawan-kawan untuk meneguhkan hati dan tekad mereka dalam merealisasikan sekolah impiannya. Sekolah yang dilandasi oleh semangat untuk mengembangkan generasi yang jujur dan terhormat dalam ridho Allah Swt. Agar kita semua selalu bergairah dalam menjalani impiannya.

Kepala Sekolah juga adalah guru, karena sesungguhnya para Kepala Sekolah itu menghadapi para guru yang pola perilakunya sama dan juga senada dengan para siswa di dalam kelas, meski dengan kadar yang berbeda. Jika guru di dalam kelas menghadapi siswa yang sering harus diingatkan pekerjaan rumahnya, maka sesungguhnya Kepala Sekolah juga memiliki guru yang setipe dengan siswa tersebut. 

Misalnya tenggat waktu untuk mengumpulkan RPP atau bahkan draft rapot kadang masih sering harus diingatkan. Dan satu dua pengalaman paling parah pun kadang masih terjadi di beberapa sekolah. Seperti yang dialami oleh salah satu teman yang harus mengerjakan rapot hingga tengah malam karena Pak Guru menggunakan model kebut semalam. Dan ternyata semalaman tidak kelar atau selesai juga.

Apa langkah penyelesaian? Seperti juga guru, maka tidak ada jalan lain bagi Kepala Sekolah untuk mendapatkan teman-teman guru yang berkualitas selain menemani mereka untuk mengembangkan dirinya. Dan pada tahap ini pun masih kita temukan ada diantara mereka yang akseleratif dalam ikhtiar memaksimalkan potensi, ada pula yang sedang0sedang saja, ada pula bahkan yang perlu benar-benar diajak dialog antar hati.

Dan usaha yang dilakukan oleh Kepala Sekolah itu membutuhkan visi, kominmet dan kesabaran atau bahkan tidak jarang ketabahan. Oleh karenanya, saya berujar dalam hati untuk menguatkan prinsip keberadaan saya; jangan pernah lelah untuk membantu orang menemukan 'kemuliannya'. Karena tugas Kepala Sekolah mendidik gurunya juga masuk dalam ranah tersebut.

Selain itu, Ketika guru kita 'terdidik' dan terasah soft skill-nya, maka kita sebagai Kepala Sekolah akan dapat fokus kepada pengembangan sekolah dan pengembangan pelayanan kepada siswa peserta didiknya. Dan bukan lagi kepada komplain orangtua atau masyarakat sekolah lainnya karena ketidakpuasannya. 

Jakarta, 6-19 Oktober 2010.