Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

09 November 2010

Baju yang Kemarin

Ini adalah kisah kampungan lain lagi yang menjadi pengalaman saya ketika memulai tinggal di kota Jakarta. Kisah ini saya alami pada saat saya masih menjadi guru muda di lembaga pendidikan Islam di wilayah Cilandak Jakarta Selatan. Kisah memalukan sesungguhnya. Namun justru kisah penting dalam kamus kehidupan saya. Mengapa penting dan layak untuk saya abadikan dalam bentuk tulisan? Karena kisah ini benar-benar telah merubah cara pandang saya secara total tentang bagaimana hidup bersih, berpakaian dan menampilkan diri. Dan karena sejak semula saya menjadi guru, maka berpakaian pada saat mengajar di sekolah adalah suatu yang harus menjadi fokus. Bukan saja karena secara kebetulan saya mengajar di sekolah swasta, tetapi juga adalah bentuk penghargaan pada diri sendiri. Seperti kata pepetah Jawa: Ajining rogo ono ing busono. ‘Harga’ pisik seseorang berawal dari pakaian yang dikenakannya.

Perlu saya sampaikan disini pula kalau lembaga pendidiian ini adalah lembaga pendidikan swasta yang kedua tempat saya mengabdikan diri setelah lulus darĂ­ bangku sekolah pendidiian guru (SPG) di Purworejo. Sebelumnya saya mengajar di kelas 5 sekolah dasar Muhammdiyah yang ada di bilangan Pasar Rumput Jakarta, sejak bulan Oktober 1984 hingga bulan Juni 1985.

Jadi ada jeda 5 bulan saya tidak beraktivitas apa-apa di Jakarta selain menjadi kernet taksi gelap di stasiun Gambir. Yaitu sejak Juni 1985 hingga akhir bulan Nopember 1985. Dimana saya baru bekerja menjadi guru kembali di Cilandak tersebut mulai 1 Desember 1985, persis sesuai dengan SK Yayasan. (Lihat foto saya yang tersimpan di arsip SDM Yayasan, yang sekretaris Yayasannya sekarang menjadi sahabat saya di Yayasan yang sama. Sungguh Alah telah memberikan bukti nyata bahwa lingkaran waktu dan nasib seseorang ada dalam kuanya-Nya. Subhanallah).

Saya masuk bekerja di lembaga pendidikan ke dua itu tidak di awal tahun pelajaran. Tetapi di pertengahan catur wulan kedua. Oleh karenanya, hingga akhir tahun pelajaran 1985/1986 itu, posisi saya adalah guru pendamping di kelas 2 sekolah dasar. Untuk kemudian saya benar-benar diplot menjadi guru kelas pada Juli 1986.

Tidak tanggung-tanggung, saya diplot untuk menjadi guru kelas 1! Satu keputusan nekad dan berani dari pihak keala sekoah dan Bidang Pendidikan di Yayasan itu. Karena usia saya kala itu masih muda dan sekaligus juga adalah guru baru yang belum banyak memiliki pengalaman mengajar. Tapi Pak Setiono alamarhum sebagai Kepala Bidang Pendidikan dari Yayasan dan Pak Mujib yang menjadi Kepala Sekolah saya waktu itu, secara khusus meminta agar saya mengemban amanah menjadi guru kelas 1 dengan baik. "Kamu bisa melakukan itu. Saya yakin. Ini dari pengamatan saya selama ini ketika kamu mengajar di kelas 2." Kata mereka memberi semangat.

Baju yang Kemarin

Dan kisah kampungan itulah terjadi diwaktu-waktu tersebut. Yaitu saat saya mengajarkan siswa kelas 1. Setalah waktu berjalan sekian lama, data seorang siswa kepada saya. Di saat istirahat. Di luar pelajaran di kelas. “Itu kan baju Bapak yang kemarin. Kok dipakai lagi. Memangnya ngak bau?” begitu siswa saya berkomentar persis di depan saya. Wajahnya tetap sumringah tanpa beban sedikitpun. Anak itu tidak merasa telah mengucapkan kata-kata yang bobotnya sangat dalam. Saya gelagapan untuk menemukan apa yang disampaikannya. Saya menyadari bahwa apa yang dikemukakan adalah sesuatu yang nyata. 

Seingat saya, saya tidak mampu memberikan komentar banyak terhadap apa yang dikemukakan anak itu. Saya hanya mematrikan kata-katanya itu dalam dinding ingatan saya yang paling rahasia. Saya merasa hari itu berjalan tidak seperti biasanya. Terasa lama. Dan saya semakin menyadari betapa menjadi guru harus mampu meningkatkan harga diri saya sendiri di hadapan siswa saya yang memang berasal dari kelas yang berbeda harganya.

Kata-kata siswa saya itu, pada akhirnya membuat saya belajar tentang bagaimana saya harus menghargakan diri sendiri. Dan ketika harga yang dimaksud adalah raga atau rogo, maka tampilan pisik adalah tarifnya. Bukan yang mahal atau mewah. Tetapi yang well groom. Ini mungkin realisasi dari pepatah Jawa tadi; Ajining rogo ono ing busono.

Jakarta, 8-9 Nopember 2010.

No comments: