Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

15 July 2014

Pilpres 2014 #14; Berita Acara di TPS

Proses perhitungan suara untuk Pilpres tanggal 9 Juli 2014 lalu, pada hari ini masih berjalan di tingkat kecamatan. Tetapi klaim kemenangan sudah ada. Anehnya diyakini seyakin-yakinnya benar.  Pertanyaan saya adalah, untuk apa pemerintah, dalam hal ini KPU membuat aturan bahwa perhitungan suara harus berjenjang? Kalau memang hitung cepat dapat menjadi acuan hasil 100 % valid dan reliabel, bukankah lebih murah?

Tapi itu urusan orang-orang yang memang kalau salah satunya jadi pemenang dalam Pilpres dan menjadi Presiden saya dan juga Anda nantinya, yang barangali akan mendapat sesuatu yang membuat martabatnya naik. Sehingga dengan demikian berhak untuk ngomong apa saja demi HAM, kebenaran, dan juga demokrasi? Dan pastinya tidak dengan saya, yang dalam pemilu ini shanya sebagai petugas di TPS. Dan karena itulah, dari ranah berpikir saya yang seadanya ini, ingin mencatat tentang berbagai perndapat bahwa angka suara itu nanti bisa diutak-atik.

Menghitung Suara di TPS

Ketika bertugas di TPS 014 di sebuah kelurahan di Jakarta Barat, saya berposisi sebagai penulis di sampul surat suara, berdampingan dengan ketua KPPS saya. Surat-surat suara yang sampulnya sudah saya tulisi itu lalu ditandatangani oleh ketua KPPS sebelum diberikan kepada pemilih untuk di bawa ke bilik suara dan dicoblos.

Pukul 13.00 di hari pilpres itu, Jam dimana TPS ditutup. Kami mulai membuka kotak suara bersama saksi dari kedua Capres, dan para tetangga yang dengan antusias melihat kami. Merekalah yang paling heboh ketika surat suara dibuka satu persatu dan memastikan gambar mana yang dicoblos. Salah seorang dari kami bertugas membuat tally di kertas perhitungan suara ukuran lebar.

Sekitar pukul 14.20, kami meyelesaikan perhitugan suara tersebut, dan memasukkan hasil hitungan suara, ke dalam berita acara yang bernama C 1. Itulah dokumen yang selain kita kirim ke KPU ditingkat kelurahan, juga menjadi hak bagi setiap saksi. Dan ketika dokumen beserta kotak suara tersebut kami kirim ke KPU tingkat kelurahan, maka petugas akan mengecek kesinkronan dari data yang ada. Seperti jumlah surat suara, yang rusak, yang dipakai. Juga jumlah pemilih yag ada dalam DPT, pemilih yang menggunakan A 5, dan pemilih yang menggunakan KTP. Jika sinkron kami boleh meninggalkan lokasi itu. 

Curang?

Hari ini, sebagian orang masih bicara curang. Lalu saya pikir dimana dan bagaimana curang? Pasti ini gaya tingkat tinggi kalau benar-benar terjadi. Logika saya sederhana saja. Ketika para saksi di TPS benar-benar pintar dan disiplin serta tertib administrasi, maka data C 1 dari TPS tersebut memiliki keabsahan untuk membetulkan yang tidak benar ketika perhitungan suara di tingkat kelurahan berlangsung. Bukankah kalau di satu kelurahan terdapat 20 TPS, misalnya, maka berarti saksi dari salah satu capres tersebut memiliki 20 berita acara C 1?

Demikian pula nanti ketika perhitungan suara di tingkat Kecamatan, Kodya atau Kabupaten, dan juga Provinsi bahkan hingga ke Nasional? Tentunya jika para saksi itu benar-benar 'pintar', disiplin, dan berintegritas. Maka kalau ada yang curang sangat mudah menggugatnya. Karena setiap jejang perhitungan suara selalu ada berita acara hasil perhitungan suara tersebut.

Tapi ketika proses seperti itu tidak dipahami, terlalu mudah untuk percaya bahwa pemilu curang. Meski logika saya mengatakan tidak. Ini karena pikiran saya meyakini bahwa tertib administrasi, integritas pelaku dan utamanya adanya sakti capres, serta transparansi sebagai penjaga kualitas suara rakyat itu. Menurut saya...

Jakarta, 15 Juli 2014.

No comments: