Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

23 July 2014

Hati-Hati dengan Reaksimu!

Pagi ini, dalam perjalanan saya menuju lokasi rapat, di jalan yang tidak terlalu padat, kendaraan saya saya tumpangi mendapat klakson beberapa kali dari kendaraan yang melaju persis di belakang. Ini mungkin karena kendaraan dimana saya berada, berjalan lambat. Dengan kenyataan itulah barangkali pengemudi kendaraan itu merasa tidak nyaman dan bahkan jengkel, karena menganggab saya sebagai pengemudi begitu lelet, tidak efektif, dan membuang-buang waktu di jalanan dengan percuma.

Saya memaklumi kenyataan seperti ini. Mengingat hal seperti ini sudah sering saya alami. Sehingga pengalaman di pagi itu bukan merupakan pengalaman pertama. Mengapa orang dengan posisi sebagai yang membunyikan klakson tersebut terjadi dan berulang? 

Dari benak saya keluar sedikit analisa, lebih kurangnya sebagai berikut; Pertama, bahwa kendaraan orang yang berada di belakang kendaraan saya itu ukurannya lebih pendek dari kendaraan yang saya kendarai. Ini memungkinkan bahwa jarak pandang pengemudinya terbatas, tertutup oleh bodi kendaraan di depannya. Maka apa yang saya liat tidak dapat ia lihat. Atau ia tidak melihat apa yang ada di depan mobil saya. Berbeda jika kendaraannya tinggi atau minimal sama dengan yang saya kendarai, atau berada sedikit menyamping ke kanan, sehingga ia dapat 'mengintip' apa yang ada di depan saya.

Yang membuat saya prihatin adalah kalau memang pengemudi tersebut terbatas jarak pandangnya, mengapa kendaraan saya yang berjalan pelan harus 'diingatkan' dengan bunyi klaksosnya yang berulang? Mengapa ia tidak mencoba berpikir positif dan futuristik, misalnya dengan berprasangka kalau laju kendaraan saya yang pelan karena mungkin terhalang sesuatu di depannya sehingga harus mengurangi laju kecepatannya? Sesuatu yang tidak dapat dilihatnya? Sehingga kalau begitu maka tidak arif jika ia membunyikan klakson ketika 'mengingatkan' saya menambah laju kecepatan?

Kedua, kenyataan bahwa menyangka saya telah melajukan kendaraan dengan lambat tanpa menakar alasannya, adalah bentuk sikap terburu-buru untuk membuat kesimpulan. Terlalu berprasangka yang bertolak belakang dengan realita.

Atas kedua realitas itu, saya kok menemukan kesejajaran atas fenomena tersebut pada akhir-akhir ini di laman media sosial. Yaitu berupa komentar-komentar, reaksi-reaksi verbal, atas keadaan sekitarnya. Tetapi sebagaimana yang saya alami tersebut, maka komentar dan atau  reaksi mereka, sesungguhnya sangat tergesa dan tidaklah matang.

Bahkan tidak jarang, karena saking terburu-burunya komentar dan reaksi itu, bisa juga kita menyamakan komentar dan reaksi mereka seperti celetukan yang tidak bernas dikala rapat kantor atau seminar. Akibatnya komentar seperti itu, justru membuat catatan tidak baik dikemudian hari bagi komentatornya. Dari sini juga saya mendapat pelajaran untuk bersabar dan menunggu apa yang sesungguhnya sedang dilakukan oleh personal yang ada di sekitar saya.

Dengan sabar, mudah-mudahan saya mendapatkan tambahan informasi atas fenomena yang ada. Sehingga saya menjadi lebih dapat memberikan tanggapan dan kesimpulan, atau komentar dan reaksi, yang relatif lebih komprehensif. Semoga.

Jakarta, 22-23 Juli 2014.

No comments: