Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

09 April 2012

Cerita Supir Taksi tentang Pandangannya


Dalam sebuah perjalanan yang mengharuskan menggunakan taksi, karena di kota ini kendaraan umum sama sekali sudah tidak lagi beroperasi menjelang pukul setengah enam sore, saya berkesempatan mendengarkan cerita panjang lebar tentang pandangannya terhadap negeri yang dicintainya. Dan dari cerita yang disampaikan itu saya mendapat kesempatan untuk belajar tentang bagaimana menjalani hidup. Atau mungkin lebih tepatnya adalah bagaimana memosisikan diri dalam konstelasi hidup sosial dewasa ini. Adgar tidak salah posisi.

Tapi mengapa dari seorang supir taksi saya harus belajar? Karena saya melihat dia sebagai sosok yang mandiri. Semua pendapatnya murni dari kearifan pribadi sendiri. Meski kadang dari pandangan-pandangannya itu masih terbalut emosi kegemasan. Tidak ada kepentingan diluar dirinya yang mampu mengintervensinya. Dia berangkat narik penumpang dengan taksinya dengan tekad yang sederhana, mengumpulkan rezki untuk setoran dan untuk pemenuhan kebutuhan bagi keluarganya dengan menggunakan standar hidup secukupnya dan apa yang ada. Tidak terlalu sulit sesungguhnya pola hidupnya. Tetapi juga tidak sederhana.

Esemka

Ini berkenaan dengan mobil hasil karya anak-anak bangsa yang dimotori oleh pemerintah daerah kota Solo. Membanggakan sekaligus mencengangkan walau pada akhirnya semua kita memaklumi mengapa harus berakhir seperti itu. Namun seperti berita yang ada di media, bahwa nasibnya harus menunggu uji emisi kembali. Ini karena pada ujian pertama belum berhasil lolos.  Sebagai anak bangsa, saya pribadi optimis. Seperti optimesmenya Pak Habibi yag saat dengar pendapat di gedung DPR/MPR pada masa Orba dulu berkata; Bagaimana Indonesia tidak bisa membuat mobil sendiri? Sedang pesawat terbang saja bisa? Tapi Pak Supir taksi itu berkata:
  • Tidak lulus uji emisi itu juga salah satu skenario Pak. Bayangkan kalau sampai lolos dan kemudian mobil itu laku di pasaran, habis sudah mobil negera jiran yag kualitasnya tidak terlalu lebih jauh baiknya di banding mobil itu. Bapak kenal Pak Sukiat? Nah, dia itu jagonya mobil dari Klaten. Bengkelnya itu terkenal bagus. Taksi sudah melintas di samping gereja yang akses jalannya masih di tutup untuk Misa Malam pada hari Paskah itu. Saya tidak bergeming mendengarkan pidato sang supir taksi yang fasih bicara kondisi sosial. Mungkin dia senang membaca koran pada rubrik politik atau di head line. Atau mungkin juga baca opini dari surat kabar yang memuat pendapat-pendapat kritis para praktisi dan orang cerdik pandai. Tetapi setidaknya, saya bersama anak menikmati pandangan tentang suatu hal dari kaca mata yang berbeda. Setidaknya berbeda sebagimana yang ada di layar tivi yang pada peserta didkusinya bercincin mahal serta berjas.
  • Coba Pak, apakah ada di Indonesia ini yang pemimpinnya berani menjadi tumbal seperti Jokowi itu? Tetapi ya itu, atasannya malah sinis berkomentar. Ngurus jalanan di wilayahnya yang rusak saja ngak bisa, malah nimbrung terus... Wah, ini pendapat yang menjurus pribadi. Saya masih diam. Paling saya berguman untuk memberikan tanda bahwa saya tetap menyimak apa yang menjadi pendapatnya.
Penetapan

Ini isu panas berikut yang memang menjadi bahan diskusi sangat menggairahkan bagi warga DIY. Siapapun mereka. Termasuk supir taksi yang saya tumpangi ini. Juga tukang becak yang beberapa waktu lalu kisahnya pernah saya muat dalam blog ini ketika saya pada April 2011 naik becak dari Jalan Dagen untuk diantar ke Jalan Wijilan begitu pagi menjelang. Dan tukang becak menyampaikan pandangannya dengan penuh emosi. Dan pada saat itu, saya diberikan selebaran dari Pengawal Amanah HB IX 5 September 1945 dengan judul leaflet: Alasan-Alasan Penetapan Berbasis 'Ijab Qobul'.
  • Siapapun yang menyatakan bahwa Jogja ini harus ada pemilihan kepala daerah, sebaiknya membaca sejarah kembali. Apa kata sejarah. Tapi kalau memang mau dipaksakan, ya monggo. Kami rakyat biasa mas. Kami akan bela keyakinan kami. Jenengan boleh buktikan tekad kami ini. Wah, saya semakin takut dengan pandangan-pandangannya yang panas. Oleh karena itu saya tetap mengiyakan apa yang disampaikannya. Sebagai pegunjung di kota ini, saya tidak ingin menyampaikan pandangan saya karena ini saya pikir bukan tempat yang pas dan cocok untuk bertukar pikiran. Saya justru tertarik untuk melihat dan lebih tahu lagi tentang bagaimana masyarakat memandang sosial kultural masyarakatnya. Ini menarik bagi saya untuk dapat melihat konstelasi sosial dari kaca mata yang berbeda.
  • Ketetapan baru dari pemerintah, dalam hal ini dari Meteri Dalam Negeri, diberikan perpanjangan satu tahun lagi agar pembahasan RUUnya kelas. Tapi saya yakin sekali kalau pemerintah akan mencari solusi terbaik.
Alhamdulillah, taksi segera melewati Selokan Mataram. Yang berarti bahwa tuuan saya sudah hampir dekat. Dan berarti pula saya yang memberikan komando Pak Supir untuk mengambil jalan yang benar menuju tempat kos. Saya bersiap turun ketika Pak Supir meminta maaf kepada saya, karena ia lupa memencet argo ketika kami tadi naik di jalan KS Tubun. Ya sudahlah. Pikir saya sembari memberikan uang ongkos kami kepada Pak Supir yang kritis ini.

Masih ada beberapa topik yang diceritakan Pak Supir itu kepada saya sepanjang perjaanan itu, tapi saya pikir dua topik itu cukup untuk saya bagikan kepada Anda.

Ciasem, 8 April 2012.

No comments: