Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

21 May 2009

Pendidikan Moral, Nilai Tambah atau Nilai Inti?

Dapatkah kita memperoleh hasil yang relatif berarti tentang pembelajaran moral dari sebuah interaksi pendidikan di sekolah kita dewasa ini? Dimana selain hasil Ujian Nasional yang setiap tahun pelajarannya selalu menunjukkan grafik peningkatan, maka juga demikiankah hasil pembalajaran moral putra-putri kita? Apakah kita cukup memiliki parameter untuk mengukurnya sebagaimana kita memiliki alat ukur untuk keberhasilan akademik mereka? Atau mungkinkah kita tidak begitu perduli dengan kompetensi perilaku siswa kita karena hasil belajar akedemik adalah satu-satunya hasil belajar yang akan dicapai oleh sistem pendidikan di sekolah kita?

Rasulullah SAW pernah menuturkan dalam haditsnya bahwa; Aku diutus ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak. Ungkapan ini mengandung arti bahwa misi utama bagi sebuah proses pendidikan adalah lahirnya sebuah akhlak atau perilaku. Tentunya akhlak baik atau perilaku luhur. Disini kita juga dapat menilik bagaimana sebuah generasi yang hidup bersama Nabi Muhammad SAW sukses mengawal kemakmuran dunia hingga beberapa generasi sesudahnya. Sebuah konsep dan aplikasi pendidikan yang secara riil dan nyata ada dalam sejarah manusia.

Dalam rumusan lain, Nel Nodding, guru besar Emeritus di Universitas Stanford mengemukakan: the main of education should be to produce competent, caring, loving, and lovable people (Alfie Kohn, 2000:115).

Lalu apakah dewasa ini di dalam kelas-kelas di sekolah kita putra-putri kita belajar secara mendalam dan bagaimana aplikasi tentang apa, bagaimana, seperti apa ranah moral itu harus menjadi milik mereka selain juga belajar dan mengejar SKL (standar kompetensi lulusan) dalam aspek akademik yang harus didimiliki oleh siswa di akhir pada Ujian Nasional?

Belakangan ini pendidikan dengan pembiasaan moral yang baik marak dikembangkan oleh sekolah. Ini adalah perkembangan yang baik bagi Indonesia di masa depan. Namun saya melihat ini dalam dua kategori dalam mengembangkan pendidikan moral tersebut.

Pertama; adalah sekolah yang memiliki konsepsi, yang menjadikan pendidikan moral sebagai nilai tambah bagi proses belajar di suatu sekolah. Sedang konsepsi yang kedua; adalah sekolah yang menjadikan pendidikan moral sebagai nilai inti.

Pendidikan moral sebagai nilai tambah karena sekolah masih dibombardir oleh tuntutan bahwa sekolah tersebut harus tetap menghasilkan lulusan yang dapat bersaing di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Dan untuk mengejar indikator tersebut, sangat dimungkinkan melahirkan pola berpikir dari pelaku pendidikan di sekolah itu; untuk apa belajar non akademik bila hasil akhirnya hanya dilihat dari hasil ujian nasional yang menjadi modal bagi lulusan untuk masuk jenjang pendidikan berikut? Tahapan berikut dari pola berpikir ini adalah terjadinya pemisahan antara pendidikan moral dengan pendidikan akademik. lahirnya dokotomi. Sehingga ketika di depan kelas, guru tidak menjadikan pendidikan moral sebagai bagian yang inheren ketika sedang membelajarkan materi siklus hidup dalam mata pelajaran IPA, misalnya.

Pendidikan moral sebagai nilai inti bilamana seluruh aktivitas belajar yang ada di dalam kelas hanyalah sebagai sarana bagi terbentuknya moral yang diinginkan? Apapun materi yang ada dalam semua mata pelajaran di sekolah. Konsep ini tidak ada dikotomi antara moral dan materi pelajaran apapun. Karena materi pelajaran, sekali lagi adalah wahana bagi terbentuknya moralitas yang luhur yang menjadi impian kita. Inilah konsepsi yang menurut saya sebagai aplikasi pada tataran pendidikan di sekolah dari Hadits Nabi kita.

Dimana tantangan terbesar untuk menjadi agar pendidikan moral sebagai nilai inti di sekolah? Pendapat saya adalah memahamkan agar komunitas sekolah sepakat tentang konsepsi agar pendidikan moral sebagai nilai inti di sekolah. Terutama adalah mempersiapkan guru sebagai pelaku di dalam kelas.

Cipete Cilandak Jakarta Selatan, 21 Mei 2009.

4 comments:

kabari bos said...

MENGAPA UN SELALU BOCOR? INIKAH BENTUK KEJUJURAN PARA PENDIDIK KITA?

Agus Listiyono said...

Kejujuran harus melahirkan sikap berani. Berani meski harus di mutasi (begitu ancaman pejabat di suatu daerah agar UN berhasil).

Anonymous said...

Saya sepakat Pak Agus, dalam pandangan saya tuntutan mengejar nilai
tinggi agar bisa masuk ke sekolah lanjutan yang favorite [bisa
bersaing] iyu juga penting tetapi bukan berarti melepaskan kaitan
antara mata pelajaran [aktifitas belajar] dengan pembentukan moral
siswa. Karena setiap ilmu pada tataran aplikasi tidak bebas nilai.

Bisa dibayangkan, berapa banyak ilmuwan dengan gelar seabrek-abrek
yang ternyata dengan ilmunya justru tidak membuat umat menjadi
tenteram [minteri] dalam bahasa saya.

Saya sepakat aktivitas belajar di kelas sebagai sarana pembentukan
moral yang diinginkan. Sehingga lahir generasi-generasi penyejuk,
penebar kedamaian [sholih - sholihah] meraih kebahagiaan di dunia dan
di akhirat kelak.

punten Pak Agus kl ada salah kata, maklum lagi belajar nulis nih.

Unknown said...

Sepakat ...caranya ? kesatuan pemahaman dan visi mengenai ini. Bila kesatuan visi telah terbentuk maka action yang perlu dirumuskan harus banyak dilakukan.