Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

24 November 2011

SMS Wildah Saat Ikut Kagoshima Art Festival, Oktober 2011


Ini hanya merupakan rekaman emosi saya dengan anak saya yang kebetulan saat itu ikut ambil bagian dalam misi kesenian Indonesia di Kagoshima, Jepang. Ia yang sekolah di SMAN 24 Jakarta, masuk dalam romobongan kesenian Gema Citra Nusantara, GCN yang bermarkas di Cilandak, Jakarta Selatan. Rekaman emosi ini merupakan kiriman balasan SMSnya kepada saya, ayahnya. Semoga bermanfaat:
Rabu, 12/10/2011. Pukul 7.14:
Walaikumsalam ayah, aku di Korea. Udara di sini 12 derajat celcius. Bandaranya kereeeeeeeennnnnnn banget. Ngak kaya Indonesia. Bersih. BBM off. Rp 7000/sms. So far sangat menyenangkan alhamdulillah. Meskipun begitu aku inget kok gak boleh terlalu senang. Ini baru mau keKagoshima lagi yah. Doain ya...
Rabu, 12/10/2011. Pukul 10,43:
Alhamdulillah sudah sampai di Kagoshima. Disini lumayan panas, mungkin karena siang. Tapi panasnya ya ga kayak panasnya Jakarta. Doain aja ya yah Bu, Mas, Mba. Ok.
Rabu, 12/10/2011. Pukul 13,52:
Setengah 4 yah. Hari ini free. Td abis ke musium gt, lucu deeeeh. Blm tau naik kereta atau engga, pengen >< nnti aku kabarin lagi ya yahhh...
Kamis, 13/10/2011. Pukul 17,10:
Assalamualaikum, hari ini aku ke sekolah di Sakurokami, namanya Furokami Junior High. Aku kesana naik feri, karena waktu itu ada letusan gunung vulkanik, jadi daerah Sakurokami kepisah sama Kagoshima. Terus waktu ke sekolahnya, ada kuil tenggelem sampe atapnya doang. Banyak abunya gt pa. Satu sekolah isinya cuma 9 anak murid dan 4-6 guru. Mereka semua lucu2 kocakkk. Tadi aku cuma main angklung Bengawan Solo sama Koino Fuga. Mereka main judo tadi, yang pake pedang sama pelindung gt. Aku baru sampe hotel, disini sdh jam 8. Capeekkk
Jumat, 14/10/2011. Pukul 12,40:
Waalikum salam ayah, aku baru aja selesai tampil di SD Take. Alhamdulillah sukses ayah, aku seneng bgt hari ini. Anak2 sdnya seru dan lucu2 bgt, tadi sebagian ada yang main kendo, ada yang nari2 pake kimono,trs mereka semua nyanyi Topi Saya Bundar, Burung Kakak Tua, sama Cacamarica. Aduuh lucu bgt. Abis itu kita dimasukin ke grup2 gt. Kita diajak ke kelas mereka buat lunch, makanannya roti selai sup ayam sama susu. Tertib bgt mereka, abis makan langsung sikat gigi dan sikat giginya dihitung pake jam pasir. Abis itu kita diajak ke hall (tempat kita tampil) dan belajar origami. Sedih rasanya, kita harus lanjut perjalanan lagi. Karena mereka bener2 semangat bgt :'''') nnti kita mau ke aquarium abis itu welcoming reception (ada walikota sm istrinya Pak Jero Wacik) tapi kameraku batrenya habis. Sayang bgt ini. Aku ga selalu pegang kamera. Jadi mungkin ga sebanyak kalo kita jalan2.

Jumat, 14/10/2011. Pukul 20,50:
Aku lagi beresin koper. Ngantuk. Baru pulang dari welcoming reception. Ada negara2 lain td.

Sabtu, 15/10/2011. Pukul 18,38:
Waalaikum salam ayah, maaf dari pagi aku ga sempet liat hp. Hari ini festivalnya dimulai. Sayangnya bu jero udh pulang kemaren malem, jadi ga bisa liat kita tampil. Dari pagi udh sibuk siap2 di hall tempat tampilnya. Pas baru sampe kita disuruh naik ke tempat siap2, tapi udh gitu disuruh turun lagi & bawa tiang angklung, tapi disuruh keatas lagi ambil angklung, jadi disuruh bolak balik trs. Itu pun pake tangga bukan pake lift. Kemaren kan udh makan malem sm negara2 lain, seru yahh. Hari ini juga udh liat penampilan dr bbrp negara lain. Yang aku liat ada Thailand tampil pake alat musik gendang suling dkk sambil nari2. Aku nampilin angklung Bengawan Solo, Koino Fuga sama saman. Korea Orkestra Flute, Hongkong tampilin orkestra violin, Jepang orkestra sd, yang lain nya aku ga nntn. Yang paling ramah dan suka foto2 itu Cina, tapi suka banget nyerobot orang, trs orang Bangladesh suka foto2 sm org Indo.Pulsa yah

Minggu, 16/10/2011. Pukul 07,13:
ayah, hari ini aku festival lagi. Tampilnya di taman gt sama negara2 lain. Doain ya ayah. Hari ini tampil angklung sama lenggang nyai. Nnti ada farewell party juga. Tinggal 3 hari di Jepang, blm sempet belanja. Ayah maaf ya aku jadi susah ngabarin, btw td aku malah dikasih nmr voucher tapi ga bisa ngisinya di Jepang. Transfer aja yah, nomor vouchernya 42779273901***

Minggu, 16/10/2011. Pukul 15,13:
Iyap krn nnti ada farewel party jd nnti dinner lg. Ada 60) yah, gausah diisi lagi, terimakasih ya ayah sama ibu udh mau ksh izin ke jpg ({})

Senin, 17/10/2011. Pukul 06,41:
Waalaikumsalam ayah, alhamdulillah hari ini baik. Iya, agak sedih tapi capek juga ya wehjehehehe. Yaudah biarin aja. Hari ini tampil saman di sekolah. Semalam seru kokk, org Malaysia ngasih souvenir batik sama gantungan kunci keris yah. Kita dpt souvenir dr wlikota, cangkir. Doain ya ayahku.

Empat Klasifikasi Guru


Saya menemukan empat klasifikasi guru sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruder Bambang dI Konferensi Guru Nusantara, KGN, yang berlangsung pada Kamis, 17 Nopember 2011 di Kampus Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Empat klasifikasi guru model Bruder Bambang itu merupakan jawaban dan sekaligus refleksi atas pertanyaan seorang peserta konferensi tentang bagaimana mengatasi teman guru di sekolahnya yang relatif sulit dikendalikan perilakunya.
Sulit dikendalikan dalam arti yang negatif. Oleh karenanya peserta itu mengajukan pertanyaan dan sekaligus menyampaikan keluhan agar Bruder yang menjadi pembicara siang itu memberikan gagasan untuk solusi.
Dalam tulisan ini, tanpa mengurangi makna yang dimaksud, saya membuat istilah yang tersamar dan sedikit berbeda untuk empat klasifikasi guru yang dikemukakan Bruder Bambang tersebut. Tujuannya agar kita dapat memahami dengan lebih enak tanpa merasakan emosi negatif. Keempat klasifikasi guru itu adalah:

Pertama, adalah guru baik secara keilmuan dan bersikap konstruktif kepada organisasi. Yaitu guru yang seluruh kompetensi dimilikinya dengan sangat baik. Selain itu ia adalah sosok yang terbuka untuk menerima tugas sekolah dan melaksanakan amanah yang diembannya dengan baik. Inilah guru yang dalam level kinerja guru memperoleh predikat outstanding atau baik sekali.

Jika guru ini sedikit memiliki jiwa kepemimpinan, maka kita yakini dalam tempo yang tidak terlalu lama, bila di lembaga swasta, Bapak/Ibu guru semacam ini akan mendapat tawaran tambahan. Baik sebagai guru koordinator, wakil kepala sekolah, atau bahkan kepala sekolah. Kesempatan seperti itu penting ntuk guru dengan kualifikasi pertama ini. Karena jika sekolah kurang memperhatikan, sangat boleh jadi lembaga lain yang akan memberikan kesempatan kepadanya untuk mendapat tugas dan amanah yang lebih besar selain hanya sebagai pendidik di dalam kelas.

Kedua, adalah guru baik secara keilmuan dan bersikap destruktif kepada organisasi. Guru dengan model seperti ini, menurut Bruder Bambang, adalah kualifikasi guru yang perlu dan harus sering diajak berdiskusi. Sikap distruktifnya sangat boleh jadi tumbuh karena ketidak adanya komunikasi antara manajemen dengan guru. Juga boleh jadi karena kurangnya informasi yang diperolehnya, sehingga keputusan dan persepsi yang dimilikinya selalu lonjong.
Ketiga, adalah guru kurang secara keilmuan dan bersikap konstruktif kepada organisasi.Ini juga adalah model guru yang perlu mendapat motivasi. Sehingga pada hari-hari berikutnya ia menyadari akan kekurangan yang harus dikejarnya dalam menunaikan tugasnya sehari-hari. Dorongan untuk berkembang harus selalu dipompakan. Bahkan jika dibutuhkan dengan durasi waktu yang dijadikan kesepakatan bersama. Dengan tenggat waktu ini, pihak sekolah akan memungkinkan untuk membuat report secara periodik bagi target guru yang bersangkutan. Kesepakatan juga akan menjadi bagian dari pembelajaran bagi kedua belah pihak.

Keempat, adalah guru lemah secara keilmuan dan bersikap destruktif kepada organisasi. Guru dengan kualifikasi seperti ini adalah guru yang kurang mensyukuri apa yang telah dimilikinya atau kesempatan yang telah diberikan kepadanya. Ketidaksyukuran itu menjadikannya sulit untuk tumbuh dan berkembang. Tugas kita sebagai manajemen di sekolah adalah tetap memberikan dorongan kepada mereka namun dengan durasi dan ekspektasi yang lebih kongkrit dan jelas.

Pendek kata, tidak ada suatu lembaga seklolah dimanapun yang tidak memiliki empat model atau empat kualifikasi guru atau tenaga kependidikan yang mirip-mirip dengan apa yang menjadi pendapat Bruder Bambang itu. Setidaknya dalam cita rasa yang sedikit berbeda.

Jakarta, 17-24 Nopember 2011.

23 November 2011

Buah Jatuh ke Pangkalnya

Dalam buku 1000 Peribahasa Indonesia yang ditulis oleh Abdullah dan Muh. Rasjid, yang diterbitkan oleh CV Amin, Surabaya, tahun 1981, saya menemukan peribahasa ini. Dalam buku itu; peribahasa buah jatuh ke pangkalnya dimaknai sebagai; tabiat orang tua turun kepada anaknya juga. Hari ini, saya merasakan ada sesuatu yang menarik dari peribahasa itu. Tentu korelasinya denganprofesi saya sebagai guru.

Lalu, apa menariknya dari peribahasa itu? Saya paham jika tidak semua kita tertarik kepada makna dan arti dari peribahasa tersebut. Namun saya lain. Ini karena mungkin saya guru yang juga harus berkomunikasi tidak saja akademik tetapi juga emosi kepada siswa saya di sekolah, dan juga kadang kala sering dengan para orangtua siswanya. Dan inilah pangkal ketertarikan saya kepada apa yang tersirat dan tersurat dalam peribahasa tersebut.

Melihat secara Kontekstual

Dalam keseharian saya di sekolah sebagai guru, peribahasa itu menarik saya untuk mencoba melihat bagaiamana kontekstualitasnya di dalam kelas dan sekolah. Hal ini penting bagi saya apakah peribahasa tersebut memberikan petunjuk kepada saya tentang kebenaran darinya. Ini pulalah yang juga membuat saya bertanya-tanya ketika suatu saat mendapat siswa yang 'berbeda' dengan kondisi umum yang terlihat pada siswa yang lainnya. Tentu saya tidak melihat 'berbeda' tersebut dalam hal genetik, fisik, atau perbedaan lain dalam bentuk yang permanen. Saya justru tertarik dalam hal berbeda secara psikis yang temporal. Tentu dalam hal perilaku.

Berbeda perilaku ini menjadi bagian penting bagi saya dan teman-teman, sehingga dari padanya lahirlah semangat untuk menemukan inti dari masalah tersebut, mengelaborasi alternatif jalan keluarnya, dan sekaligus mengajak siswa dan kedua orangtuanya untuk keluar dari situasi berbeda tersebut menuju ke arah optimalisasi potensi. Dan alhamdulillah, Allah memberikan jalan keluar bagi kami untuk menapaki jalan menuju optimalisasi tersebut. Walaupun Allah memberikan jalan yang berbeda-beda pula untuk jalan yang harus kami laluinya pada setiap siswa yang kami tangani. Tetapi inilah yang justru membuat kami sebagai guru semakin berkeyakinan tentang kebermaknaan atas keberadaan kami di dalam interaksi orangtua dan anak. Kebermaknaan yang amat sulit dapat kami lukiskan secara gamblang. Kebermaknaan yang menjadi bibit kebahagiaan kami sebagai guru.

Pola Asuh Merupakan Korelasi antara Buah dan Pangkal Pohon

Dalam peribahasa itu hubungan antara orangtua dengan anak disimbolkan dengan hubungan antara buah dengan pohonnya. Secara spesifik dan jelas, hubungan tersebut berkaitan dengan hubungan perilaku. Bahwa perilaku anak itu berkorelasi dengan apa yang diperbuat oleh orangtua. Namun dalam konteks ini, saya melihatnya dengan sedikit berbeda. Dimana, menurut saya, perilaku anak berkorelasi sangat dekat sekali dengan bagaimana pola asuh orangtua tersebut kepada anaknya. inilah barangkali seperti yang saya tulis dalam artikel lain di blog ini dengan judul Dari HPnya, Saya Melihat Sosok yang Diteladaninya yang terbit pada 13 Mei 2011.

Salah satu contoh pola asuh itu misalnya prinsip yang berbeda antara anak dan orangtua dalam hal daya juang. Dimana ada seorang anak yang rendah sekali daya juangnya untuk mendapatkan prestasi yang optimal. Prestasi yang saya maksudkan misalnya adalah sikap mandiri. Untuk anak usia SD, mandiri yang saya maksudkan misalnya saja adalah, mandiri dalam memelihara barang. Banyak barang-barang tertinggal di sekolah yang tidak diketahui tuannya atau pemiliknya. Lebih-lebih bila selesai kegiatan Pramuka.

Kadang, pembantu anak itu datang ke sekolah guna melacak barang atau alat belajarnya yang tertinggal. Dan diketemukan barang yang dimaksud. Padahal barang tersebut telah diusahakan untuk dibawa keliling kelas dan diingatkan oleh guru setiap pagi agar siswa mengecek barang bawaannya yang tertinggal di sekolah, namun tetap tidak ada yang mengaku memilikinya.

Atau juga lahirnya sikap borju anak-anak dalam bentuk menggunakan alat komunikasi yang smart. Yang kalau diukur-ukur, belum ada keperluannya seorang anak menggunakan alat komunikasi smart seperti itu. Anak-anak usia di bawah 17 tahun itu mungkin masih cukup kalau menggunakan hand phone biasa. Tapi bisakah kita, orang dewasa mencegahnya?

Mengapa kemandirian, rasa tangung jawab terhadap barang yang dimilikinya, lahirnya sikap dan perilaku sederhana dalam menggunakan alat komunikasi itu tidak atau belum lahir pada generasi siswa saya? Salah satu penyebabnya, menurut hemat, asumsi, dan pengalaman saya adalah karena pola orangtua dengannya di rumah.

Bagaimana mungkin lahir perilaku sederhana bila di rumah, ayah, ibu, dan anak yang dibahas adalah alat komunikasi smart yang terbaru? Atau bagaimana logikanya lahir anak yang berdaya juang tinggi bila orangtuanya berprinsip: anak saya jangan susah lagi, cukup saya yang pernah hidup susah dulu (?).

Dengan fakta itu dan fakta-fakta lain yang tidak saya ungkap disini itulah maka saya menjadi semakin jelas akan makna kontekstual dari peribahasa: buah jatuh ke pangkalnya.

Jakarta, 23 Nopember 2011.

22 November 2011

Seminar tentang Karakter

Hari itu, Kamis, 17 Nopember 2011, saya bersama 599 guru dan praktisi pendidikan lainnya di Indonesia, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh penyelenggara tentang jumlah dan asal peserta, ikut seminar tentang katakter abad 21. Seminar selama dua hari itu diisi oleh orang-orang yang menjadi pelaku dalam praksis pembelajaran karakter di lembaga yang dikelolanya atau juga orang yang menjadi bagian dari pengampu dalam proses pengembangan siswa untuk berbudiperkerti yang baik.

Salah seorang pengisi seminar itu adalah Thomas Lickona dari negeri paman Sam. Saya berkenalan dengan baliau melalui ide dan untaian pengalaman serta hasil penelitiannya, yang dirangkum dalam bukunya berjudul Educating for Character. Lickona mengisi satu sesi bersama pada Kamis, 17 Nopember yang merupakan hari kedua seminar. Menarik dan menginspirasi sekali apa yang disampaikan oleh Profesor ini. Bukan sesuatu yang mengawang-awang di langit, tetapi hal ihwal yang membumi. Yang menganngkut pembelajaran serta intaraksi kita sebagai guru dengan siswa di sekolah. Atau kita sebagai pengelola sekolah dengan seluruh aktivitas pembelajaran yang terjadi di komunitas sekolah. Terutamanya adalah di sekolah dasar dan menengah serta SMA. Kenyataan ini, jika saya bandingkan dengan profesor pendidikan di Indonesia, kok ngak relafan. Karena guru besar pendidikan di Indonesia hampir rata-rata akan berbicara sesuatu yang bagus dan ideal sekali dalam bentuk konseptual.

Selain Thomas Lickona, yang menyanpaikan bagaimana beliau membelajarkan karakter dí lembaganya, juga para pengisi seminar dari Indonesia. Jadi, selain wawasan tentang bagaimana orang lain atau sekolah lain menerepkan pembelajaran karakter di sekolahnya, kami atau saya khususnya banyak memperoleh inspirasi dari forum tersebut. Tentunya inspirasi yang nantinya dapat menjadi pemantik bagi kami di sekolah dalam mengembangkan program yang sudah kami punya tentang pembelajaran karakter untuk lebih baik dan lebih efektif lagi dí masa depan.


Pembelajaran karakter menjadi penting tidak saja karena secara kebetulan kita sedang dirundung isu demoralitas dalam kehidupan masyarakat, tetapi karena moralitas dan karakter itu sendiri adalah inti dari proses pembelajaran yang sesungguhnya. Iní yang dapat kita petik dari yang disampaikan oleh Muhammad SAW. Bahwa tugas utama beliau diutus ke masyarakat adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak kepada Sang Khalik dan akhlak kepada sesama makhluk.

Dengan demikian, maka kondisi moralitas yang aktual di masyarakat kita sekarang ini, memperteguh dan menebalkan pada kita kembali bahwa pendidikan karakter di sekolah harus menyemai bibit yang unggul akademik yang sekaligus berintegritas moral luhur.

Tantangan Pembelajaran Karakter dí Sekolah

Dalam kegiatan selama dua harí seminar yang saya ikuti tersebut, setidaknya dua bagian besar dalam praktek pembelajaran karakter di sekolah, yang justru dapat menjadi tantangan bagi operasional pelaksanaan pembelajaran. Terdapat dua tantangan yang harus memberikan penyadaran kepada kita bahwa keberhasilan akan pelaksanaan pembelajaran karakter dapat dicapai. Dua bagian tersebut adalah:

1. Persepsi Masyarakat terhadap Hasil Belajar

Persepsi masyarakat terhadap hasil pendidikan di sekolah hingga dewasa ini sebagain besarnya masih terletk kepada kompetensi akademik semata. Pintar dan tidak pintar seorang anak diukur hanya dari nilai rapot akademik. Bahkan jika kita melihatnya lebih detik lagi, kepintaran seorang anak di Indonesia hanya dari beberapa mata pelajaran. Keadanaan ini merupakan tantangan terbesar kita (baca: guru dan sekolah) untuk mengembangkan pendidikan karakter di sekolah. Namun justru dari tantangan itulah kita melihatnya sebagai peluang.

Persepsi tersebut hanya sekedar menjadi tantangan semata jikalau dengan demikian maka guru dan sekolah hanya menjadikan persepsi tersebut sebagai ekspektai satu-satunya. Dan dengan itu maka prosesi interaksi guru dan siswa di sekolah hanya akan menjadi interaksi akademik atau interaksi mengajar saja.

Sedang menjadi peluang jika persepsi dan ekspektasi tersebut dilihat dari sisi kreatif guru dan sekolah dalam melihat interaksi guru-siswa di kelas. Yaitu selain interaksi akademik, mereka juga sedang berinteraksi humanistik. Dan dari sisi inilah sekolah tidak akan kehilangan sisi pencapaian akademik dan sekaligus memperoleh sisi humanisme yang dapat melahirkan inspirasi bagi peserta didiknya.

2. Guru sebagai Pemeran Utama dalam Pembelajaran Karakter

Tantangan yang kedua adalah guru. Yaitu kepada sisi kompetensi seorang guru. Yaitu kompetensi guru dalam 'menuangkan ruh' dalam setiap interaksinya dengan siswa atau dengan peserta didiknya. Kompetensi guru pada sisi ini tergolong unik. Mengingat yang tersedia adalah guru-guru dengan kompetensi mengajar saja dan belum mengajar sekaligus mendidik.

Guru yang memiliki kompetensi 'menuangkan ruh' dalam setiap interaksinya dengan siswa bilamana guru tersebut adalah yang berperan sebagai ethical mentor, sebagai care giver, dan sebagai model (Lickona).

Semoga dengan seminar yang saya ikuti itu, dapat menginspirasi saya pribadi untuk mampu mengampu sebagai pengajar dan juga adalah pendidik bagi peserta didik saya. Amin.

Jakarta, 17-22 Nopember 2011.

21 November 2011

Menjadi Bermartabat itu, Ternyata Pilihan Kita Sendiri

Pagi itu saya harus bicara tentang sopan santu kepada siswa saya ketika saya melihat ada seorang siswa yang batuk tanpa menutupkan tanggan ke mulutnya. Juga ketika seorang siswa yang selalu menyelak saat ada kawan di sebelahnya yang sedang mengemukakan pendapat pada saat pelajaran Matematika berlangsung. Saya harus berhenti menyampaikan materi pelajaran beberapa saat untuk memberikan sedikit pengetahuan perilaku.

Perilaku Norak

Saya katakan perilaku menyelak pembicaraan orang lain dan juga batuk dengan tidak menutup mulut adalah contoh-contoh perilaku norak. Lalu saya memberikan gambaran kepada siswa saya seperti ini; Terbayangkah bilamana ada seorang terhormat, katakanlah seorang pejabat publik, atau pengusaha, atau siapapun yang mempersonifikasikan sebagai orang terhormat sedang memberikan pidato di sebuah forum, lalu teman-temannya yang duduk di deretan kursi paling depan di undangan tersebut menyelak pembicaraan orang tersebut?

Dan jika Anda yang menjadi wartawan yang kebetulan sedang meliput kegiatan tersebut, apa yang terpikir pertama kali di kepala Anda? Kemudian apa yang akan Anda lakukan? Pasti perilaku inti akan menjadi fokus perhatian masyarakat. Bukan sesuatu yang baik tentunya, tetapi justru penyelak itu akan menjadi bulan-bulanan publik karena justru tidak senonohnya.

Demikian juga halnya jika saat berpidato menyampaikan visi dan misinya kepada publik pada saat debat calon kandidat Bupati, lalu tiba-tiba sang calon tersebut batuk dengan tidak menutup mulutnya namun malah mengarahkan mulutnya ke arah pemirsa? Apa reaksi kita?

Dengan memberikan ilustrasi tersebut, saya mengajak siswa saya untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa, se pintar dan bahkan seprestisius apapun seseorang, maka kesopanan akan tetap menjadi bagian yang inheren dalam kehidupan yang bermartabat.

Dari situlah kemudian saya mengajak mereka untuk benar-benar menjadi martabat baik kita sebagai pelajar, sebagai siswa, sebagai guru di sekolah dengan memilih berperilaku baik, sopan, dan menghargai lingkungan. Karena hanya dengan sikap seperti itulah kita sesungguhnya sedang membangun diri sendiri ke arah yang bermartabat dan luhur. Demikian pula sebaliknya. Artinya, untuk menjadi terhormat atau bermartabat itu, merupakan pilihan sadar kita sendiri. Bukan karena orang lain.

Saya berharap, agar pengorbanan saya untuk berhenti menyampaikan materi pelajaran Matematika tersebut memberikan manfaat yang jauh lebih baik. Semoga. Amin.

Jakarta, 21 Nopember 2011.

19 November 2011

Tentang Biaya Pendidikan, Sebuah Refleksi

Semakin tingginya uang sekolah atau biaya pendidikan, menjadi perhatian Wakil Presiden Boediono. Setidaknya ini yang saya baca di sebuah harian online di Jakarta, yang terbit pada Jumat, 18 Nopember 2011. Dengan fenomena itu, maka Pak Wakil Presiden bermaksud melakukan 'pengendalian' atas semakin tingginya biaya pendidikan tersebuta. Berita baik dan menarik perhatian saya, mengingat memang inilah yang menjadi krusial bagi saya, yang menjadi bagian dari pengelola di sebuah sekolah swasta dan memegang amanah masyarakat di Yayasan yang juga mengelola sekolah swasta.

Sebagai pengelola yang bertanggungjawab kepada sisi operasional sebuah sekolah, dimana saya mendapat tugas dan tanggungjawab untuk memimpin sebuah lembaga sekolah swasta di Jakarta Timur, dan kebetulan juga mendapat amanah masyarakat untuk ikut terlibat di lembaga pendidikan, swasta juga, pada posisi yayasan di Jakarta Selatan. Dua posisi yang membuat saya dapat melihat secara gamblang bagaimana sebuah sekolah, khususnya swasta, untuk dapat tumbuh dengan 'sejahtera'. Sehingga, tentang apa yang disampaikan oleh Bapak Wakil Presiden berkenaan dengan 'pengendalian' biaya pendidikan, bagi saya yang total jendral ada di lembaga pendidikan swasta itu, memperoleh kekuatan untuk mengemukakan opini.

Namun bagaimana dan seperti apa bentuk serta konsep Bapak Wakil Presiden atau pemerintah dalam 'mengendalikan' semakin mahalnya biaya pendidikan di Indonesia saat ini, tidak atau setidaknya belum saya temukan penjelasannya. Bukankah sekarang ini Pemerintah juga telah melakukannya untuk pendidikan dasar dalam bentuk Block grant atau juga Bantuan Operasional Sekolah atau BOS? Mungkinkah cara ini sebagai jalan keluarnya? Atau mungkin memperbesar alokasi dananya? Belum tahu. Yang jelas dengan telah diberikannya dana tersebut untuk sekolah, biaya sekolah masih juga dikeluhkan

Uang Sekolah di Sekolah Swasta

Saya kira semua kita tahu bagaimana menghitung dan melaksanakan anggaran pendidikan di sebuah lembaga. Justru bagi saya, ini adalah sisi baru yang baru saya dapat pelajari, atau tepatnya terpaksa saya pelajari sejak saya diberi amanah sebagai kepala sekolah di tingkat sekolah dasar pada tahun 1997 lalu. Persisnya pelajaran membuat dan menyusun anggaran sekolah, mempertahankan mata anggaran yang diusulkan di hadapan manajemen sekolah lainnya, serta finalisasinya bersama Yayasan yang memayungi sekolah kami, mengendalikan anggaran ketika proses pelaksanaan berjalan, serta mempertanggungjawabkan.

Pelajaran baru, karena nyaris seluruh pendapatan di sekolah kami berasal dari masyarakat yang mempercayakan proses pendidikan generasi penerusnya kepada sekolah kami. Dan ini membutuhkan cara menghitung, cara merencanakan, cara mengalokasikan, cara mengelola dengan benar-benar bertumpu kepada efektif, efisien, dan bermakna. Inilah yang kemudian kami mengenalinya sebagai amanah.

Juga pembelajaran baru, karena sebagai kepala sekolah yang sebelumnya adalah guru, saya hanya memperoleh pendidikan formal sebagai pendidik dan bukan sebagai pembuat, perancang, dan pelaksana, serta pengendali anggaran sekolah. Namun pelaran ini sangat saya nikmati. Karena dari sisi ini pula saya menjadi belajar 'melihat' secara lebih dalam dan lebih jauh serta lebih utuh tentang operasional sebuah lembaga atau sebuah sekolah. Cara melihat ini, membawa saya lebih arif dalam menyikapi keinginan para guru untuk membuat kegiatan yang seru bahkan berkualitas pada tahun berjalan yang tidak atau belum tercantum dalam agenda kegiatan siswa atau kegiatan sekolah.

Kearifan cara pandang ini juga akhirnya membuat saya untuk lebih dewasa ketika di bulan Mei, bulan dimana menjelang akhir tahun pelajaran yaitu bulan Juni yang juga adalah merupakan akhir masa anggaran pada tahun pelajaran, usulan untuk membeli alat belajar tidak memperoleh izin dari bendahara sekolah. Kalau Bapak memang membutuhkan alat belajar ini, mengapa tidak Bapak usulkan pada saat tahun pelajaran baru di mulai, atau sekitar bulan Agustus? Mengapa bulan Mei? Bukankan bulan Juni merupakan akhir tahun pelajaran, yang berarti kegiatan siswa di kelas adalah fokus kepada assessment? Begitu alasan bendahara sekolah.

Alasan dan argumentasi ini menjadi dapat dengan mudah saya pahami justru karena saya mengetahui logika anggaran di sekolah. Saya syukuri itu. Dan sekarang ini, pada saat saya saya telah memahami, saya berusaha untuk memahamkan teman-teman tidak saja yang berada di level manajemen, tetapi juga guru kelas untuk melihat anggaran sebagai sumber motivasi baru bagi komunitas untuk proses pembelajaran. Proses keikutsertaan guru tersebut pada tahap awal, akan menjadi informasi dan masukan bagi finalisasi sebuah anggaran pada tahap berikutnya.

Dan kembali kepada biaya pendidikan yang terus menerus tinggi, saya hanya berpikir sederhana, biasakah kita membuat garis demarkasi yang tegas dan solit bahwa kebutuhan dan operasionalisasi lembaga pendidikan terpisah dari operasionalisasi masyarakat tempatnya berada? Jika tidak mungkin, apakah salah jika biaya hidup masyarakat di luar kebutuhan pendidikannya berkorelasi dengan biaya pendidikan itu sendiri? Allahua'lam bi shawab.

Jakarta, 21 Nopember 2011.

17 November 2011

Piring Kotor di Kantin Sekolah

Ada sebuah kebiasaan baik yang terjadi di sekolah saya dulu. Yaitu kebiasaan siapa saja yang selesai makan di kantin dan harus membereskan sisa atau bungkus makanan serta piring kotornya di tempat yang telah disediakan. Untuk sampah tentunya di buang langsung ke tempat sampah yang tersedia di lokasi itu. Dan untuk piring kotornya diletakkan di salah satu meja yang telah ditentukan, yang biasanya di tulis di meja tersebut; piring kotor. Dengan begitu maka meja kantin akan selalu bersih tanpa ada piring kotor. Kabiasaan yang bagus bukan? Kebiasaan ini tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi di warung makan atau restoran. Sejauh pengamatan saya, semua sisa makanan dan segala piring kotornya akan ditinggalkan begitu saja di meja makan setelah pengunjung selesai makan makanannya di kantin sekolah saya. Mungkin juga di sekolah Anda? Saya kira bukan di sekolah Anda, tetapi hanya di sekolah saya. Dan ini menjadi tantangan untuk saya dan teman-teman guru untuk melakukan pembenahan dan sekaligus pengenalan budaya baru tentang tatakrama berbelanja dan makan di kantin sekolah.

Selayaknya kita makan di warung makan atau restoran, maka semua yang sisa makanan atau sampah, dan piring kotor tersebut menjadi tanggung jawab dari pegawai mereka. Di beberapa restoran, malah barang kotor itu akan segera diambil oleh pegawai restoran tatkala terlihat kosong. Tentunya setelah mendapat izin dari pengunjungnya.
Dan ini budaya yang terjadi di dunia warung makan di tempat publik dan rupanya menjalar dan teraplikasi dengan bagus di kantin sekolah. Menilik perilaku pengunjungnya, apa yang terjadi di kantin sekolah dan warung makan tersebut, maka kenyataan itu adalah bentuk kebiasaan yang hidup dan ada. Artinya, siswa belum dibelajarkan bagaimana memiliki rasa tanggung jawab terhadap piring kotor dan pembungkus makanan dari kegiatan makannya. Mereka akan meninggalkan meja makannya dengan segala bentuknya ketika merasa makannya telah selesai.

Berdiskusi Standar Perilaku di Kantin

Langkah pertama untuk perubahan budaya tersebut adalah mengajak pemangku siswa untuk mendiskusikan keadaan piring kotor yang berserak di kantin tersebut. Saya menampilkan kondisi aktual tersebut fdalam bentuk visual. Gambar saya ambil pagi hari ketika selesai jam istirahat pagi dan istirahat makan siang. Tampilan gambar tersebut sebagai bahan diskusi. Saya mengajukan pertanyaan kepada teman-teman guru: Apakah kondisi seperti ini cocok untuk sebuah pembelajaran karakter? Mungkinkah siswa kita ajak untuk menjaga kebersihan kantin sebelum dan sesudah mereka jajan di kantin? Apakah ada yang ingin menggambarkan kondisi kantin yang ideal dari sisi kebersihannya? Bagaimana cara atau langkah apa yang dapat kita lakukan untuk menuju kantin bersih?

Diskusi berlangsung seru. Namun sebelum diskusi berlangsung, saya membagi mereka dalam kelompok-kelompok yang terdiri 4 atau 5 guru setiap kelompoknya. Dan setiap kelompok harus mempresentasikan hasil diskusi tersebut.

Di akhir sesi, kami menyepakati untuk melakukan langkah-langkah edukasi terhadap kebersihan kantin kami. Diantaranya adalah membuat kesepakatan dengan semua guru, pemberitahuan kepada siswa tentang kondisi kantin yang baik dan bersih, pemberitahuan kepada siswa tentang bagaimana memperlakukan piring kotor dan bungkus makanan, menyampaikan program kantin bersih tersebut kepada para pegawai kantin, pengontrolan di lapangan, dan yang terakhir adalah melakukan evaluasi bersama di saat rapat guru.

Inilah lahan pembelajaran kami pada pekan ini. 

Jakarta, 21 Oktober-17 Nopember 2011.

Inginkah Menjadi Terkenal?

Siapa diantara kita yang tidak senang menjadi terkenal? Bahkan, saya bisa menjamin, bila diantara kita yang sekarang ini terinspirasi untuk 'Aku Bisa' dan untuk berani bermimpi, maka menjadi terkenal sangat boleh jadi adalah salah satu dari impian kita itu. Dan itulah yang saya lihat di sepanjang jalan Slipi Cabang Utama di wilayah tempat tinggal Ibu mertua saya. Karena sejak beberapa waktu lalu ada spanduk ukuran 60X90 cm terpasang hampir diseluruh tiang telepon yang ada di sepanjang jalan itu. Spanduk yang memuat foto tokoh (?) dengan kalimat yang merupakan visi 'perjuangannya'. Tokoh yang sebenarnya saya sendiri tidak pernah tahu siapa dia. Namun dengan terpasangnya foto diri, visi perjuangan dalam spanduk mini di tiang listrik tersebut, tak ayal menerbitkan pertanyaan di benak saya tentang siapa tokoh tersebut. Belakangan saya tahu, dan pasti Anda juga tahu, sejak foto diri di spanduk itu nampang di halaman salah satu surat kabar nasional.

Apakah spanduk yang di pasang di jalan raya dekat rumah mertua saya itu hanya satu-satunya spanduk dengan foto diri orang yang itu-itu saja? Ternyata tidak. Di beberapa tempat tampaknya hal memajang foto diri di area publik, apakah di spanduk, di halaman iklan di surat kabar, dan mungkin juga di blog sebagaimana yang saya lakukan ini, adalah salah satu ikhtiar bagi pelakunya untuk menuju terkenal, atau minimal dikenal orang banyak.Apa yang akan kita lakukan bilamana diri kita dikenal oleh orang banyak itu? Semua berpulang kepada orang bersangkutan.

Bagaimana dengan apa yang saya lakkukan dengan diri saya? Apakah terkenal menjadi pencapaian yang harus saya tuju? Mungkin ya. Namun dalam proses kematangan berikutnya, menjadi terkenal ternyata bukan menjadi obsesi saya. Tentang apa yang saya lakukan dengan membuat blog, menjadi bagian dari komunitas jejaring sosial, adalah bentuk komunikasi yang menjadi bagian penting dalam lembaran buku harian saya. Saya belum berpikir di mana ujung dari catatan harian saya yang mayoritas adalah refleksi dan laporan pandangan mata tentang apa yang saya dengar, apa yang saya alami, dan apa yang saya saksikan pada saat saya hidup bersosial di masyarakat.

Sebagai refleksi dan renungan, saya mencoba untuk mengabadikan dalam bentuk lembaran pengalaman. Syukur bila ada diantara Anda membuka dan membaca lembaran buku catatan saya ini. Namun sesungguhnya saya tidak menjadikan jumlah pengunjung laman dan ketenaran menjadi tujuan hakiki.

Karena, tentunya dengan melihat dan membaca bagaimana orang, setelah menjadi terkenal ujian akan menjadi semakin berat. Dan ujian yang paling menakutkan dan sekaligus membahayakan bagi umat manusia dimata Tuhannya adalah keyakinan kepada diri sendiri yang tidak ada batas. Yang pada sisi berikutnya keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri itu melahirkan anomali bahwa saya 'berbeda' dengan yang lainnya. Dengan melihat itu semua, saya berpikir ulang untuk mencetak kartu nama, mempromosikan diri, atau bahkan memasang foto diri dalam spanduk agar orang mengenal saya.

Karena saya juga harus tahu diri, siapa sebenarnya saya ini? Sehingga merasa diri untuk layak terkenal atau bahkan dikenal orang banyak?

Jakarta, 17 Nopember 2011.

21 October 2011

Mendirikan Sekolah

Tulisan ini adalah paparan salah satu pengalaman saya di sekolah. Mungkin ada yang akan melihat berbeda terhadap apa yang saya paparkan. Saya pikir tidak mengapa. Namun yang terpenting dari apa yang saya sampaikan di artikel ini adalah sebuah fragmen, yang mungkin dapat membuat kita sedikit dapat melihat sebuah fakta menjadi lebih holistik. Lebih integral. Karena paparan saya adalah paparan dari sebuah sisi dari fakta yang ada. Semoga.

Beginilah awal mulanya: Datang kepada saya beberapa tahun lalu dua orang. Tujuan kedatangan mereka adalah ingin diskusi tentang pendirian sekolah. Sekolah yang ingin mereka bangun di wilayah Jakarta. Sekolah yang akan menggunakan dua bahasa pengantar, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Tentunya sekolah formal.


Pertemuan Pertama

Kedatangannya itu adalah kedatangannya untuk kali pertama. Dan saya menyambutnya sebagai teman yang memiliki semangat edukatif yang tinggi. Senang sekali mendengar apa yang mereka uraikan kepada saya. Walaupun saya sempat tergaket ketika salah seorang dari mereka menanyakan gaji saya sekarang sebagai pegawai di tempat sekarang. Dan sekaligus mengajak saya untuk bergabung dengan mereka sebagai bagian dari manajemen.

Bukan karena sombong atau jaga image, jika kala itu saya tidak langsung mengiyakan apa yang disampaikannya. Namun untuk pertemuan pertama dalam sebuah paket yang menurut saya besar, dan sekaligus juga saya belum jelas gambarnya, maka mengiyakan ajakannya masih merupakan sesuatu yang hampa. Untuk itu saya menjawabnya dengan mengambang; Nanti dululah Bu, kita diskusikan dulu apa yang sesungguhnya Ibu-Ibu mau. Saya akan bantu Ibu hingga gambar dari cita-cita Ibu telah jelas koordinatnya. Pasti itu. Begitulah tanggapan saya. Dari pertemuan inilah saya akhirnya tahu apa yang diharapkan dari saya oleh mereka. Diskusi pada pertemuan pertama itu berlanjut untuk diskusi berikutnya di pertemuan kedua.

Pertemuan Kedua

Saya merasakan pelaksanaan diskusi kami pada pertemuan kedua lebih serius. Diskusi pada pertemuan ini bermuara kepada langkah-langkah pendirian sebuah lembaga pendidikan formal. Didampingi seorang sekretaris yang membuat catatan hail diskusi selengkap-lengkapnya, saya mencoba memberikan penjelasan dan tahapannya, tentunya setahu saya dan sebagaimana apa yang pernah saya alami selama ini selaku praktisi di sekolah. Diskusi pada pertemuan ini berlangsung seusai saya pulang kerja hingga magrib usai. Seperti diskusi pada pertemuan sebelumnya, pertemuan ini berakhir kepada janjian untuk pelaksanaan diskusi berikutnya yang bertemakan tentang budget. Mereka meminta saya untuk membuat ilustrasi budget yang dibutuhkan untuk sebuah sekolah baru.

Sekali lagi, karena saya praktisi pendidikan, maka untuk perkara budget, sesungguhnya tidak terlalu menguasai. Alhamdulillah, kebisaan saya dalam perkara budget hanya standar saja. Ini pun karena selama ini saya diminta oleh teman-teman di Yayasan dimana sekolah tempat saya berada, untuk juga merumuskan budget sekolah menjelang tengah semester kedua berakhir. Dengan keterampilan seperti itulah saya membuatkan budget sekolah mereka.

Pertemuan Ketiga

Pertemuan ini berlangsung juga setelah beberapa waktu lamanya saya menantikan dan tidak kunjung mendapat undangan untuk datang. Seperti komitmen dari pertemuan sebelumnya, bahwa saya diminta membuat ilustrasi anggaran. Maka dalam diskusi kali ini yang menjadi fokus kita adalah anggaran. Mulai dari tanah untuk lokasi sekolah, tentu dengan pertimbangan daerah mana yang memungkinkan untuk pendirian sekolah serta luas yang dibutuhkan. Bangunan yang diperlukan dengan estimasi isinya. Juga personel yang harus ada pada tahun pertama sekolah tersebut ada selain pengelolanya sendiri.

Dengan melihat kebutuhan yang harus dikeluarkan, sebagaimana yang saya paparkan pada alenia di atas, maka keluarlah angka estimasi yang ternyata tidak murah. Sekedar untuk lokasi saja, jika harga tanahnya saja Rp 2,000,000 per meter, dan luas yang diinginkan lebih kurang 5 ribu meter persegi, maka untuk biaya tanah saja sudah harus mengeluarkan investasi sebesar Rp. 10,000,000,000! Ini tentu saja perlu mempertimbangkan apakah ada tanah seluas itu di wilayah Jakarta dan dengan harga yang semahal itu?

Sebagai pelengkap, saya juga perlu kemukakan kepada mereka tentang jumlah siswa masuk yang dapat ditampung pada setiap tahunnya. Estimasi siswa ini akan berkait langsung dengan pengembalian dana investasi awal yang relatif tidak sedikit plus biaya operasional pendidikan di bulan selanjutnya. Alhasil, saya menutup sesi diskusi kalai itu dengan kalimat: Jangan pernah mencari surplus dari sebuah pendirian sekolah dalam waktu singkat. Karena bukan tempat yang pas dan hanya akan membuat tidak bahagia. Tapi jika memang untuk investasi akhirat, mungkin pintu gerbang terbuka lebar.

Setelah diskusi pada pertemuan itu, saya tidak pernah lagi mendapat undangan untuk diskusi selanjutnya. Saya tidak tahu mengapa undangan diskusi berikut tidak sampai ke saya. Mungkin mereka sedang butuh waktu untuk membuat strategi, atau mungkin ada orang lain lagi yang lebih mampu memberikan bantuan kepadanya.

Dan saya sampai kini berprasangka bahwa pilihan kedua itu yang terjadi. Semoga.

Jakarta, 21 Oktober 2011.

20 October 2011

Mengerjakan Tugas = Belajar

Saya menemukan pemaknaan yang sederhana sekali dari kata belajar. Kesederhanaan itu tentunya saya temukan bukan dari presentasi dari sebuah penelitian yang dihasilkan oleh seorang akademisi. Tetapi justru dari cara pandang yang secara tidak saya sengaja terpotret dalam dialog informal saya dengan komunitas sekolah. Dialog berkenaan dengan aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan sekolah dalam kemasan even spesial.

Even Spesial

Kegiatan ini selalu menjadi bagian integral dalam kegiatan belajar efektif siswa di sekolah. Berlangsung hanya dalam durasi satu pekan, yang juga selalu terjadi di tengah-tengah semester. Dalam even spesial kali itu, kami mengambil tema besarnya sebagai pusat eksplorasi adalah makanan. Oleh karenanya kami memberikan judul kegiatan Pekan Makanan.

Karena spesial, maka dalam satu pekan tersebut, seluruh kegiatan belajar dintegrasikan dalam tema yang sama. Dan guru, jauh hari telah merancangnya. Misalnya di TK B, guru dan siswa telah melakukan perjalanan outing yang kami sebut sebagai field trip, ke sebuah usaha perkebunan yang ada di Parung, Jawa Barat. Di perkebunan itu siswa belajar tentang cara bertanam tanaman yang biasa mereka konsumsi sehari-hari, seperti tanaman kangkung, bayam, dan buah-buahan. Juga cara merawat tanaman, dan tentu saja bagaimana tanaman itu dapat menjadi makanan. Untuk itu, sebelum anak-anak meninggalkan perkebunan tersebut, makan siangnya mereka disuguhi makanan yang berasal dari kebun yang baru saja mereka kunjungi.

Di sekolah, dua pekan setelah field trip itu, ketika even spesial itu berlangsung, siswa kembali belajar tentang makanan yang merupakan hasil olahan dari tanaman. Termasuk kegiatan membuat display kelas dan juga mempertunjukkan hasil belajar tersebut dalam bentuk aksi panggung, yang kami sebut sebagai assembly.

Mengerjakan Tugas = Belajar

Nah pada saat beraktivitas belajar seperti itulah, saya bertanya kepada berbagai pihak yang ada di sekolah tentang tanggapannya terhadap apa yang dilakukannya di kelas atau di sekolah. Tujuan pertanyaan ini tidak lain adalah untuk menemukan apakah kegiatan yang dirancang tersebut cukup memberikan makna bagi mereka. Kepada siswa saya tanyakan bagaimana menurutnya kegiatan spesial yang mereka lakukan. Dengan spontan anak itu menjawab:
  • Asyik Pak. Senang. Kan ngak ada pekerjaan rumah. Belajarnya bermain terus. Coba even spesial terus. Kata siswa saya. Saya tercenung dengan jawaban itu. Ketika saya melihat di kelas, tampak guru memberikan intstruksi tentang apa, mengapa, dan bagaimana mereka harus membuat laporan apresiasi setelah bersama-sama nonton acara 'memasak' di tv yang merupakan hasil rekaman. Rupanya kegiatan ini menarik siswa. Dan memang, selama pekan itu, guru tidak memberikan pekerjaan rumah dari buku paket atau buku pegangangan siswa. Pekerjaan rumah di berikan dalam bentuk berdiskusi dengan orangtua tentang makanan favorit keluarga, membuat susunan menunya, dan mencoba membuatnya, serta menuliskan pengalaman tersebut.
  • Senang Pak Agus, soalnya ngak ada pelajaran. Jadi saya juga ngak repot. Jawab salah satu orangtua siswa atas pertanyaan yang sama.
Dengan dua jawaban tersebut, saya membuat asumsi bahwa yang dimaknai belajar oleh sebagian kita adalah kalau mengerjaan pekerjaan dari buku paket siswa saja. Semua aktivitas di luar itu, kita tidak memaknainya sebagai belajar. Jadi ketika anak membaca buku fiksi, menonton serial di televisi, main game di komputer, ngobrol on line dengan teman, adalah bentuk kegiatan yang bukan belajar. Pemberiartian seperti ini, bagi saya, menyedihkan. Karena arti belajar tersebut adalah arti yang amat sangat dangkal.

Dengan artikel singkat saya ini, saya bermaksud mengajak kita semua untuk berefleksi tentang keyakinan kita masing-masing terhadap apa dan bagaimana belajar itu semestinya dan seharusnya. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari pencapaian tujuan ikhtiar kita di sekolah menjadi salah alamat! Semoga. Amin.

Jakarta, 20 Oktober 2011.

14 October 2011

Satu Nusa Satu Bangsa

Pagi hari itu, saya kembali mendengar lagu nasional berjudul Satu Nusa Satu Bangsa, dari barisan siswa kelas dua di Sekolah Dasar. Lagu itu terasa menggugah rasa nasionalisme saya. Setidaknya karena lagu itu, saya menjadi teringat atau terkoneksi dengan kasus hangat hari ini, yaitu sebuah wilayah yang bernama Camar Bulan di Kalimantan Barat. Sebuah isu yang oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, disebut sebagai: Kita tetap bersyukur, anggaplah isu-isu tersebut sebagai kado ulang tahun ke-66 Tentara Nasional Indonesia." Disaat rapat dengar pendapat dengan Komisi I di DPR, Jumat (14/10/2011). (ttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/14/).

Apa Kaitan Camar Bulan dan Lagu Wajib itu?

Kaitan persisnya saya tidak paham dan pakar dalam hal ini. Namun sebagai guru di sekolah, saya hanya tergelitik dengan dua fakta yang ada pada diri saya pada saat itu. Fakta pertama adalah nyanyian lagu itu yang saya dengar dan saksikan langsung, yang ditampilkan oleh siswa SD sebagai salah satu penampilan mereka di pertunjukkan kelas, yang disaksikan seluruh warga sekolah plus orang tua siswa mereka.

Sedang fakta keduanya adalah sedang hebohnya kasus perbatasan, yang sesungguhnya bukan merupakan kasus kali pertama yang saya dengar atau saya baca di berita. Nah, dari dua fakta itulah saya merasakan betapa sesungguhnya kita semua harus terus menerus memupuk rasa nasionalisme, rasa bela negara. Dan itu hanya dapat kita bangun melalai pendidikan. Dan disinilah letak kaitan itu. Yaitu menjadi bagian dari tugas sayalah untuk menanamkan itu dalam dada siswa yang menjadi amanah saya.

Cinta Tanah Air?

Saya menjadi teringat salah satu dari episode John Pantau di sebuah acara televisi. Sebuah acara yang saya rasakan sebagai pencerah bagi paradoksal perilaku dan cara pikir kita. Dalam episod yang saya masih ingat, dan kebetulan pas dengan apa yang saya tulis dalam artikel ini adalah tentang nasionalisme terhadap cinta produk Indonesia.

Celekanya, John sedang berada di gedung parlemen di Senayan. Dalam tayangan yang saya sendiri lupa kapan disiarkannya itu, John menemui dua tokoh nasional yang menjadi anggota dewan. Kepada dua tokoh tersebut, ia bertanya tentang cinta tanah air. Dan pasti dijawab dengan lancar. Kalau harus diponten, mungkin semuanya akan mendapat nilai istimewa dari gurunya. Tapi giliran John meminta keduanya membuka sepatu, ikat pinggang, dan mengeluarkan dompetnya, baru kelihatan kalau apa yang diponten bagus tadi tidak klop dengan apa yang mereka miliki. Karena ternyata sepatu, dompet, dan ikat pinggang mereka bukan buatan asli Indonesia. Jadi cinta tanah air itu baru sampai pada tahap kata-kata dan belum mendaging dalam hidup. Itulah paradoksal.

Satu Nusa Satu Bangsa

Kembali ke lagu wajib yang dinyanyikan siswa itu, saya tergugah dan bersemangat kembali untuk membelajarkan lagu-lagu wajib nasional yang selama ini kurang berkumandang di atmosfer sekolah. Meski kadang terbersit ragu, apakah siswa dapat memahami apa makna di balik syair lagu-lagu itu? Seperti misalnya arti kosa kata nusa? Apa arti nusa di benak seorang siswa usia 7 atau 8 tahun?

Namun saya harus berani menepis rasa ragu itu dengan terus berkomitmen menyanyikan lagu wajib dengan siswa di sekolah. Dan tentang bagaimana nanti siswa saya menemukan makna di balik syair lagu-lagu yang kami hafalkan, saya percaya proses yang akan membawa mereka pada muara kefahaman. Bukankah anggota parlemen yang ditemui John Pantau di acaranya itu juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa antara hafal dan paham juga masih perlu aplikasi dari sebuah makna yang telah dipahaminya?

Dari situlah optimisme saya selalu lahir. Dan tanpa menunggu lahirnya sebuah generasi yang mencintai tanah air, saya di rumahpun mengajak dan membawa tiga buah hati saya untuk terwujudnya sebuah anak bangsa yang cinta akan tanah tumpah darahnya. Dalam kondisi beruntung atau dalam situasi yang prihatin. Semoga.

Jakarta, 20 Oktober 2011.

12 October 2011

Teman Saya yang Guru, Golongan Ekonomi Lemah?

  • Sekarang golonganmu sudah 2 C Mas? Tanyaku di boncengan motor kepada teman saya yang mengendarai kendaraannya ketika kami melaju di jalan raya di desa Clapar, Bagelen, menuju kota Purworejo. Ini pertanyaan penasaran yang saya ajukan, yang mungkin kurang cocok dengan suasana hatinya pada saat itu. Tetapi dengan pertimbangan bahwa kami adalah sahabat lama yang boleh dibilang dekat, maka saya menganggapnya itu sebagai pertanyaan yang lumrah. Pertanyaan yang biasa.
  • Ya... golongan ekonomi lemah Gus. Jawab sahabat saya dengan nada bergurau tentunya. Saya di boncengan motornya tersenyum. Pintar juga kawan saya ini menemukan kosa kata untuk menggambarkan kondisinya. Dia begitu pas memilih kata yang cocok dengan kondisinya.
Golongan 2 B

Percakapan itu akhirnya membuka tabir bahwa ia sekarang ini baru berada pada posisi golongan 2 B, yang sedang diusulkan untuk meningkat ke golongan 2C. Golongan kepegawaiannya, tergolong sangat rendah bilamana dibandingkan dengan usianya yang telah 47 tahun. betapa tidak, ia lulus Sekolah Pendidikan Guru tahun 1985. Dan semenjak itu ia mengabdi sebagai guru sokwan di sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggalnya, namun baru diangkat sebagai PNS secara resmi pada tahun 2008!

Mengapa ia tidak melanjutkan kuliah sembari menunggu pengangkatan sebagai guru PNS? Jawabannya sederhana: tidak ada biaya. Untuk biaya hidup sepanjang waktu penantian itu saja penuh perjuangan dan pengorbanan. Apalagi dengan beban melanjutkan kuliah. Alhasil, Ijazah SPGnya, plus pengalaman mengajar selama ini, ia langsung masuk dalam golongan 2B dan tidak 2A. Dan itu, sangat ia syukuri.

SK dengan Salah Nama

Sesungguhnya, ia pernah sedikit beruntung saat tahun 1998, berarti sepuluh tahun sebelum SK PNSnya keluar secara resmi tahun 2008 lalu. Namun SK itu terdapat sedikit kesalahan pada namanya. Namanya di SK tahun 1998 itu tidak sama dengan nama yang menjadi identitasnya sebagai guru honor. Namun identitas lainnya sama persis dengan apa yang dimilikinya.

Dan atas saran teman, saudara, dan atasannya, ia mengembalikan SK itu kepada yang berwenang untuk dibuatkan perbaikan. Tapi apa hendak dikata, perbaikan SK yang dimaksudkan tidak pernah kunjung datang meski ia telah berulang kali menyampaikan pertanyaan. Dan gajinyapun tidak pernah keluar.

Hingga akhirnya berujung pula panantiannya untuk mendapatkan SK tahun 2008 itu. Maka sekali lagi, jawabannya atas pertanyaan saya sebagaimana saya kutip dalam awal artikel saya ini benar-benar memberikan gambaran yang jelas dan tegas.

Karena ketika saya berkunjung dan bertamu ke teman saya yang lain, yang terlebih dulu diangkat sebagai guru PNS, baik yang di Jawa atau yang di Sumatera, mereka sudah tidak lagi masuk dalam golongan ekonomi lemah sebagai apa yang dimaksud sahabat saya yang sore ini bersama saya akan berkunjung ke Purworejo untuk sebuah pertemuan temu kangen.

Sebersit tampak menyedihkan. Namun rasa syukur yang dipancarkan sepanjang pertemuan kami itu, justru membuahkan inspirasi tersendiri buat saya yang tinggal di Jakarta sebagai karyawan swasta.

Terima kasih sahabat.

Jakarta, 12 Oktober 2011.

10 October 2011

Berita Duka, Besan Mamak Saya Meninggal

Begitulah berita yang saya dapatkan siang itu, Minggu, 9 Oktober 2011. Berita penting dan sekaligus relatif genting itu datang dari adik saya yang berdomisili di Ciledug, Tangerang, menjelang pukul 14.00. Yaitu berita tentang duka cita.

Berita ini menjadi penting sekali bukan hanya karena yang meninggal memang besan dari Mamak saya, yang juga adalah Ayah Mertua dari adik kandung saya yang tinggal di kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DI Yogyakarta, karena terjatuh.

Tetapi pada saat berita itu, saya bersama dengan istri dan anak sedang duduk di teras kelurahan. Dimana ini jga merupakan suatu kebetulan, mengingat pada hari itu, sekitar pukul 08.00, Pak RT kami memberikan kabar agar warga dapat ikut antri untuk proses e-KTP dengan membawa foto kopi. Juga karena Mamak sedang tidak ada di rumahnya sendiri, tetapi sedang berkunjung di rumah saya di Jakarta. Dan yang lebih penting, Mamak berpikir harus pulang untuk segera bisa bertakziah ke Lendah mengingat jenazah besannya baru akan dikebumikan esok harinya. Yang berarti jika sore ini Mamak ikut Sumber Alam, maka esok hari masih mungkin untuk takziah. Itulah lebih kurangnya nilai penting dari sebuah kabar siang itu.

Sembari menunggu antrian yang kala itu belum jelas berakhirnya, saya bermohon kiranya urusan foto dan sidik jari dari proses e-KTP ini benar0benar memungkinkan untuk saya dan istri mengantar Mamak ke Lebak Bulus. Tentu harus sebelum pukul 17.00 benar-benar telah sampai di terminal antar kota antar provinsi itu.

Dan alhamdulillah, urusan e-KTP, yang di koran banyak dikeluhkan karena lamanya antri, tidak saya alami di siang itu. Ketika pukul 14.30 saya, istri, dan anak mendapat panggilan untuk ikut barisan antri di ruangan, maka pukul 15.00 semua urusan kami dengan pengambilan gambar dan data telah beres. Petugas mengingatkan kami bahwa KTP baru akan jadi sekitar awal Desember 2011. Dan kami pun segera meninggalkan halaman kelurahan.

Perjalanan selanjutnya adalah sesegera mungkin saya mengantar Mamak ke Lebak Bulus. Dan alhamdulillah lagi, bahwa Allah memudahkan perjalanan dan urusan kami pada hari itu. Dan esok paginya, pukul 05.00 dini hari, Mamak telah masuk rumahnya di Purworejo, untuk kemudian bersama tetangga serta adik-adik saya takziah ke besan.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Semoga almarhum besan Mamak saya diampuni dosa dan khilafnya selama mengarungi hidup di dunia, diberikanNya kemudahan urusan dan dilapangkan kuburnya, diberikan tempat yang layak di sisiNya, dan kepada yang ditinggalkan, semoga diberikanNya kekuatan dalam menerima cobaan ini. Amin.

Jakarta, 10 Oktober 2011.