Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 March 2013

Menjadi Komentator

Dalam sebuah kesempatan, saya diajak untuk makan nasi goreng kambing oleh teman-teman di sebuah tempat yang hanya buka menjelang waktu magrib di sebuah tempat nyaman di Jakarta Selatan. Itu bukan kesempatan saya yang pertama kali untuk makan di lokasi tersebut. Sudah beberapa kali. Utamanya ketika saya harus datang untuk berkumpul dengan teman-teman jika ada yang harus didiskusikan. Tentang apa saja. Namun biasanya kami hanya menunggu di ruangan diskusi saja. Bukan seperti saat itu. Kami berlima mendatangi kios nasi goreng kambing itu.

Teman-teman saya ini adalah mereka yang kebetulan sudah mendapat amanah dari unit institusinya masing-masing sebagai atasan. Jadi lebih kurangnya sudah pada jadi bos. Meski berbeda harga dan nama posisi yang disandangnya. Maka saya sebagai  teman dari mereka semua itu, tentu masuk dalam kelompok orang yang berada di luar  pagar. Asyik juga saya mendapat kesempatan makan malam bersama-sama dengan mereka. Sebuah keberuntungan yang menyenangkan dan menghibur.

Dan seperti hari-hari biasanya, warung pinggir jalan dengan tenda knock down tersebut terlalu sibuk melayani langganan yang lebih dulu datang dari pada kami. Sehingga hampir tiga puluh menit kami harus menanti nasi goreng kambing itu datang ke meja kami. Demikian pula dengan pesanan minum.

Pada waktu-waktu menanti itulah berkembang percakapan standar dan fenomental. Tentu ada juga masalah-masalah yang didiskusikan secara informal tersebut juga adalah masalah yang terintegrasi dengan pekerjaan pokok teman-teman saya itu.

Dan sekali lagi, sebagai orang luar saya tentu lebih banyak sebagai orang yang pasif dalam pergulatan obrolan tersebut. Hanya sekali-sekali saya harus menyampaikan pandangan, pendapat, atau mungkin sekedar gagasan, bila itu menjadi apa yang diinginkan teman-teman.

Dan dari materi yang mereka obrolkan dan diskusikan, tidak semua adalah obrolan-obrolan konseptual atau sistematikal terhadap apa yang mereka sedang dan akan kerjakan di unitnya masing-masing. Bahkan tidak jarang apa yang disampaikan adalah hal-hal yang menjadi kewenangannya, namun tidak dapat terselesaikan atau mungkin belum diselesaikan. 

Justru pada isu-isu seperti itulah saya ditariknya oleh teman itu untuk berbagi omongan. Maka dengan mengambil metapora, agar apa yang saya sampaikan tidak menjadi kalimat yang justru menunjuk mereka sebagai pelaku yang seharusnya membereskan apa yang oleh organisasinya belum terlaksana. Karena bukankah mereka adalah kepala di unit kerjanya masing-masing?

Itulah yang saya maksudkan dengan perilaku komentator yang dengan telanjang mereka tampilkan di depan saya. Saya sendiri menjadi bingung. Kalau mereka yang berwenang saja tidak merasakan bahwa tugas itu seharusnya menjadi kewajibannya, apa lagi kalau itu bukan sebagai komentator?

Jakarta, 30 Maret 2013.

No comments: