Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 April 2009

Sepotong Kota Suatu Kenangan


Melintasi sebuah jalan yang telah kita kenal sebelumnya, selalu memberikan makna yang berbeda. Inilah yang saya alami. Tapi gambar ini adalah sepotong sudut kota sebagai kenangan untuk sebuah perjalanan saya (meminjam istilah romantis dari Seno Gumira Ajidarma dalam satu cerita pendeknya yang berjudul: Sepotong Senja untuk Pacarku).

Terutama jalan-jalan dimana telah menjadi saksi bagi kita dalam mengalami pertumbuhan. Beda tempat, beda waktu, tentu jalan-jalan telah mengalami perubahan. Sama seperti kita. Terus tumbuh dan berubah.

Slipi Jakarta, 30 April 2009.

26 April 2009

Contekan, Mencontek dan Dicontek

Tiga kosa di atas adalah kosa kata yang kalau dikaitkan dalam kehidupan kita di Indonesia tidak saja terdapat pada ranah ulangan atau ujian bagi siswa, mahasiswa di sekolah atau di kampus. Tapi mungkin merambah pula dalam kehidupan kita. Ketika mengikuti Senin-Jumat tanggal 20-24 April 2009 pada Ujian Nasional, sayabertanya kepada seorang siswa.
· Ujian ada contekan?
. Ya adalah. Jawab siswa itu ringan saja.
· Bagaimana contekan itu dapat kamu dapatkan?
· Gampang. Kalau teman sudah selesai mengutif , maka teman akan memberikan kepada kita.
Mendengar penuturan siswa tersebut, dengan tanpa sedikitpun bermaksud mengolok-olok, saya terus terang sedikit kaget.
· Lho kok bisa?
· Ya tidak tahu. Yang jelas saat mengerjakan soal ujian, teman ada yang sudah
dapat. Lalu bagi-bagi.
· Kalau begitu, untuk apa kamu belajar jungkir balik dalam menghadapi UN ini?
· Wah Pak, contekan itu bagi saya sebagai cadangan terakhir. Kalau kita benar-benar mentok baru contekan itu pilihannya.
· Kok begitu?
· Itu yang paling benar Pak. Karena ternyata tidak semua contekan itu benar.
· Apa menurutmu implikasi adanya contekan?
· Kalau kita percaya benar dengan contekan tersebut, kita bisa malas. Tapi kalau setengah percaya, kita kadang jadi kurang PD. Sudah tahu jawabannya tapi pingin mencocokkan juga dengan contekan yang beredar. Payah!
Nah ternyata konsep contekan itu bagi siswa yang saya wawancarai hanya dilihat sebagai pilihan kedua atau mungki ketiga. Jadi bukan menjadi patokannya. Mungkin ini karena ia adalah siswa yang berpendirian. Salut juga ada siswa SMA sudah punya ‘integritas diri’ dalam menghadapi contekan.
· Nah kalau mencontek?
· Iya, kalau pada tahap pertama kita sudah keranjingan contekan, maka mencontek menjadi budaya. Percaya diri kosong. Dan malas ada etosnya.
Benar juga. Jika hidup sudah terbelit dengan contekan, maka budaya evaluatif, cita rasa kretaif dan inovatif serta daya cipta akan tumpul sama sekali. Nah kalau ini sudah lagi dalam ranah lembaga, misalnya sekolah yang mencontek sekolah lain, maka lembaga itu secara tidak sadar telah menerapkan budaya cinta pada slogan. Karena komunitas lembaga yang getol mencontek tidak akan terjadi tumbuhnya budaya yang mengakar. Karena mencontek tidak akan memberdayakan akal dan potensi yang dimiliki oleh komunitas lembaga tersebut. Harus disadar bahwa ketika kita mencontek mentah-mentah tanpa landasan konseptual tentang apa yang dicontek, maka sesungguhnya kita baru kenal kulit. Dan karena konsep yang terlihat indah dari kulitnya saja itulah yang disebut dengan budaya slogan.

Kalau dicontek? Dalam konteks institusi, saya memiliki prinsip: Yang pertama mungkin jangan sampai kita menyodorkan diri agar orang lain mencontek kita. Tetapi jika mereka memaksakan diri minta foto kopi apa yang kita miliki, ya sampaikan saja. Jangan juga menjadi pelit sehingga semua ilmu kita simpan rapat dalam file.
Terutama dalam hal kebaikan mancontek dapat saya maknai sebagai meniru. Dan ini yang harus menjadi bagian hidup kita. (Allahu’alam bishawab).

Slipi Palmerah Jakarta Barat, 26 April 2009.

23 April 2009

Manajemen Kelas ala Kondektur Bus


Adakah kaitannya profesi kondektur bus yang sehari-hari menghantarkan dan membawa kita di jalan raya dengan guru yang beraktifitas di sekolah? Nah dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan bahwa ada satu kegiatan yang selalu dilakukan oleh kondektur bus kepada penumpangnya yang wajib diadopsi oleh guru di sekolah. Bahkan oleh manajemen di suatu tempat kepada para kolega dan bawahannya.

Cerita ini berawal ketika saya mendapatkan komplain dari salah seorang orangtua siswa tentang perilaku guru yang kurang mengingatkan siswanya terhadap tugas-tugas yang seharusnya dikumpulkan. 

Singkat cerita, ada guru yang setelah memberikan tugas kepada siswanya serta meminta siswanya untuk mencatat batas akhir tugas atau tenggat waktu tugas tersebut harus dikumpulkan, guru tidak akan pernah lagi mengingatkan siswa selain meminta siswa mengumpulkan tugas tersebut pada hari yang telah ditentukan. Alhasil, ketika hari pengumpulan tugas tiba banyak siswa yang tidak sanggup mengumpulkan tugas. 

Informasi demikian baru diketahui orangtua saat penerimaan rapot. Dan guru yang bersangkutan berkata; “Maaf bu, nilai Karim jelek karena ada dua tugasnya yang belum terkumpul”.

Fakta ini dapat kita baca bahwa;
(1). Guru melihat siswa sebagai pelari yang siap beradu cepat di lintasan lomba lari. Karena menganggap setiap siswa adalah pelari yang siap berpacu, maka tugas guru adalah pencatat skor. Guru bukan pelatih apalagi pembimbing.

(2). Guru melihat dirinya sebagai pemegang otoritas. Oleh karenanya semua diserahkan kepada siswa. Apakah siswa mau kumpulkan tugas atau tidak ini menjadi pilihannya. Jika siswa telah memiliki keterampilan untuk mandiri dan faham konsekuensi, sikap seperti ini bisa diterima. Tetapi jika belum lahir sikap tersebut, maka siapakah yang berkopenten membelajarkannya pada keterampilan tersebut di sekolah? 

Fakta ini menggambarkan dan mengindikasikan bahwa kita sebagai guru kurang memperlihatkan rasa peduli pada siswa. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa kita sebagai guru baru berada pada tataran pengajar dan belum pendidik.

Mari kita lihat bagaimana seorang kondektur bus kota akan meneriakkan nama tempat atau nama halte yang akan segera dilaluinya. Minimal 100 meter sebelum tempat atau halte dimaksud. Tujuannya jelas, agar penumpang bus mempersiapkan diri untuk turun. Kondektur sangat berkepentingan ketika bus berhenti maka penumpang tidak membuang waktu untuk segera turun. 

Nah dengan filosofi inilah semestinya guru menggunakannya untuk siswanya. Selain tugas yang harus dikumpulkan, mengingatkan siswa berkenaan dengan waktu juga menjadi bagian penting dalam manajemen kelas. ketika pelajaran sedang berlangsung, guru selalu mengingatkan waktu yang dimiliki siswa. Masih berapa menit waktu yang ada, tinggal berapa menit lagi waktu habis, dan lain sebagainya.

Pendek kata, dari seorang kondektur bus sekalipun, kita bisa mengambil pelajaran...

Slipi Palmerah Jakarta Barat, 23 April 2009.

Belajar Berkarakter

Bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupannya 80 % ditentukan oleh faktor kecerdasan sosial, sedang kecerdasan intelektual hanya berkontribusi 20 % dalam kesuksesan hidup seseorang. Demikian kesimpulan Goleman.
Sekolah Islam Tugasku sebagai sekolah Islam nasional keagamaan, mencoba mengaplikasi teori ini mengingat teori ini adalah pengejawantahan dari apa yang telah Rasulullah SAW sampaikan dalam haditsnya: Aku diutus di dunia ini tidak lain adalah memperbaikn akhlak.

Artinya Sekolah Islam Tugasku melihat bahwa hasil belajar tidak hanya berupa hasil akademik semata tetapi juga karakter yang mampu membentuk siswa menjadi pribadi yang cerdas akademik dan memiliki integritas emosi dan sosial perilaku yang tinggi. 

Oleh karenanya, sejak empat tahun pelajaran yang lalu kami di sekolah bersama-sama membangun infrastruktur untuk melakukan pembelajaran karakter dalam bentuk intra kurikuler. Daya dan upaya itu telah menelorkan sebuah konsep pembelajaran karakter yang kami sebut sebagai life-skill development atau sering kami singkat menjadi LSD dengan 10 karakter dasar atau sepuluh pilar perilaku. 

Untuk menemukan kesepuluh karakter yang ada dalam LSD tersebut kami berkumpul dan mecoba merumuskan sikap dasar apa saja yang harus dimiliki oleh siswa kami setelah mereka menyelesaikan pembelajaran? Maka hasil curah gagasan dan diskusi serta voting tersebut, kami menentukan 10 karakter. Yaitu (1). tanggung jawab, (2). disiplin, (3). percaya diri, (4). mandiri, (5). kerja sama, (6). (7). Peduli, (8). sopan, (9). hormat dan (10). sabar. 

Tataran setelah infrastruktur terbangun adalah membuat tahapan realisasi. Jangan sampai konsep LSD tersebut hanya menjadi ilmu. Tetapi harus menjadi keyakinan dam amal saleh. Secara sederhana, tataran itu kita uraikan dalam bentuk bagaimana kemudian ke-10 karakter tersebut melekat pada ingatan, pemahaman, aplikasi dan paradigma.

  1. Pada aspek ingatan siswa; bahwa siswa dituntut untuk ingat 10 karakter yang ada. Solusinya adalah senam karakter yang dilakukan siswa setiap pagi saat ikrar bersama.
  2. Dipahamkan; bahwa siswa harus memamahi apa yang dimaksud dengan 10 karakter yang ada memalui pembelajaran.
  3. Diaplikasi dalam hidup; bahwa siswa sebelum mengapliklasi tentu harus tahu bagaimana bentuk aplikasi 10 karakter yang ada dalam hidup mereka dengan cara berdiskusi. Dan,
  4. Berpikir kritis berbasis karakter yang ada; dimana siswa melihat semua fenomena yang ada disekitarnya adalah bentuk pengejawantahan dari 10 karakter melalui diskusi dan analisa dalam setiap laporan kerja siswa.
    Dan kita sepakati bahwa, amanah membelajarakan ke-10 karakter itu adalah amanah bersama untuk semua guru serta komunitas sekolah. Jika ini mampu kita komitmenkan di sekolah, kemudian masyarakat memberikan support, kami yakin bahwa generasi yang lahir nantinya adalah genarasi jujur dan terhormat.
Jakarta Barat, 23 April 2009.

21 April 2009

Politisi dan Rakyat

Politisi adalah mereka yang pada saat sekarang ini sibuk dengan hal ihwal pemilu. Mungkin sebagai pengurus partai politik, mungkin sebagai calon anggota legeslatif, mungkin juga sebagai pengurus partai sekaligus sebagai caleg, mungkin juga mereka yang berada dalam komunitas tim sukses atau tim pemenang pemilu. Sedangkan rakyat adalah mereka yang tidak termasuk dalam golongan yang ada di atas.

Politisi hari ini, tepatnya sebelas hari sesudah pemilu legeslatif, kita menyaksikan di tv dan atau mendengar di radio, berbagai pernyataan mereka berkenaan dengan hasil pemilu yang suaranya belum kelar dihitung oleh KPU. Ada yang menampilkan rasa yakin karena perolehan suaranya sudah mencukupi untuk duduk di bangku dewan. Ada yang masih ragu apakah perhitungan suaranya akan membawanya masuk ke Senayan. Ada yang sedang rajin-rajinnya menggalang koalisi. Bahkan ada juga yang membaca teks Proklamasi asal-asalan karena sedang stres. Ada juga yang sudah di alam baka terkena serangan jantung atau gantung diri.

Sedang rakyat hari ini sebagai penonton. Karena posisi sebagai penonton ada rakyat yang geli melihat politisi yang mencla-mencle. Ada rakyat yang ngenes melihat politisi yang tiba-tiba menjadi gila atau menjadi setengah gila. Ada juga yang geregetan karena panutan yang telah dicontrengnya terlanjur bicara mengancam, ada juga sebel karena caleg memamerkan diri dengan rasa percaya diri yang berlebihan ketika memperkenalkan bahwa dirinya sebagai caleg nomor sekian dari partai anu. 

Ada juga rakyat yang menyesali apa yang telah diperbuatnya. Mereka berpikir mengapa waktu pemilu legeslatif kemarin mereka datang ke TPS dan memberikan suaranya, ketika melihat para politisi setelah selesai pemilu bukannya menjadi baik dan santun namun justru menunjukkan perilaku kehausan yang luar biasa terhadap kursi kekuasaan.

Rakyat adalah mereka yang dibujuk untuk damai saat kampanye, melaksanakan pemilu dengan baik, dan kebingungan saat menghitung suara di TPS serta datang dan menyontrengkan pilihannya.

Politisi menyangka bahwa rakyat tidak akan pernah menonton ketololan sebagian dari tingkah polah mereka. Politisi berpikir bahwa rakyat tidak akan pernah mudeng atas arogansi sikap sosialnya. Politisi sebagaian diantaranya, adalah bodoh atas kebodohannya. Dan bedanya dengan rakyat adalah politisi mempertontonkan semua itu di kasanah publik karena mereka milik publik. Sedang rakyat hanya berperan sebatas sebagai sumber dukungan dan sumber suara. Sesudah itu mereka akan tenggelam tidak bersuara.

Melihat drama pemilu legeslatif kali ini, saya sebagai bagian dari rakyat berpikir; akankah era pemilu dengan sebagian para calegnya dengan model manusia dengan perilaku buruk kali ini akan berulang kembali di lima tahun mendatang? Atau jangan-jangan saya sendirian melihat fenomena ini? Masihkah saya nantinya mendatangi TPS atau mungkin sebagai bagian dari KPPS akan mencontreng? Allahua’lam bi shawab.

Jakarta Barat, 20 April 2009.

Libur atau Dipecat?


Hati-hati dengan lisanmu. Demikian kalimat bijak. Atau ada pepatah dengan maksud yang relatif sama; mulutmu adalah harimaumu. Kata bijak ini mengingatkan kita untuk menjaga bicara. Tentunya setelah menjaga hati.

Menjaga bicara karena kadang kita 'keterusan' ketika menyampaikan sesuatu saat berbicara dengan teman karena begitu bersemangat dan menggebu-gebu. Ditambah oleh dorongan emosi yang menyertainya. Dan dalam situasi seperti ini, sering kita kurang memikirkan apa yang akan dipersepsikan oleh lawan bicara kita terhadap apa yang kita sampaikan. Namun mudah-mudahan pepatah dan kalimat bijak diatas cukup bagi kita untuk menjadi pegangan di masa depan.

Ini pengalaman asli yang pernah saya alami. Ini pula yang selalu memberikan kepada saya alarm untuk lebih berhati-hati. Peristiwanya sendiri telah berlangsung lama. Sudah beberapa tahun yang lalu. Ketika saya sering hadir mengunjungi teman-teman saya yang tengah bekerja.

Saya dapat mengunjungi mereka karena memang pada saat tersebut posisi saya libur. Kadang saat libur tengah semester (mid term break) yang lamanya lima hari kerja, yang setiap tahun pelajarannya ada dua mid term break. Kadang pada saat akhir tahun yang liburnya lebih kurang 4 pekan dengan 15 hari kerja efektif. Atau akhir tahun pelajaran yang liburnya 4 pekan dengan 20 hari kerja efekti bagi pegawai di kantor atau mungkin selisih 10 hari kerja bagi sekolah lain.

Karena seringnya saya libur, dan karena tidak selalu ada kegiatan di rumah sepanjang liburan sekolah, maka mengunjungi teman adalah kegiatan yang menyenangkan. Namun ini pulalah yang menjadikan teman saya berkomentar tidak pada tempatnya.

Ketika saya mengunjungi teman-teman tersebut, ada satu diantara mereka yang bertanya; kok tidak masuk kerja? Saya sampaikan bahwa saya sedang libur. Dan mungkin karena seringnya saya mengunjungi mereka di saat hari kerja, maka tidak salah jika teman tadi bertanya lagi; Libur atau dipecat? Saya tersenyum. Bingung mau jawab apa?

Lebih kurang 6 bulan atau 1 tahun setelah peristiwa itu, saya mendengar kabar bahwa teman saya tersebut dipecat dari lembaga dimana dia selama ini mengabdi, karena ada kekeliruan yang telah dilakukannya. Semoga Allah membukakan pintu maaf. Amien.

Jakarta Timur, 21 April 2009.

18 April 2009

Belajar Menjadi Guru

Sekitar Februari atau Maret 1996, Pak Carl menuliskan sejumlah angka dalam kertas memo yang diberikan kepada saya. Ia menulis itu sebagai penutup interview saya di hadapan Ibu Angi. Secarik kertas dengan tulisan angka tersebut, akhirnya saya tunjukkan kepada istri di rumah.

Dari secarik kertas itulah saya bersama istri berdiskusi tentang perjalanan hidup berikutnya sebagai guru. Setelah 11 tahun mengajar di sekolah Islam favorit di bilangan Jakarta Selatan. Sekolah dengan jumlah siswa yang jauh lebih besar dan dari kalangan yang baik. Sedang sekolah Pak Carl adalah sekolah baru dengan siswa yang masih sedikit. Sebuah sekolah berlabel sekolah unggul pada waktu itu. Sekolah yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah Bahasa Indonesia, yang disampaikan oleh guru dari negara berbahasa ibu Bahasa Inggris.

Empat bulan sesudah itu saya sudah diminta menandatangi kontrak kerja untuk jangka waktu satu tahun. Dan sepanjang satu tahun masa percobaan setelah saya benar-benar bergabung di sekolah tersebut, banyak hal baru yang saya harus pelajari, harus adaptasi dan harus teraplikasi dalam kehidupan saya sebagai guru kelas V di sekolah tersebut.

Dan disepanjang tahun itu pula ruang kelas saya dimasuki oleh supervisor, baik oleh kepala sekolah dan atau executive principal, nyaris dua hari sekali. Baik yang terjadwal atau tidak. Dan setelah kunjungan itu, mereka akan datang pada saya untuk menyampaikan apa yang dia lihat. Semua menjadi bagian penuh warna dalam belajar kembali menjadi guru. Bagian hidup ini yang saya maknai sebagai kuliah aplikatif. Kegiatan ini nantinya saya ketahui sebagai on going professional development.

Beberapa hal baru itu adalah:

1. Belajar bekerjasama dengan teman pararel kelas secara intens. Setiap pekan kami rapat membuat rencana belajar., membahas strategi belajar serta menyiapkan secara bersama perangkat belajar yang diperlukan. Hal baru karena selama 11 tahun menjadi guru kami sesama pararel kelas tidak pernah bertemu untuk bicarakan pelajaran. Kami berjalan masing-masing. Sehingga kemudian saya pahami bahwa rapat adalah bagian dari pengembangan diri.

2. Belajar kembali menjadi guru. Dari mulai paradigma tentang pendidikan, paradigma sebagai guru, bagaimana menggunakan karakter hingga volume suara, bagaimana keterampilan manajemen kelas dan juga bagaimana membuat display kelas mulai dari memotong kertas dan membingkai hasil kerja siswa yang akan kita display. Hal baru karena sebelumnya display bukan menjadi bagian dari tugas saya sebagai guru.

3. Belajar bagaimana kita harus memberikan pengawasan pisik dan pengawasan pedagogik kepada siswa sepanjang siswa berada di lingkungan sekolah. Satu hal baru yang sebelumnya saya tidak miliki. Bahkan pada tataran wacana sekalipun.

4. Belajar bagaimana mengisi waktu selama di sekolah dengan menyiapkan pelajaran, mengajar dan melakukan kegiatan yang tiada putus-putusnya hingga jam kerja usai. Sangat beda dengan sebelumnya dimana ketika mengajar masih ada teman atau saya sendiri yang meninggalkan kelas. Jam kosong guru diisi dengan kegiatan yang tidak berkorelasi dengan kompetensi kita di kelas. Sehingga saya belajar bagaimana menjadi pegawai yang on time dan full time.

5. Karena tantangan yang begitu besar, yang menuntut kematangan, ketekunan, kesungguhan, pemgetahuan dan keterampilan optimal, maka tumbuh keyakinan pada diri saya untuk bangga menjadi guru.

Dari beberapa catatan tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa pada tahapan saya sebagai guru, meski sebelumnya telah 11 tahun berdiri di depan kelas, saya sedang belajar kembali bagaimana menjadi guru. Namun dengan perbedaan paradigma pendidikan di sekolah baru ini, saya harus menanggalkan banyak hal yang hampir menjadi kerak perilaku dan menggantikannya dengan yang baru. Berat, pusing dan butuh ketabahan. Tapi saya merasa tertantang.

Jakarta Barat, 18 April 2009.

Mensyukuri Sejarah Hidup

Menjelang magrib, perjalanan pulang saya naik metro 615 tertahan di depan kantor PLN di perempatan Jalan Trunojoyo Jakarta, dimana kantor Markas Besar Kepolisian RI berada. Sepanjang jalan yang mengitari kantor itu tertutup untuk umum karena dipenuhi oleh kendaraan pemadam kendaraan. Ya, Mabes Polri pada sore menjelang magrib hari itu terbakar.

Peristiwa ini terjadi pada suatu hari di Bulan Januari tahun 1996, jika saya tidak salah. Kepulangan saya ke arah Slipi Jakarta Barat dari mengajar di daerah Cilandak terhenti oleh usaha pemadaman api. Saya lanjutkan perjalanan menyusuri jalan Trunojoyo kearah CSW menuju ke Masjid Al Azhar di Sisingamangaraja untuk menunaikan shalat magrib.

Usai shalat, seorang Bapak menyodorkan sebagian dari koran sorenya kepada saya untuk kita saling membaca. Langit masih gelap menyimpan air hujan yang turun bersamaan peristiwa terbakarnya kantor Polisi tersebut.

Dalam kidmat membaca itu, saya menemukan lowongan guru di sekolah unggul di Bintaro Tangerang. Dan tanpa berpikir panjang saya menuliskan alamat surat sekolah itu di kartu nama yang ada di dalam dompet dan mengingat persyaratan yang dibutuhkan.

Dua bulan berikutnya, saya sudah mulai menjalani proses wawancara untuk kemudian mendapatkan kesempatan menjadi bagian dari sebuah sekolah yang menjadi universitas bagi karier saya berikutnya di bidang pendidikan. Sebuah kesempatan yang tidak semua orang dapat memilikinya. Saya bersyukur atas perjalanan hidup yang telah menjadi sejarah ini.

Bersyukur karena perjalanan saya pulang ke rumah harus terhenti di Jalan Trunojoyo. Bersyukur karena saya telah mampir untuk menunaikan Shalat Magrib di Masjid Al Azhar. Bersyukur saya bertemu dengan seorang Bapak yang merelakan sebagian dari korannya untuk saya baca. Bersyukur telah menjadi bagian dari guru di sekolah yang pada sejak tahun 1996 telah menjadi sekolah yang 'beda', meski saya meninggalkan sekolah itu sejak akhir 2003. untuk melanjutkan perjalan berikutnya. Terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi pada pertumbuhan saya. Semoga ini menjadi amal jariah. Amien.

Jakarta Selatan, 18 April 2009.

15 April 2009

Sisi Lain, Kita dalam Facebook

Ya benar. Ini adalah sisi lain yang ada dalam facebook. Maksudnya mungkin adalah beberapa implikasi dari para pengguna jejaring sosial ini yang bisa jadi diluar kesadaran si pelaku. Maksudnya lagi, pengguna facebook itu kadang karena sedang asyiknya, sampai-sampai efek samping yang mungkin akan muncul tidak dia sendiri sadari.

Akibat paling sering dan maklumi adalah betapa orang ketika sedang OL menjadi lupa sekelilingnya. Kehilangan kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya inilah yang oleh orang diistilahkan sebagai autis. Saya sendiri kurang setuju dengan istilah ini karena jika istilah ini yang kita gunakan saya merasa bahwa kita sedang merendahkan para penyandang autis. Dan saya mengusulkan dengan istilah lain yaitu egois! Bayangkan, di sekolah saat menonton anaknya yang sedang perform, saya melihat seorang bapak justru asyik pencet-pencet bb-nya. La anaknya yang sedang menyanyi dilihat juga tidak?

Perilaku menyimpang lainnya yang juga muncul adalah, ngomongin orang, yang juga sebagai teman di jejaringnya, dengan orang lain. Dan lebih ajaib lagi bahwa orang yang diajar 'ngrasani' tersebut kok ya nyambung dan manas-manasin! Saya sendiri jadi bingung, apakah orang yang sedang ngomongin orang lain ini 'mudeng' apa tidak kok sampai hati melakukan hal senonoh tersebut? Saya khawatir, jangan-jangan karena lagi keranjingan facebook maka ranah perilaku menjadi terjadi penyimpangan?

Terlebih lagi ada seseorang dengan bangganya menguraikan 'dosa' orang lain dalam facebook-nya. Dan yang justru sangat mengherankan buat saya adalah, irama bahasa yang digunakan seolah menyiratkan kebanggaan atas apa yang telah berhasil di kemukakan. Lalu saya mikir lagi, apakah karena dia selama ini tidak mungkin atau mungkin tidak berani menyampaikan secara langsung maka facebook dia gunakan sebagai sarananya? Saya jadi ingat dengan peribahasa Jawa: Ajining diri ono ing lathi (martabat atau harga diri seseorang tergantung dari lisannya).

Dan dari sedikit pengalaman ini, dunia facebook, telah menampilkan karakter lain dari sisi kita sebagai sahabat dalam dunia nyata dan sehari-hari. Facebook seolah telah menyulap sebagian dari kita yang berimajinasi menjadi seorang selebritis yang lupa diri dan berpikir pendek. Allahu'alam..

Tebet Jakarta Selatan, 15 April 2009.

14 April 2009

Bunga Anggrek Tiga Warna


Siang hari ini Selasa tanggal 14 April 2009 sepulang dari mengikuti seminar tentang Berinternet yang Aman yang disampaikan oleh Roy Suryo di Klub Kelapa Gading, yang diorganisir oleh pendekar dari Pengurus POMG SD Islam TUGASKU, saya mendapati satu pot bunga anggrek indah di meja tamu saya. Semula saya menduga bahwa bunga anggrek cantik ini mungkin salah alamat atau mungkin orang lain sedang menitipkan kepada saya atau menitip menyimpan di meja saya.

Sembari mempersilahkan tamu yang saya undang, tamu yang domisili di selatan Jakarta yang saya paksa mampir di kampus tercinta saya, saya mengambil gunting di laci meja saya yang memang tak pernah saya kunci. Saya menggunting ujung surat yang menempel di tangkai bunga anggrek jelita tersebut. Membacanya dan benar saja dugaan saya. Bunga anggrek tiga warna tersebut memang untuk saya!

Dikirim oleh Yayasan TUGASKU yang ditandatangani oleh Pendiri atau Pembina, Pengawas dan Ketua Pengurus Yayasan TUGASKU. Sebagai tanda dan sekaligus ucapan selamat kepada hari jadi saya. Yang dalam KTP dan seluruh dokumen yang saya punya, saya terlahir pada tanggal 10 April. Ini merupakan penghargaan buat saya. Sebelumnya, saya juga mendapat ucapan selamat ulang tahun dari mailing list www.purworejo-berirama@yahoogroups.com.

Namun demikian saya sedikit merasa tidak enak. Karena sebenarnya kelahiran saya di bumi Indonesia, tepatnya di kota Metro, Lampung Tengah, adalah pada tanggal 21 Agustus. (Saya mohon anda membaca juga tentang profile saya. Sehingga kerancuan tentang tanggal lahir saya dapat anda fahami)

Meski demikian, saya berterima kasih sekali kepada Ibu RZ Abidin, Ibu Almitra I Farid dan Bapak Reza Abidin yang telah menyampaikan bunga anggrek tiga warna atas hari ulang tahun saya. Terima kasih atas perhatiannya kepada saya. Semoga Allah mengabulkan doa yang telah Ibu-Ibu dan Bapak panjatkan untuk saya. Amien.

Jakarta Barat, 14 April 2009.

13 April 2009

Bird View

Saya bertanya kepada orang seberang, tentang bagaimana Polisi menguraikan kemacetan di negaranya sono. Dia cerita kalau Polisi menggunakan heli dan berputar-putar di persimpangan yang terkunci dan terlanjur macet. Sang Pilot akan memberikan kabar kepada teman yang ada di bawah, jalan mana yang dapat menjadi pembuangan atus kendaraan. Karena teman di bawah sangat boleh jadi tidak mengetahui arus lalu linta yang masih kosong dan yang sudah macet secara menyeluruh di sebuah wilayah. Sedang teman yang ada di atas jelas sekali melihat kemungkinan-kemungkinan sebagai alternatif melancarkan arus lalu lintas.

Nah oleh karenanya, cara atau paradigma tersebut banyak disebut sebagai cara berpikir holistik atau bird view. Mungkin masih ada nama lain yang saya tidak tahu. Lawan dari prinsip berpikir tersebut adalah kaca mata kuda. Dimana kita akan menjadi cepat memberikan kesimpulan terhadap satu permasalahan yang kebetulan hadir di hadapan kita meski tahap eksplorasi informasi belum kita lakukan. Sehingga jika terdapat satu opini yang menyertai masalah tersebut, maka serta merta kita membuat kesimpulan. Dalam sebuah Editorialnya, Media Indonesia menyebutkan fenomena ini dengan istilah cara berpikir pendek. Edotorial ini dibuat untuk menyikapi pola kerja KPU yang mudah berubah beberapa waktu lalu.

Bagaimana di Sekolah?

Misalnya saja ketika kami di sekolah menerima beberapa informasi yang berkenaan dengan kinerja siswa kita dibandingkan dengan siswa yang belajar di sekolah lain. Setting dari obyek yang dibedakan tersebut adalah tempat belajar tambahan yang sekarang marak dengan sebutan bimbingan belajar. Nah, informasi yang sampai kepada kita adalah betapa siswa kita yang ikut dalam bimbingan belajar tersebut berada dalam tempat yang ada di bagian bawah. Oleh karenanya kita mendapati masukan bahwa sekolah kita kurang baik?

11 April 2009

Pemenang dan Pekalah


Tulisan ini berkait langsung dengan Pemilu 9 April 2009 yang baru saja barakhir. Ya, terutama tentang bagaimana calon legeslator DPR dan DPRD yang nama atau fotonya terdapat pada lembar surat suara. Hari ini, atau bahkan ada yang pada tanggal 9 April 2009 sore hari, mereka yang tidak atau menurut perkiraan sementara mereka tidak bakal lolos menjadi shok atau bahkan sudah ada yang meninggal dunia. Seperti yang menimpa salah satu caleg di Bali. Juga caleg yang ada di Cirebon yang harus mendatangi 'orang pintar' karena bernasib hampir sama dengan caleg yang telah mendahuluinya yang ada di Bali tersebut.

Fenomena ini menurut saya terjadi karena paradigma berpikir kita, yang merupakan hasil atau produk pendidikan kita selama ini, hanya menyiapkan diri untuk siap menang dan tidak atau setidaknya kurang menyiapkan diri bagaimana kalau kalah.

Indikator dari fenomena itu antara lain adalah sebagai berikut: Caleg tidak memperduliakan kendaraan apa yang akan dijadikan sebagai pengantarnya menuju gedung terhormat. Dengan demikian maka mereka beranggapan apa saja kendaraannya sangat boleh jadi 'memungkinkan' baginya untuk menuju sebagai aleg. Ketidak matangan dalam memilih kendaraan (partai politik) tersebut memang banyak penyebabnya. Mungkin karena dia tergesa-gesa dalam menentukan kendaraan karena terjepit oleh tenggat waktu, juga bisa karena memang itulah kendaraan yang sesuai dengan kapasitas si caleg sendiri. Jadi ada faktor internal dan eksternal.

Caleg model seperti ini, ditambah optimesme tanpa perhitungan atau kalkulasi menang-kalah yang terlanjur telah menggunung merupakan bahan dasar bagi tumbuh suburnya sikap hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ketika modal telah keluar dan ketika saat perhitungan surat suara berakhir dan mengetahui bahwa TPS yang ada dimana dia ikut menyumbangkan suaranya tidak sesuai dengan hitungannya, ia akan menjadi drop dan bahkan bisa linglung.

Bagaimana siap untuk menjadi pekalah, ini kan TPS dimana dia tinggal bersama tetangga. Dan dengan ikhtiar yang dia telah lakukan selama sebelum hari pencontrengan, daftar nama tetangga yang 'diduga' akan memberikan suara kepadanya telah dihitung tetapi ketika surat suara selesai dibuka dan mendapati suara untuknya jauuuuuuh dari apa yang telah didaftar?

Apa kontribusi Pendidikan?

Kontribusi terbesarnya adalah menyiapkan generasi sebagai individu yang sadar sepenuhnya sebagai makhluk dalam konteks
sosial. Artinya, pembelajaran dengan metodologi pengembangan keterampilan sosial sangat memiliki peran dalam menyadarkan bahwa kehidupan sosial itu menuntut kita menjadi bagian yang ada di dalamnya. Kita tidak harus selalu di atas atau di tengah atau di bawah. Kita akan dinamis dalam konstelasi tersebut. Pertanyaannya adalah: apakah metodologi ini yang banyak digunakan di masyarakat persekolahan kita? Bagaimana siswa belajar menjadi yang di atas, di tengan atau di bawah jika yang kita gunakan hamoir selalu ceramah?

Saya akan memberikan satu contoh misalnya saja ketika siswa bermain berkelompok bersama kelasnya. Maka diawal akan didahului aturan main, cara main dan komitmen. Saat bermain, akan melakukannya dengan penuh sportifitas. Dan ketika berakhir akan mengapresiasi kepada teman secara positif baik yang menang kepada yang kalah atau yang kalah kepada yang menang.

Ini adalah catatan kecil dari saya tentang fenomena caleg yang hanya siap menang dan tidak siap kalah.

Jakarta Selatan, 11 April 2009.

06 April 2009

Menjadi Mantan

Menjadi mantan maksudnya adalah pernah menjadi sesuatu. Agar mempersempit masalah, saya akan memberikan contoh di lembaga pendidikan. Misalnya saja mantan kepala sekolah, artinya pernah menjadi kepala sekolah dan sekarang tidak lagi. Tidak peduli apakah sekarang saya yang mantan ini mendapat jabatan baru yang lebih tinggi atau sebaliknya, kembali menjadi guru.

Tulisan ini ingin melihat betapa seorang mantan itu memiliki implikasi dan sekaligus konsekuensi. Misalnya saja saya adalah mantan pegawai di lembaga B. Dan karena lembaga B adalah lembaga pendidikan ternama di kota Jakarta, maka sangat boleh jadi saya terdongkrak harkat dan martabatnya. Begitu juga ketika saya adalah mantan kepala atau wakil kepala sekolah dan sekarang kebetulan tidak lagi memiliki jabatan struktural apapun di lembaga saya, maka saya tetap harus jaga harkat dan martabat saya. Karena orang telah terlanjut melihat saya tidak saja pada saat saya berada pada posisi apa yang pernah saya pegang. TDan itu telah melekat dan menjadi barometer tentang saya. Oleh karenanya saya wajib memegang harkat dan martabat saya sebagai kepala sekolah.

Coba saja saya yang mantan ini tiba-tiba pada suatu hari bicara negatif tentang lembaga atau orang yang menggantikan saya. Pasti orang bukan melihat saya dari kaca mata positif tetapi justru melihatnya dari kaca mata negatif. "Lho, selama ini Pak Agus ngapain bercokol di lembaga Anu. Kok baru sekarang bicara. Baru insyaf atau punya agenda tersembunyi?" kurang lebih begitulah apa yang akan disampaikan orang tentang saya. "Mantan wakil kepala sekolah kok ngak ada bekasnya ya..."

Jadi, berat ya menjadi mantan?

Maka salutlah saya kepada para mantan yang tetap memiliki rasa kontribusi yang tidak diragukan. Menyampaikan sesuatu yang kurang yang terjadi di lingkungannya dengan bahasa yang santun. Tetap menjaga jalinan silaturahim. Tetap memberikan dukungan moril dalam bentuk motivasi untuk terus maju. Dan menurut saya, hal itulah yang dapat dirasakan dan dimaknai sebagai bagian dari menjaga martabat diri.

Jakarta, 6 April 2009.