Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

26 April 2009

Contekan, Mencontek dan Dicontek

Tiga kosa di atas adalah kosa kata yang kalau dikaitkan dalam kehidupan kita di Indonesia tidak saja terdapat pada ranah ulangan atau ujian bagi siswa, mahasiswa di sekolah atau di kampus. Tapi mungkin merambah pula dalam kehidupan kita. Ketika mengikuti Senin-Jumat tanggal 20-24 April 2009 pada Ujian Nasional, sayabertanya kepada seorang siswa.
· Ujian ada contekan?
. Ya adalah. Jawab siswa itu ringan saja.
· Bagaimana contekan itu dapat kamu dapatkan?
· Gampang. Kalau teman sudah selesai mengutif , maka teman akan memberikan kepada kita.
Mendengar penuturan siswa tersebut, dengan tanpa sedikitpun bermaksud mengolok-olok, saya terus terang sedikit kaget.
· Lho kok bisa?
· Ya tidak tahu. Yang jelas saat mengerjakan soal ujian, teman ada yang sudah
dapat. Lalu bagi-bagi.
· Kalau begitu, untuk apa kamu belajar jungkir balik dalam menghadapi UN ini?
· Wah Pak, contekan itu bagi saya sebagai cadangan terakhir. Kalau kita benar-benar mentok baru contekan itu pilihannya.
· Kok begitu?
· Itu yang paling benar Pak. Karena ternyata tidak semua contekan itu benar.
· Apa menurutmu implikasi adanya contekan?
· Kalau kita percaya benar dengan contekan tersebut, kita bisa malas. Tapi kalau setengah percaya, kita kadang jadi kurang PD. Sudah tahu jawabannya tapi pingin mencocokkan juga dengan contekan yang beredar. Payah!
Nah ternyata konsep contekan itu bagi siswa yang saya wawancarai hanya dilihat sebagai pilihan kedua atau mungki ketiga. Jadi bukan menjadi patokannya. Mungkin ini karena ia adalah siswa yang berpendirian. Salut juga ada siswa SMA sudah punya ‘integritas diri’ dalam menghadapi contekan.
· Nah kalau mencontek?
· Iya, kalau pada tahap pertama kita sudah keranjingan contekan, maka mencontek menjadi budaya. Percaya diri kosong. Dan malas ada etosnya.
Benar juga. Jika hidup sudah terbelit dengan contekan, maka budaya evaluatif, cita rasa kretaif dan inovatif serta daya cipta akan tumpul sama sekali. Nah kalau ini sudah lagi dalam ranah lembaga, misalnya sekolah yang mencontek sekolah lain, maka lembaga itu secara tidak sadar telah menerapkan budaya cinta pada slogan. Karena komunitas lembaga yang getol mencontek tidak akan terjadi tumbuhnya budaya yang mengakar. Karena mencontek tidak akan memberdayakan akal dan potensi yang dimiliki oleh komunitas lembaga tersebut. Harus disadar bahwa ketika kita mencontek mentah-mentah tanpa landasan konseptual tentang apa yang dicontek, maka sesungguhnya kita baru kenal kulit. Dan karena konsep yang terlihat indah dari kulitnya saja itulah yang disebut dengan budaya slogan.

Kalau dicontek? Dalam konteks institusi, saya memiliki prinsip: Yang pertama mungkin jangan sampai kita menyodorkan diri agar orang lain mencontek kita. Tetapi jika mereka memaksakan diri minta foto kopi apa yang kita miliki, ya sampaikan saja. Jangan juga menjadi pelit sehingga semua ilmu kita simpan rapat dalam file.
Terutama dalam hal kebaikan mancontek dapat saya maknai sebagai meniru. Dan ini yang harus menjadi bagian hidup kita. (Allahu’alam bishawab).

Slipi Palmerah Jakarta Barat, 26 April 2009.

No comments: