Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

18 April 2009

Belajar Menjadi Guru

Sekitar Februari atau Maret 1996, Pak Carl menuliskan sejumlah angka dalam kertas memo yang diberikan kepada saya. Ia menulis itu sebagai penutup interview saya di hadapan Ibu Angi. Secarik kertas dengan tulisan angka tersebut, akhirnya saya tunjukkan kepada istri di rumah.

Dari secarik kertas itulah saya bersama istri berdiskusi tentang perjalanan hidup berikutnya sebagai guru. Setelah 11 tahun mengajar di sekolah Islam favorit di bilangan Jakarta Selatan. Sekolah dengan jumlah siswa yang jauh lebih besar dan dari kalangan yang baik. Sedang sekolah Pak Carl adalah sekolah baru dengan siswa yang masih sedikit. Sebuah sekolah berlabel sekolah unggul pada waktu itu. Sekolah yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah Bahasa Indonesia, yang disampaikan oleh guru dari negara berbahasa ibu Bahasa Inggris.

Empat bulan sesudah itu saya sudah diminta menandatangi kontrak kerja untuk jangka waktu satu tahun. Dan sepanjang satu tahun masa percobaan setelah saya benar-benar bergabung di sekolah tersebut, banyak hal baru yang saya harus pelajari, harus adaptasi dan harus teraplikasi dalam kehidupan saya sebagai guru kelas V di sekolah tersebut.

Dan disepanjang tahun itu pula ruang kelas saya dimasuki oleh supervisor, baik oleh kepala sekolah dan atau executive principal, nyaris dua hari sekali. Baik yang terjadwal atau tidak. Dan setelah kunjungan itu, mereka akan datang pada saya untuk menyampaikan apa yang dia lihat. Semua menjadi bagian penuh warna dalam belajar kembali menjadi guru. Bagian hidup ini yang saya maknai sebagai kuliah aplikatif. Kegiatan ini nantinya saya ketahui sebagai on going professional development.

Beberapa hal baru itu adalah:

1. Belajar bekerjasama dengan teman pararel kelas secara intens. Setiap pekan kami rapat membuat rencana belajar., membahas strategi belajar serta menyiapkan secara bersama perangkat belajar yang diperlukan. Hal baru karena selama 11 tahun menjadi guru kami sesama pararel kelas tidak pernah bertemu untuk bicarakan pelajaran. Kami berjalan masing-masing. Sehingga kemudian saya pahami bahwa rapat adalah bagian dari pengembangan diri.

2. Belajar kembali menjadi guru. Dari mulai paradigma tentang pendidikan, paradigma sebagai guru, bagaimana menggunakan karakter hingga volume suara, bagaimana keterampilan manajemen kelas dan juga bagaimana membuat display kelas mulai dari memotong kertas dan membingkai hasil kerja siswa yang akan kita display. Hal baru karena sebelumnya display bukan menjadi bagian dari tugas saya sebagai guru.

3. Belajar bagaimana kita harus memberikan pengawasan pisik dan pengawasan pedagogik kepada siswa sepanjang siswa berada di lingkungan sekolah. Satu hal baru yang sebelumnya saya tidak miliki. Bahkan pada tataran wacana sekalipun.

4. Belajar bagaimana mengisi waktu selama di sekolah dengan menyiapkan pelajaran, mengajar dan melakukan kegiatan yang tiada putus-putusnya hingga jam kerja usai. Sangat beda dengan sebelumnya dimana ketika mengajar masih ada teman atau saya sendiri yang meninggalkan kelas. Jam kosong guru diisi dengan kegiatan yang tidak berkorelasi dengan kompetensi kita di kelas. Sehingga saya belajar bagaimana menjadi pegawai yang on time dan full time.

5. Karena tantangan yang begitu besar, yang menuntut kematangan, ketekunan, kesungguhan, pemgetahuan dan keterampilan optimal, maka tumbuh keyakinan pada diri saya untuk bangga menjadi guru.

Dari beberapa catatan tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa pada tahapan saya sebagai guru, meski sebelumnya telah 11 tahun berdiri di depan kelas, saya sedang belajar kembali bagaimana menjadi guru. Namun dengan perbedaan paradigma pendidikan di sekolah baru ini, saya harus menanggalkan banyak hal yang hampir menjadi kerak perilaku dan menggantikannya dengan yang baru. Berat, pusing dan butuh ketabahan. Tapi saya merasa tertantang.

Jakarta Barat, 18 April 2009.

3 comments:

Dita Santyoso said...

Subhanallah, tulisan ini bagus sekali. Menggugah hati saya dan benar-benar merasa : GW BANGET! Saya juga adalah orang yang mencintai perubahan dan memiliki misi untuk terus belajar, di manapun kita berada.

Profesi guru adalah tantangan, masa depan...bukan sekedar batu loncatan untuk mendapat pekerjaan di perusahaan atau karena kontrak kerja tidak diteruskan di suatu perusahaan.

Profesi guru adalah amanah, tanggungjawab yang berat terhadap hidup para peserta didik, hidup pendidik sendiri.

Terus berkembang dan berkembang. Karena pendidikan tidak pernah berhenti sampai di sini. Kita harus berkembang, terutama untuk memajukan umat muslim! Allahu Akbar!

Winy said...

saya juga lagi belajar jadi guru nih pak.... tapi aspek2nya beda sama yang bapak pelajari :)

Ahmad Pranggono said...

menjadi guru memang pilihan.. tapi mengajar adalah kewajiban, mengajar dengan baik adalah pilihan, tapi mengajar dengan ikhlas adalah kewajiban....
terkadang kita hidup di hari esok, dengan selalu berucap, 'besok saya akan lebih baik lagi, besok saya akan akan mengajarkan a, b, c...' akan tetapi terlenakan bahwa besok mungkin takkan pernah menghampiri kita...
maka belajar tahunan adalah hal yang patut disyukuri, termasuk yang dialami pak agus yang sudah menemukan titik kulminasi pencerahannya setelah 11 tahun melanglang buana 'mencari hidayah'. dan ternyata ketemu dengan gaya pak Carl...
terima kasih, dengan cerita perjalannya, yang berarti saya tidak mesti harus menjalani belasan tahun untuk mengetahui. mudah-mudahan juga bisa memahami dan menyelami. supaya bisa hidup hari ini, saat ini dan detik ini. alhmadulillah