Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

04 January 2009

Kepribadian yang Integritas

Penulis masih ingat, sebagai kaum urban, ketika merayakan Idul Fitri di kampung halaman bersama keluarga besar , kami semua bertemu an saling berjabat tangan sesma tetangga Setelah dan selama hari Id itu. Dan kami akan bertemu dengan siapa saja yang dulu teman main tetapi hanya bertemu pada saat bersama-sama mudik.

Tetapi bukan situasi mudik yang akan penulis kemukakan di sini melainkan beberapa sikap pemudik itu, yang sekaligus juga tetangga penulis sendiri, bahkan diantaranya teman main saat kecil. Diantara mereka ad yang tiba-tiba berlagak sebagai orang kota yang ’maju’. Seperti menggunakan bahasa Betawi (bukan Bahasa Indonesia) ketika kita berkumpul di sore hari di tepi lapangan desa sembari menonton para remaja berman sepak bola atau bola volley. Penulis kurang tahu apa motivasinya secara persis. Namn kalu dapat penulis tebak, sepertinya mereka itu ingin menunjukkan bahwa mereka ’telah’ memiliki kepribadian plus dibandingkan teman-temnnya yang tetap tinggal di desa. Tidak peduli bila di kota pun mereka baru sebagai ’pegawai rendahan’. Mereka tidak menadari bahwa perilaku mreka di pandang oleh temannya yang masih tinggal di desa sebagai sikap yang ’sok’ dan ’kemanjon’. Yaitu sikap yang merasa diri telah berada di ’garis depan’ dalam tahap perubahan, padahal tetap saja masih ’ndesa’. Ini karena ketiadaan integritas dalam bertingkahlaku.

Lain teman di desa, lain pula dengan teman mengajar di sekolah. Di suatu lembaga, dimana penulis adalah menjadi bagian dari padanya, karakter yang sama juga bergelayut pada sebagian kecil teman penulis. Sikap itu timbul seperti ketika seorang pegawai diterima di lembaga tersebut yang kebetulan kepada para pegawai tersebut diberikan fasilitas kendaraan jemputan, maka pagawai-pegawai yang sebelumnya datang dan pergi kantor menggunakan kendaraan umum tidak perlu repot lag untuk mengejar-ngejar kendaraan tersebut. Cukup mereka menunggu di suatu tempat yang telah disepakati untuk kemudian kendaraan jemputan tersebut menghampirinya. Namun kemudahan tersebut menjadikan beberapa mereka ’manja’.

Suatu hari datanglah seorang kepada penulis yang kebetulan diminta lembaga untuk menjadi koordinator dari kendaraan jemputan tersebut, dengan bahasa yang kurang terkontrol mengadukan tentang matinya AC kendaraan. Informasi ini segera penulis komunikasikan kepada pengelola jemputan untuk kemudian segera mendapatkan tanggapan. Pengelola segera merespon untuk secepatnya memperbaiki sehinga pada penggunaan berikut AC telah berfungsi kembali. Namun pengelola juga memberikan informasi kepada penulis bahwa; ”Karyawan Bapak sering sekali meminta Driver kami untuk mengantarkan keperluan pribadi karyawan tersebut seperti mampir ke ATM atau sekedar minta di drop pada lokasi yang sesungguhnya bukan rutenya.” Penulispun segera mengecek kebenaran informasi tersebut kepada penumpang lain yang satu kendaraan. Dari informasi tersebut penulis mengambil kesimpulan untuk segera memberitahukan kepada seluruh pemakai kendaraan jemputan agar tidak memakai fasilitas bersama selayaknya fasilitas pribadi.

Dibanding dengan teman yang ketemu saat penulis pulang kampung dengan apa yang telah dilakukan oleh seorang karyawan yang bekerja dalam satu lembaga denan penulis tersebut terdapat kesamaan dan kemiripannya. Yaitu telah merasa dirinya berubah. Sehingga ketika AC di jemputan rusak, maka membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Ketidak nyamanan itu membuatnya sulit mengontrol emosi ketika menginformasikan kepada penulis. Karyawan itu sama sekali tidak sadar bila sebelumnya harus berebutan untuk naik kenaraan umum dengan berbagai macam ragam aroma. Karyawan itu merasa dirinya telah naik kelas sehingga lupa pada kondisi sebelumnya.

Kisah teman di kampung dengan teman di kerjaan tersebut, mirip pula kisah angota legeslatif hasil pemilu langsung kemarin. Kisah ini penulis dapatkan dari seorang teman yang kebetulan aktivis di partai politik. Beginilah ceritanya. Bahwa telah menjadi kegundaan bagi sebagian besar orang di partai tentang teman-teman mereka yang tiba-tiba menjadi sulit untuk bisa hidup sederhana. Kegundahan ini menjadi beralasan karena partainya adalah partai politk dengan basis moral dan agama.

Singkat cerita, bahwa beberapa alegnya yang semasa masih aktivis dan caleg, mereka itu hidup dalam kesederhanaan. Makan di warung-warung pinggir jalan, selalu berjaket karena kesana kemari mengendarai sepeda motor, dan telepon selular yang dipakainyapun seri 3. Namun ketika telah lebih kurang satu tahun menjadi bagian dari legeslatif, mereka tiba-tiba berubah menjadi sulit dihubungi, bicara pendek-pendek karena ingin buru-buru beranjak pergi seperti kurang waktu, selularnya menjadi komunikator yang selalu ditenteng baik dalam keadaan bunyi atau tidak, menggunakan jas karena telah mengendarai kendaraan roda empat dan jarang mau diajak ketemuan di warung pinggir jalan. Skap seperti ini pun juga menjadi perhatian buat teman-temannya yang sesama aleg. Mereka itu bwerkomentar; ”Apakah tidak mungkin lagi mereka hidup sederhana seperti sebelumnya?”

Dari kenyataan-kenyataan itu, penulis ingin sekali mengambil hikmahnya. Yaitu bahwa sikap integritas harus menjadi bagian paling inheren bagi proses pembelajaran di sekolah kita. Sikap ini tidak akan lahir jika pembelajaran tidak secara sengaja mendisain pengembangan bagi munculnya sikap tersebut. Contoh paling mudah dan murah adalah membiasakan siswa kita bekerja dalam kelompok. Karena dalam berkelompok tersebut siswa akan secara langsung bersinggungan scara emosional antara yang satu dengan lainnya. Dan dalam persinggungan tersebut guru akan dengan mudah membantu bagi siswa yang berkesulitan. Mudah-mudahan bermanfaat...

No comments: