Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

04 January 2009

Guru, Adalah Sebuah Pilihan

Dalam sebuah pelatihan di sekolah swasta di Jakarta beberapa waktu lalu penulis kembali mendapat pertanyaan dari seorang guru peserta pelatihan tersebut. Sebenarnya bukan pertanyaan yang harus penulis jawab, karena Pak Guru itu lebih mempertanyakan mengenai kewajiban yayasan selaku pengelola dari lembaga sekolah dimana ia sekarang mengabdikan kompetensinya. Kalau dirinya sebagai guru dituntut untuk berkualitas, maka bagaimana kontribusi lembaga atau yayasan?

Pada sesi membongkar paradigma, peserta pelatihan diajak untuk melihat dirinya, profesinya dan lembaga persekolahan dari kaca mata sebagai orang luar. Yaitu dengan kita perlihatkan dan tunjukkan mengenai fakta dan data yang ada di seputar praksis pembelajaran dan sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat diri sendiri dari sisi obyektifitas. Dan ketika peserta diminta untuk memikirkan tentang bagaimana meningkatkan diri sebagai awal dari meningkatkan martabat profesi dan lembaga, Ia mempertanyakan kewajiban pengelola sekolah dalam kancah pengangkatan harkat tersebut. Adalah tidak adil bila guru mendapat tuntutan untuk berubah sementara sistem penggajian (baca: jumlah uang gaji) tidak pernah dipikirkan. Begitu kira-kira ’protes’.

Penulis menyadari sekali apa yang menjadi dasar berpikir. Karena sesungguhnya penulispun adalah guru yang statusnya tidak jauh beda, sebagai guru di sekolah swasta. Namun untuk melihat permasalahan lebih jernih lagi marilah kita coba untuk menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan hal itu dapat dilihat dari sudut pandang lembaga, guru, dan hukum. Dalam tulisan ini akan dilihat dari kaca mata guru.

Dalam bukunya yang terkenal, Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, Stephen R Covey menguraikan dalam bab menjadi pribadi proaktif bahwa ada dua pengaruh besar yang melingkupi pengambilan keputusan kita sebagai pribadi. Dua lingkaran pengaruh itu adalah lingkaran pengaruh langsung dan lingkaran pengaruh tak langsung.

Dikatakan sebagai pengaruh langsung karena semua indikatornya dibawah kontrol tangan kita. Sedang lingkaran pengaruh tak langsung karena pengaruh tersebut berada di luar kontrol kita. Contoh saja misalnya penyerangan tentara Amerika ke Irak dengan alasan senjata kimia. Kita sebagai pribadi tidak mungkin dapat mengubah keputusan pemerintah Amerika selain dalam bentuk himbauan. Begitu pun misalnya dengan penurunan harga tiket pesawat terbang sekarang ini sehingga pengguna transportasi udara tidak hanya menjadi milik golongan tertentu. Beda dengan misalnya saja jika hari Senin depan saya ingin mengenakan baju warna ungu. Dengan logika yang sama, maka jikalau kita sebagai guru merasakan ketidakadilan dalam hal imbal balik dengan lembaga dimana kita berada maka itu adalah hal yang berada dalam pengaruh tak langsung. Tetapi tentang meningkatkan kualitas diri kita, adalah bagian yang masuk dalam lingkaran langsung. Dan pribadi yang proaktif, menurut Covey, adalah pribadi yang secara terus menerus dan konsisten berjuang dalam memperluas pengaruh langsung.

Dalam kalimat yang berbeda, KH Abdullah Gymnastiar dari Darut T auhid Bandung memberikan nasihat buat kita mengenai perubahan dengan 3 Mulai. Yang artinya bahwa pembaharuan harus mulai dari diri sendiri, mulai dari yang mudah dan mulai sekarang juga.

Dengan demikian maka kita sebagai guru di sekolah dan menginginkan ’kenaikan’ ke arah ’tangga’ yang lebih tinggi, harus dimulai dari diri sendiri. Jangan berpikiran bahwa orang atau pihak lain dahulu yang ’naik tangga’ dan saya akan menyusul.

Karena sesungguhnya bila kita sebagai pribadi pembaharu menuju standar kualitas yang ada dalam lembaga atau profesi dan kemudian pribadi-pribadi tersebut berkumpul dalam suatu lembaga, kelurahan, kecamatan dan seterusnya hingga dalam lingkup nasional, maka lahirlah negara Indonesia yang bermartabat. Dalam lingkup sosial yang demikian kita tidak akan lagi melihat Indonesia yang berada di ranking 111 dari 175 negara di dunia dalam peringkat Human Development Index yang dikeluarkan UNDP untuk tahun 2004 ini.

Mengapa penulis mengatakan demikian. Adakah diantara kita yang menjadi guru di sekolah tertentu, terutama sekolah swasta karena bukan suatu pilihan? Mungkin kita akan mengatakan terpaksa karena tidak ada bidang pekerjaan lain yang sesuai? Tapi bukankah itu adalah pilihan kita juga? Artinya penulis ingin sekali mengatakan pada kita bahwa kalau diantara kita sungguh-sungguh memiliki kompetnsi unggul untuk suatu pekerjaan dan hal itu mendapat pengakuan dari komunitas sosial yang ada tetapi ’hanya’ mendapatkan imbal balik alakadarnya, maka sangatlah wajar bila kita memilih untuk mendapatkan imbal balik yang ’sesuai’ atau ’menjanjikan’ di lembaga yang lain.

Dan dalam konstelasi perkembangan di dunia pendidikan sekarang ini, kemungkinan-kemungkinan yang sulit terjadi pada satu dasa warsa yang lalu, terutama dalam lapangan pekerjaan bagi profesi guru di sekolah swasta, kini menjadi sangat terbuka bagi kita. Dan dengan semakin lebarnya kemungkinan tersebut, maka pilihan kita menjadi lebih bervariatif.

Namun demikian semua kemungkinan tersebut baru terbuka bilamana kapabilitas kita sebagai pribadi memiliki tingkat kualitas yang menjanjikan. Dalam tulisan yang lalu penulis menyebutkan adanya empat syarat sehingga seorang guru memiliki kemungkinan yang bervariatif. Kapabilitas yang menjadi syarat tersebut antara lain adalah: kemampuan berbahasa asing terutama Bahasa Inggris, antusiasme dalam mengarungi profesi, opend mind dan fleksibel serta pembelajar.

Maka sekali lagi perlu penulis tegaskan kepada kita semua bahwa untuk menerima jabatan sebagai guru di lembaga ’anu’ dengan imbalan ’sekian’ sebagaimana dalam konteks tulisan ini adalah sebuah pilihan. Dan karena itu pilihan pribadi, maka tidak ada pihak lain yang dapat dipersalahkan atas kondisi itu

No comments: