Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

19 November 2012

Di Bawah Pohon Trembesi


Rindangnya Pohon trembesi yang menyejukkan. Dok.Pribadi

Waktu menunjukkan pukul 13.00 di jam tangan saya. Udara terasa panas menyengat di kesibukan kegiatan yang saya kunjungi saat itu. Seperti siang-siang sebelumnya. Di tambah dengan sedikitnya angin yang bertiup. Maka semakin terasa panas hawa itu menusuk pori-pori yang tidak henti-hentinya mengucurkan keringat. Mungkin hujan akan segera turun.

Maka ketika break kegiatan untuk ishoma, daya yang hanya sebagai pengunjung meminta diri mencari tempat untuk melaksanakan kewajiban. Sembari memilih lokasi yang cocok untuk mencari kesejukan.

Saya berjalan menyusuri boulevard sebuah gedung pertemuan yang lega dan hijau. Di bawah pohon trembesi yang sedang lebat-lebatnya bertunas. Ajaib. Udara disepanjang trotoar dengan naungan trembesi itu sungguh berbeda dari yang saya rasakan di okasi sebelumnya tadi. Sejuknya udara ditambah angin yang berhembus pelan menjadikan suasana benar-benar membuat betah untuk menghentikan langkah.
 
Di lokasi itulah, atau setengah perjalanan saya atau di tengah-tengah boulevard yang panjangnya tidak lebih dari dua kilometer itu, menuju lokasi tujuan saya, saya terhenti untuk menikmati angin yang berhembus dan suara burung kutilang yang bersahut-sahutan. Suasana yang di desa saya pun, sudah hampir tidak ada lagi. Mungkin rimbunnya trembesi dan pagar akademi itulah yang menjadi pelindung dari burung-burung kutilang itu untuk leluasa berkembang biak.

Karena di desa saya segala jenis burung telah masuk dalam perangkap para pencari nafkah. Burung-burung itu setelah masuk perangkap untuk kemudian menjadi barang dagangan. Seperti pagi itu, sebelum kedatangan saya ke tempat kegiatan ini. Saya bertemu anak muda dengan potongan rambut Korea menenteng senapan angin dengan menunggang motor otomatik. Saya bilang "monggo" ketika Ia  menegur saya yang sedang membaca berita. Dan saya baru tersadar bahwa di pinggang anak muda itu telah tergantung sedikitnya 3 ekor tupai dengan bulu ekor yang indah, yang merupakan hasil buruannya pagi itu.

Akankah burung kutilang yang menemani saya, yang sedang bersenandung di atas pohon trembesi di sepanjang boulevard ini akan bernasib seperti saudaranya yang tinggal di desa saya? Mudah-mudahan tidak. Ia akan terus lestari. Amin. Tapi siapakah yang peduli?

Yogyakarta, 17/11/12.

Kegairahan untuk Mudik



Siapapun, boleh melarang saya untuk tidak melakukan sesuatu apapun, tetapi jangan untuk tidak melakukan perjalanan pulang kampung alias mudik. Karena entah dorongan dari mana di dalam diri saya sehingga mudik menjadi sebuah kegiatan yang paling menjadi kegemaran saya yang paling menggairahkan. Setidaknya itulah catatan saya yang paling penting. Oleh karena itulah jika pun larangan itu ada, saya yakinkan bahwa itu tidak akan efektif.

Itu pulalah maka  pada catatan ini
saya mencoba mengurai suasana hati tentang beberapa hal yang menjadi pendorong bagi saya untuk melakukan perjalanan mudik itu. Walau untuk menemukan apa yang menjadi penyebabnya, sulit saya menguraikannya. Tetapi saya coba untuk menelisik dorongan hati itu.

Pertama, karena keluarga. Harus saya sampaikan bahwa karena keberadaan ibu saya, yang saya panggil Mamak, menjadi daya dorong bagi hasrat saya untuk pulang kampung pada akhir-akhir ini. Itu karena Mamak bagi saya adalah manusia pelayan yang tulus tiada batas. Orangtua satu-satunya yang masih dapat saya dan anak-anak yang lainnya untuk bertegur sapa. Karena Bapak telah tiada sejak Oktober 2009 lalu.  

Beliau akan tidur paling terakhir ketika malam telah menjelang larut, dan bangun paling awal ketika subuh jauh belum datang, di dalam keluarga kami. Terlebih ketika anak-anak Mamak beserta cucu-cucu, serta kadang keponakan-keponakan, sedang berkumpul untuk sebuah reuni keluarga. Maka terasa sekali bagaimana pelayanan Mamak kepada kami. Dan sejak Bapak almarhum itu, maka prosesi pelayanan bertumpu pada Mamak seorang diri.

Tapi ketika kita menawarkan diri agar Mamak istirahat barang sejenak, maka ajakan atau hinbauan serta bantuan itu dengan tegas ditolaknya. Ia pernah mengaku bahwa apa yang dilakukannya adalah bentuk membahagiakan para anak-anak, cuçu-cucu, dan para adik serta kepnakannya agar supaya kerasan untuk tetap tinggal di rumahnya. Dan membahagiakan para 'tetamunya' itu menjadi sumber kabahagiaannya.

Kedua, suasana. Apa yang saya maksud dengan suasana? Yaitu situasi desa yang masih relatif sepi. Ini karena kampung dimana saya pernah tumbuh hingga remaja dan menginjak dewasa itu, masih benar-benar desa dalam arti yang sebenarnya. Jarak antar rumah masih berjauhan untuk ukuran kota yang bertempat tinggal saling berhimpitan. Juga pekarangan dari masing-masing  rumah yang dipenuhi warna kehijauan oleh tanaman. Baik perdu atau tanaman keras yang memungkin kami sebagai warga desa menjadikannya untuk tabungan.

Suasana yang dikala siang dan malamnya dihiasi suara alam dan binatang yang tidak lelahnya mlantunkan suara khasnya masing-masing, serta kendaraan besar yang menderu-deru ketika harus merambati tanjakan yang lumayan tinggi yang ada di pinggir kampung kami. Dan sesekali bunyi roda besi dari kereta api ketika melalui sambungan antar rel yang menimbulkan irama khas. Juga bunyi deburan ombak laut selatan, ketika menjelang pagi, yang tidak pernah ada jeda. Meski semua bunyi itu mengisyaratkan keberadaan sumber bunyi yang tidak dekat.

Meski suasana itu semakin hari semakin berbeda dibanding ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Terutama semakin sedikit dan hilangnya bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh burung-burung yang bebas berterbangan di pohon-pohon yang tumbuh lebat di pekarangan rumah kami.

Ketiga, kenangan. Bagaimana pun, kampung halaman saya adalah tempat mudik saya. Karena disanalah bagian hidup saya tersimpan. Dan atas nama itu pulalah antara lain yang memicu saya untuk selalu mudik guna mengais kenangan masa lalu yang padahal tidak semuanya indah itu. Tetapi, tampaknya kenangan-kenangan itu memiliki resonansi aura positif untuk sebuah jalan yang harus saya tempuh ke depan. Dan masa lalu itu telah menjadi sejarah yang abadi bagi saya.

Ia akan tetap menuliskan semua detil dengan tanpa meniliknya dari sisi menguntungkan atau dari sisi yang merugikan. Yang akan berkomitmen memegang kendali tentang apa saja yang telah terjadi. Karena kearifan masa depan hanya mungkin dibangun dari sebuah fakta yang spa adanya. Maka apqpun Mada lalu saya, itulah yqng telah terjadi.

Jakarta, 14/11/12-Yogyakarta, 15/11/12.

14 November 2012

Peserta Didik Saya Mempertanyakan Koruptor Anggota DPR

Diantara para remaja yang menjadi peserta didik saya di tingkat pendidikan SMP, ada satu diantara mereka yang paling konsern terhadap perkembangan perpolitikan yang ada di tanah air. Bentuk konsern remaja itu selain membaca berita yang tersebar di media masa, adalah juga berdiskusi dengan siapa saja. 

Pernah suatu kali kepada saya bertanya tentang bagaimana agar kita benar-benar memboikot para politikus busuk agar tidak menjadi pejabat. Lalu saya sampaikan bahwa untuk menuju ke arah seperti itu, selain politikusnya yang harus diseleksi oleh partai politik, juga kita sebagai masyarakat, sebagai pemilih di pemilihan umum atau pemilihan daerah, juga harus benar-benar mengetahui secara holistik terhadap para kandidat sebelum masuk TPS. Artinya, rakyat atau kita, harus memiliki kesadaran politik yang bersih terlebih dahulu.

Dengan pernyataan saya itu, siswa saya itupun terpancing untuk segera memasuki dunia diskusi yang lebih intens lagi. Dan dari diskusi itulah saya menjadi paham tentang apa yang dibacanya, keluasan pengetahuannya, kedalamanannya analisanya, dan dari sana ia membangun persepsinya tentang perpolitikan kita sekarang ini. Mengagumkan dan menggairahkan. Di usianya yang belum 15 tahun, ia telah membangun minatnya yang dalam tentang suatu hal.

Dengan latar belakang kompetensi seperti itulah, maka ketika hadir seorang politikus dari komisi X DPR di sekolah untuk sebuah acara kebangsaan, menjadi momentum baginya untuk 'bertukarpikiran'. Peristiwa ini terjadi di hadapan saya ketika kegiatan Kepahlawanan yang di gelar sekolah telah usai pada Jumat, 09 Nopember 2012. Dan karenanyalah saya justru berkesempatan untuk memberikan introduksi di sela-sela diskusi yang sedang berjalan itu.

Dan dengan pernyataan serta pertanyaan dari politikus remaja kami itu, Pak Dedi Gumelar dengan bahasa yang baik dan mantap terus memberikan jawaban dan tanggapan yang dimintanya agar juga menjadi masukan bagi remaja itu. "Jangan pernah berpendapat tentang sesuatu hal tetapi dangan atau dari informasi yang masih sepenggal." katanya memberikan nasehat. "Termasuk juga agar siswa tersebut dimintanya mencari informasi tentang jumlah anggota parleman yang tersangkut masalah hukum dan juga kepala daerah baik Bupati, Wali Kota, dan Gubernur. Nanti dari informasi yang telah terkumpul itu, kamu memberikan pendapat." Lanjut Pak Dedi.

Dibalik peristiwa itu, saya sebagai bagian dari sekolah, lebih dan kurangnya, saya semakin kagum akan apa yang menjadi perhatian si anak remaja tersebut. Perhatian dan minatnya itu sudah tampak begitu jelas terlihat, dan begitu berkobar. Semoga kobar minatnya itu pada hari ini menjadi mesin pendorong baginya untuk terus mengeksplorasi lingkungannya guna masa depannya yang gemilang. Amin.

Jakarta, 10 Nopember 2012.

13 November 2012

Kehilangan Troly di Saat Belanja

Mungkin ini dapat terjadi kepada siapa saja, termasuk tidak terkecuali saya. Maka untuk mengikat menjadi kenangan, saya menuliskannya dalam catatan saya ini. Dan semoga dengan ini apa yang saya pernah alami tidak menimpa kepada Anda. Ini kisah nyata yang menimpa saya. Kejadian yang sebenarnya tidak fatal, tetapi layak sekali untuk menjadi catatan karena kejadian ini menyangkut perilaku tidak terpuji yang sungguh tidak mengenakkan. Terjadi di sebuah tempat belanja.

Kejadian ini ketika saya menemani istri dan anak belanja di sebuah super market. Layaknya seperti pengunjung lainnya, maka sayapun mempersiapkan troly belanja begitu memasuki area belanja yang berjajar penuh barang jualan.

Dan karena saya asyik 'menikmati' salah satu sudut belanja, tentu dengan troly yang saya hanya tepikan dan dengan posisi yang sedikit jauh dengan saya, maka ketika kembali ke troly dimana saya tadi letakkan, troly saya itupun sudah tidak ada. Padahal saya sudah letakkan di dalam troly saya itu,  lebih kurang tiga (3) barang belanjaan yang saya ambil sebelumnya. Dan barang-barang saya itupun saya temukan sudah berpindah troly milik orang lain. Kok bisa?

Seketika itu saya langsung berpikir bahwa ada orang bejat yang tidak mau repot datang ke depan super market untuk menambah troly. Tetapi mencari jalan pintas, yaitu dengan mengambil troly yang ada di dekatnya. Tidak peduli ini ada yang sedang menggunakannya.

Sayangnya, karena semua troly sama dan tidak memiliki perbedaan secara khusus, maka ketika saya caripun, saya tidak dapat menemukannya secara pasti. Meski akhirnya saya tahu bahwa diantara pengunjung yang sudah saya putari untuk meneliti troly, tampaknya ada sekeluarga pengunjung yang dengan dua (2) troly.

Itulah satu pengalaman, yang sangat tidak mengenakkan bagi saya ketika berbelanja di sebuah pasar moderen; kehilagan troly belanja. Pengalaman yang tidak istimewa, tetapi menyebalkan sekaligus menyedihkan. 

Jakarta, 22 Juli-13 Nopember 2012.

12 November 2012

Sebuah Catatan di Tahun 95

Prolog: Beberapa puisi ini adalah yang saya temukan kembali daam bentuk hard copy di brankas buku-buku saya. Diketik dalam format WS. Untuk mengingatkan kembali pada tahun-tahun itu, maka saya tulis ulang tanpa merubahnya sedikit pun. Saya hanya ingin degan ini menengok ke belakang. Sebuah situasi dan kondisi yang pernah ada.


1. Mukaku


Kubelah mukaku dalam dua warna

masing-masing bertelekan pecahan kaca

tajam membakar dendam

menusuk perih meninggalkan luka

dimanakah Tuhan, tempat sebenarnya?

(Terogong, Cilandak, 28/4/'95)


2. Idialesme PASTI


Haruskah kupinta pendapatmu, mempertahankan

idialisme, Meski terbukti membelah diri sendiri

Haruskah dipertahankan?


Haruskah kupersiapkan kubangan makam,

bagi diri sendiri dengan penuh dedikasi?

Mestikah kupertahankan?


Waktu-waktu lalu menempaku untuk,

melupakan bukan mencampakkan, hingga masa

kepastian datang, bagi tumbuhnya optimisme baru

Untuk kemudian kupungut lagi!


(Terogong, 28/4/'95)


3. Bendera


Berkibar benderaku, telah lama, oleh semilir tropika

'setengah abad' usianya lebih tua dariku

saksi bagi peserta upacara, penyelenggara

negara


'inilah masa kami berbakti,

tak lebih dan tak kurang

zaman meminta kami berkorban'


Berkibar benderaku di tiang tropika

nyawa dan derita telah dibayar merdeka


'darah dan air mata kami sumbangkan

memasok kokoh, menegakkan kesatuan

zaman meminta kami untuk bertahan'

berkibar benderaku meliuk melambai

keikhlasan dibayar merdeka


Berkibar benderaku menggelepak-gelepak suara

merebuk perhatian kami, peserta upacara

'datang, datangah masa

songsong, songsonglah

gelombang pantai membawa kabar gembira?


'inilah masa kami menanti

tongkat estafet penumbuh rahmat

tekad kami mengaminkan amanat.


Terogong, 28/4/'95

10 November 2012

Meminta Tanda Tangan

Kedatangan tokoh nasional di bidang seni dan politik ke sekolah kami pada kegiatan kepahlawanan yang berlangsung pada hari Jumat, 09 Nopember 2012, tampaknya memberikan dampak positif pada peserta didik kami tentang kebangsaan dan kebanggaan sebagai bagian dari Indonesia. Oleh karena itu, sejak pembukaan acara kegiatan hingga akhir, antusiasme anak-anak itu tempak sekali pada seluruh ekspresi yang ditampakkannya pada keseluruhan prosesi kegiatan. Tepuk tangan, menyanyi bersama, dan colotehan kekaguman seperti  tiada henti mengiringi seluruh acara tersebut.

Itulah tampilan luar biasa mengesankan akan maestro biola Indonesia, Bapak Idris Sardi, yang lebih berkenan untuk dipanggil Mas Idris, dengan atraksi kepiawaian biolanya pada seluruh lagu yang dibawakan lebih kurang 45 menit, Pak Dedi Gumelar, yang juga terkenal sebagai Mi'ing dalam dunia lawak Indonesia, serta Pak Iwa K, yang adalah rapper Indonesia.

Dan sebagai penutup dari antusiasme peserta didik, adalah meminta cinderamata para tamu yang menjadi nara sumber kebangsaan kami saat itu, dalam bentuk tanda tangan. Sebagian besar anak-anak itu telah mempersiapkan lembaran kertas untuk tanda tangan tamu kami. Tidak saja siswa sebagai peserta didik kami, diantara kami pun ada yang ikut membuat antrian.

Berbeda

Namun dari seluruh peserta yang meminta tandatangan itu, saya bertemu dengan seorang siswa yang paling berbeda. Dia masih duduk di kelas 4 SD. Yang berarti, karena keterbatasan tempat acara, maka kelas 4 SD termasuk kelas yang tidak ikut dalam prosesi revitalisasi kebangsaan pagi itu. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika saya menyebut dan menggolongkannya berbeda.

Anak ini datang ke ruang istirahat para nara sumber kebangsaan kami dengan buku dan pensilnya, ketika para tamu itu akan meninggalkan sekolah. Saya membuka, dan  segera memfasilitasi anak itu ketika saya ketahui apa yang diingikan. Dan peristiwa itu adalah satu-satunya peristiwa yang memang sungguh berbeda. 

Ketika giliran meminta tandatangan dari Pak Dedi Gumelar, maka anak dengan seruling recorder diminta anggota DPR RI dari komisi pendidikan itu untuk memainkannya. Mengalunlah lagu Suwe Ora Jamu dari rekorder itu. Maka semua yang ada di ruang istirahat tersebut bertepuk tangan memberikan apresiasi.

Dari peristiwa itu, saya membuat catatan ini untuk mengabadikan keyakinan saya sendiri, bahwa anak-anak itu adalah inspirator bagi saya dan guru-guru di sekolah. Oleh karenanya, berilah kesempatan kepada mereka untuk mengekplorasi apa yang ada di sekitarnya. Termasuk untuk meminta tanda tangan dari nara sumber kebangsaan yang datang di sekolahnya untuk sebuah kegiatan kepahlawanan!

Jakarta, 10 Nopember 2012.

09 November 2012

Belajar tentang 'Rasa' Nasionalisme

Hari ini, meski telah masuk pada bulan Nopember, kami menyelenggarakan kegiatan peringatan Sumpah Pemuda dengan cara yang sedikit berbeda. Berbedanya, karena kami menyelenggarakannya bukan dengan upacara bendera. Tetapi dengan mengundang tokoh nasional untuk mempresentasikan kepiawaiannya. Maka itulah yang terjadi dengan apa yang kami rencanakan sebelumnya itu.

Kegiatan ini tidak lain adalah salah satu upaya teman-teman untuk 'memperbaharui' rasa cinta tanah air kami. Merevitalisasi semangat kami dan kebanggaan kami akan negara yang telah manjadi ibu pertiwi kami, Indonesia. Dan menyadari bahwa generasi yang menjadi amanah kami yang sekarang duduk di bangku sekolah ini adalah generasi dengan keberuntungan akses teknologi dan informasi serta berbagai kemudahannya, maka merancang kegiatan yang menarik tentang kebangsaan kadang buntu akal.

Namun, berangkat dari kebingungan itulah, ada teman kami yang begitu bersemangat untuk terus menerus mengupayakan penanaman jatidiri kebangsaan kepada anak-anak didik kami. Sebagaimana akhirnya kegiatan itu terjadi dan mendapat sambutan serta antusiasme yang luar biasa.

Cerita Pak Winarno

Sabelum saya melanjutkan catatan saya ini, saya teringat kembai akan apa yang disampaikan oleh Bapak FG Winarno, Profesor Pangan, dalam sebuah seminar pendidikan di Jakarta pada Kamis, 08 Nopember 2012, mengungkapkan kekagumannya kepada Ibu Sri, yang adalah guru saat beliau sekolah di jenjang pendidikan sekolah dasar. Satu hal yang sangat diingatnya adalah bagaimana Ibu Sri, gurunya itu saat mengajarkan menjahit kepada siswanya. Saat itu, kata Prof Winarno, Ibu guru membagikan kepada seluruh siswanya jarum, benang, dan dua lembar kain warna merah dan putih. Kepada siswanya, Bu Sri meminta menjahit dua lembar kain itu. Keesokan harinya, saat upacara tujuh belasan, para siswa diminta oleh Ibu Guru Sri menempelkan kain warna merah dan putih itu di dada kiri setiap siswanya. Lalu Ibu guru memberitahukan bahwa itulah Sang Saka Merah Putih. Sang dwi warna.

Cerita Prof. Winarno tentang pengalaman belajar nasionalisme itu, menarik untuk saya sampaikan disini sebagai inspirasi tentang bagaimana guru membelajarkan nasionalisme kepada peserta didiknya tidak saja melalui pengetahuan. Tetapi juga melalui rasa. Dan itu menjadi jauh berbeda dari pakem pembelajaran pada umumnya.

Itu pulalah yang sedikit mirip dengan apa yang kami lakukan hari ini di sekolah kami. 

Mas Idris, Pak Dedi, dan Mas Iwa K

Kegiatan kami buka dengan masuknya seluruh peserta kegiatan ke dalam hall sekolah dengan iringan musik lagu daerah. Tertib anak-anak itu memulai tahap-tahap awal prosesi. Beum tampak wajah yang riang atau juga kusut. Semua terlihat masih standar. Lalu acara demi acara di mulai; pembukaan yang amat singkat, doa mengawali kegiatan, dan pada akhirnya adalah Pesan Kebagnsaan yang disampaikan oleh Rapper Iwa K, dilanjutkan oleh Pak Dedi Gumelar. 

Mas Idris melayani siswa yang meminta tandatangan begitu usai acara. Dok. Pribadi.
Pada tahap ini, anak-anak didik kami sudah mulai tampak adanya guratan positif yang memancar deras di raut wajah mereka.  Dan sebagai acara puncak adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan biola dari Mas Idris Sardi. Di sini, seluruh peserta, baik siswa, guru, dan tamu undangan telah menaburi rasa nasionalisme itu. Mas Idris, memainkan biolanya dengan sungguh menakjubkan. Kami tidak merelakan detik demi detik berlalu begitu saja. Seluruh pasang mata dan jiwa, kami kerahkan lagu demi lagu, lagu-lagu wajib nasional, lagu-lagu daera, hingga lagu Gombloh, yaitu Indonesia, beliau tuntaskan dengan sempurna. Ketakjuban, kekaguman, dan rasa bangga membahana di ruang bersama kami bersamaan dengan riuhnya tepuk tangan begitu setiap lagu.selesai dimainkan. 

Hingga, sebagai penutup dari seluruh rangkaian itu adalah aksi rap Mas Iwa K. Semua berseri-seri amat luar biasa begitu acara itu berakhir. Terima kasih Indonesia!
Jakarta, 09 Nopember 2012.

08 November 2012

Sarung, sebagai Identitas di Alahan Panjang

Mejeng di Aie Angek. Dok. Pribadi
Mendapat kesempatan untuk mengunjungi kota Solok, membuat saya bersuka cita. Maka untuk mengetahui lebih jauh tentang Solok dan mungkin lokasi-lokasi yang dapat kami jadikan destinasi wisata, saya meminta kepada seorang kawan yang kebetulan asli Solok untuk memberikan informasi. Termasuk udara. Apakah saya harus membawa jaket? Tidak cukupkah saya hanya membawa sarung? Maklum, dlam setiap kesempatan pergi ke daerah, saya tidak akan membawa barang yang akhirnya harus masuk kabin. Selain  saya merasa terlalu besar dan terlalu banyak yang harus saya bawa, saya tidak ingin kehilangan waktu untuk menunggu kabin tersebut ketika sampai di bandara.

Sesampai di Padang, sahabat saya menyampaikan informasi lebih detil bahwa lokasi yang akan menjadi tujuan kami bukanlah Solok, tetapi Cupak. Persisnya Cupak yang melalui jalan lama. Lokasinya berdekatan dengan pemandian air hangat atau di bahasa setempat disebut Aie Angek. Oleh karenanya sahabat saya merekomendasikan untuk pergi ke dua danau yang ada di wilayah Solok yang ada di kecamatan Alahan Panjang. Yaitu Danau di Atas dan Danau Di Bawah.

Alhamdulillah, kunjungan dadakan ke dua danau yang terkenal itu, akhirnya membuat saya lebih mengenal lagi Alahan Panjang. Saya katakan lebih, karena pada akhirnya perjalanan kami harus terhambat karena adanya sedikit hambatan pada roda depan kiri kendaraan yang mengantar kami. Persis sebelum masuk di kebun teh yang ada di Alahan Panjang. Waktu sudah lepas Ashar, bahkan menjelang Magrib.

Dengan peristiwa ini, maka kekagetan saya mulai. Yang pertama, adalah karena ternyata udara yang ada di Alahan Panjang berhawa sangat dingin untuk ukuran saya. Dingin yang amat sangat. Belum pernah saya merasakan udara yang sangat dingin di sebuah lahan yang bukan di sebuah puncak gunung.  Dan yang kedua, ternyata di dalam tas punggung saya, tidak tersedia satu lembar pakaian tebal atau pakaian hangat selembar pun. Maka, mulailah badan saya terasa gatal-gatal karena alergi dingin. 

Ditemani warga membuat perapian. Dok. Pribadi
Dua hal inilah yang membuat kesan berbeda saya terhadap Alahan Panjang. Kesan itu menjadi sungguh tidak terkira manakala Magrib segera pergi dan malam merambat pekat. Terutama akan kehadiran warga desa yang tadinya berada di Surau. Kaum laki-laki itu secara sukarela mengumpulkan kayu untuk kemudian membuat api unggun. Dan selama pertemuan yang penuh persaudaraan itulah saya bertambah pengetahuan tentang Alahan Panjang. Bahwa hampir seluruh kaum laki-laki ternyata bersarung.

"Siang atau malam, sarung adalah identias kami yang tinggal di Alahan Panjang." Kata seorang pengurus Surau selepas Shalat Isyak.


Itulah catatan saya akan pengalaman 'bermalam' di Alahan Panjang. 

Jakarta, 08 Nopember 2012.


Anak 'Pintar' itu Mengaku Sakit Lagi

Hari itu, salah satu peserta didik kami kembali tidak masuk sekolah. Berita itu kami sampaikan kepada orangtuanya melalui SMS yang kita kirim kepada orangtuanya. Namun seorang temannya di dalam kelas memberikan kesimpulannya bahwa, anak itu tidak masuk karena orangtuanya yang kebetulan sedang berada di luar kota. Ini menjadi sebuah kesimpulan awal yang sangat berharga untuk kemudian kami tindak lanjuti menjadi sebuah analisa berikutnya dari ketidakhadirannya ke sekolah selama ini atau mungkin ke depannya. Sebuah teman awal yang menarik sekaligus menantang. Kami, sebagai guru, akan memperoleh pattern baru tentang perilaku anak didik kami.

Penemuan pola itulah yang menjadi perbincangan hangat kami, para gurunya untuk menelusuri informasi awal dari temannya itu. Sebenarnya, pola seperti ini juga telah telah kami dapatkan dari seorang siswa kami yang telah lulus tahun kemarin. Anak itu selalu beralasan sakit untuk tidak masuk sekolah persis ketika ayahnya tidak ada di rumah. 

Dari penelusuran tersebut, benar kami ketahui bahwa fenomena yang disampaikan di awal itu adalah benar. Namun pertanyaan kami berikutnya adalah; mengapa anak itu mengaku sakit atau tidak masuk sekolah? Apakah pergi ke sekolah untuk bertemu guru dan teman-temannya tidak menarik baginya? Pertanyaan ringan yang membutuhkan kelogowoan kami sebagai guru untuk menemukan jawabannya.

Dari diskusi kami atas fenomena menarik ini, dan dari data serta fakta yang ada, maka membuat sedikit kesimpulan sebagai berikut: Pertama; Kami meyakini bahwa anak yang memiliki pola 'sakit' atau 'malas' sehingga memilih tidak masuk sekolah ketika orangtua yang dianggapnya sebagai kontroler sedang tidak berada di rumah, adalah tipe anak-anak yang memiliki kecerdasan jauh berada di atas rata-rata. Merdeka menggunakan kecerdasannya itu antara lain untuk mengelabuhi diri dan orang-orang terdekatnya, termasuk gurunya.

Kedua; Harus kami akui bersama bahwa sekolah belum menjadi lokasi yang menarik bagi mereka yang memiliki 'kecerdasan' sebagaimana anak tersebut. Mungkin sekolah masih sangat membosankan baginya. Ini juga masukan berharga bagi kami para gurunya. Mungkin karena pembelajaran kami yang tidak atau kurang menantang model anak-anak tersebut.

Karena fakta lain yang kami temukan, ternyata anak itu begitu penuh komitmen menyelesaikan tugas atau bahkan pekerjaan rumah ketika ia sedang tidak masuk sekolah. Tentunya dengan berkomunikasi dengan temannya yang berada di satu kelas.

Setidaknya, itulah fakta yang kami dapatkan dari anak 'pintar' kami yang pada hari itu mengaku sakit dan tidak masuk sekolah.

Jakarta, 08 Nopember 2012.

Mengaku tidak ada Pelajaran

Pagi itu, saya mendapat laporan dari teman yang memergoki seorang siswa yang kedapatan datang terlambat ke sekolah dan diketahui masuk ke toilet putra. Sebagaimana warga sekolah ketuhi bahwa pada pukul tersebut semestinya seluruh siswa sudah berkumpul di ruang bersama untuk pertemuan rutin dengan teman dan guru-gurunya. Tampaknya, anak tersebut tidak bersegera datang dan berkumpul bersama teman-temannya, tetapi memilih menghindar.

Berbekal dari pengalaman sebelumnya, saya meyakini bahwa anak itu akan keluar toilet dan segera bergabung dengan teman-temannya begitu teman-temannya selesai mengikuti acara bersama di ruangan tersebut. Situasi yang cocok bagi mereka yang terlambat untuk tidak diketahui keterlambatannya. Karena pada situasi itu, kondisi akan begitu ramai. Anak-anak secara bersamaan akan keluar dari ruang bersama dana memenuhi koridor kelas sebelum masuk kelas. Dan pasti sulit bagi guru untuk dapat memilah siapa yang terlambat.

Trik semacam ini pada akhirnya kami ketahu setelah beberapa kami mengalaminya. Dan tentunya dengan anak lain dan dari angkatan yang berbeda pula. Dari mana anak-anak yang terlambat itu tahu kapan acara bersama di ruang bersama selesai? Tentunya dari temannya. Ini dimungkinkan karena mereka menggunakan alat komunikasi. Dimana alat komunikasi tersebut baru dikumpulkan ke guru kelasnya masing-masing begitu acara bersama selesai dan masuk kelas untuk bersiap mengikuti pelajaran. Itulah maka saya sendiri menyiapkan diri berada tidak jauh dari pintu toilet dimana anak yang terlambat itu menyembunyikan diri.

Namun ketika acara bersama telah selesai, kami justru mendapat kabar yang mengagetkan. Karena rupanya anak tersebut tidak menggunakan modus 'mencari selamat' sebagaimana anak-anak terlambat sebelumnya. Guru kelas yang kemudian mengetahui keberadaan anak tersebut tergopoh-gopoh menemui saya dan mengatakan bahwa ia menerima telepon dari orangtua si anak yang mengkonfirmasikan kalau hari ini di sekolah tidak ada kegiatan belajar?

Dengan demikian, kami ketahui bahwa selama dalam toilet, rupanya anak mengirim informasi kepada orangtuanya bahwa sekolah tidak ada pelajaran, sehingga ia meminta untuk dijemput pulang.

Celakanya, ketika ada guru yang mengajak saya berdiskusi, membuat saya lengah. Maka pintu toilet terbuka tanpa saya mengetahui kemana arah anak tersebut keluar. Terjadilah kehebohan kecil di sekolah kami. Yaitu dengan kesibukan menemukan anak yang bersembunyi di toilet tadi. Alhamdulillah karena sekolah kami tidak luas-luas amat, ketemulah anak itu di koridor TK, sebelum berhasil keluar gedung.

Usut punya usut, kami mengetahui bahwa perilaku ini muncul karena anak itu sedang mempunyai hubungan tidak enak dengan orangtuanya. Dari sini, lahirlah sikap berontak dengan cara malas ke sekolah. Modusnya, memperlambat waktu bersiap-siap sehingga akan terlambat.

Sebelum pelajaran berakhir pada hari itu, kami mempertemukan orangtua dan anak itu di sekolah, untuk kemudian bersepakat mengakhiri hubungan yang kebetulan sedang tidak harmonis. Mudah-mudahan semua berjalan normal kembali di hari berikutnya. Amin.

Jakarta, 07=08 Nopember 2012.

05 November 2012

Yang Serba (dari) Jamur di jeJamuran

Alhamdulillah, setelah mencoba menu makanan yang ada di jeJamuran, yang menyediakan seluruh menu makanananya serba dari jamur pertama kali pada tahun 2009 yang lalu, hingga sekarang ini saya tidak pernah melewatkan untuk menyempatkan waktu datang  dan mencicipi apa yang tersaji di rumah makan yang tergolong unik dan sukses ini. termasuk pada kedatangan saya yang terakhir kali, pada Sabtu, 27 Nopember 2012 bersama rombongan keluarga besar saya.

Lokasi jeJamuran itu sendiri ada di luar kota Yogyakarta. Tepatnya ada di Niron, Pendowoharjo, Sleman, Yogyakarta. Namun karena citarasanya, maka restoran ini tetap didatangi oleh mereka yang tidak saja dari wilayah setempat. Bahkan tampak beberapa tamu yang berasal dari luar daerah. Seperti saya misalnya. Namun jika ada dari pembaca yang bermaksud singgah di resto tersebut dan kebetulan belum mengetahui lokasinya, maka agar tidak perlu khawatir. Setidaknya itulah yang saya pernh alami ketika pertama kali datang ke resto tersebut. Di perempatan lampu lalu lintas Jombor perempatan yang menuju Magelang, Pak Polisi yang bertugas di pos memberitahukan kepada saya agar saya mengambil jalan yang ke arah kanan ketika posisi telah persis ada  di lampu lalu lintas ke empat, dari perempatan Jombor itu. "Bapak menghitung satunya di lampu lalu lintas ini ya Pak." Begitu Pak Polisi memberitahukan kepada saya.

Dari pengalaman saya yang pertama tersebut, kemudian kedua, ketiga, hingga teman satu kantor saya bawa ke lokasi ini pada tahun 2010 dengan 2 bus rombongan langsung dari Jakarta. Dan semua teman memberikan kesan yang bagus. Bahkan saat pulang beberapa teman ada yang membeli jamur krispi sebagai oleh-oleh.

Maka ketika untuk kesekian kalinya saya datang dengan rombongan yang berbeda beberapa waktu lalu itu, saya kembali dibuat takjub akan begitu pesatnya perkembangan bisnis resto Pak Ratidjo HS, sebagai penggagas dan pemilik dari usaha jamur dan resto yang serba jamur,  tersebut.  Karena pengunjung begitu penuh sesak meski ruang dan meja makan sudah berkembang luasnya dua kali lipat ketika terakhir kali saya datang pada tahun 2011. Dahsyat luar biasa. Bahkan tempat parkirnyapun harus bertambah, juga dua kali lipat lebarnya.

Bagi saya, sebagai pengunjung yang sebenarnya bukan menjadi bagian dari para penikmat kuliner, kekaguman saya bukan kepada bagaimana makanan itu terjadi dengan citarasa yang nikmat, tetapi justru kepada sosok Pak Ratidjo itu. Beberapa kali saya datang ke restonya, saya beruntung dapat bertemu langsung dengan beliau. Sangat sederhana dan terkesan biasa saja. Namun dalam kesederhanaannya itu saya belajar bagaimana mencipta sesuatu yang berbeda.

Padahal sebelum sampai ke lokasi resto itu, jka kita berangkat dari jalan Malioboro, Yogyakarta, akan ada beberapa restoran yang berusaha merayu naluri kuliner kita. Tetapi ketika pertama saya berkesempatan datang ke resto jeJamuran, maka dengan waktu yang sama saya memilih untuk datang ke resto di Niron tersebut.

Jakarta, 05 Nopember 2012.

Rapat untuk Kejutan di Hari Ulang Tahun Bu Guru

Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi yang lain, saya masuk kelas setelah anak-anak kembali ke kelas seusai kegiatan bersama di ruang pertemuan bersama. Jam waktu itu masih menunjukkan pukul 07.45. Jam belajar akan segera dimulai.  Tanpa harus memilih kelas, saya masuk ke sebuah kelas yang saya sendiri merasa belum pernah masuk kelas tersebut untuk tahun pelajaran ini. Beruntung, anak-anak ternyata telah selesai malafaskan doa sebelum belajar.

Tiga anak sudah berdiri di depan kelas ketika saya datang. Masing-masing anak membawa kertas warna-warni yang dibagi-bagikan kepada semua teman-temannya. Dan ketika saya meminta penjelasan apa yang akan mereka lakukan, seorang siswa menjelaskan bahwa ia meminta waktu karena ingin memberikan kejutan kepada guru yang mereka cintai. Karena guru itu akan merayakan ulang tahunnya.

Tampaknya, inilah kegiatan yang baru pertama sekali saya dapatkan, yang dilakukan oleh para siswa, selama saya menjadi guru di sekolah. Rupanya sebelum membagikan kertas-kertas dan memberikan pesan kepada teman-temannya itu, ketiga anak tersebut teah membuat kesepakatan untuk sebuah kejutan kepada gurunya yang akan merayakan ulang tahun.

Saya masuk lebih dulu sebelum guru mata pelajaran pertama itu datang ke dalam kelas, yang kebetulan guru tersebut adalah guru yang akan diberikan kejutan oleh para siswanya. Kejutan apa yang akan diberikan siswa kepada gurunya itu? Adalah ungkapan kata indah dari masing-masing siswa. Dan itulah yang diinstruksikan siswa tersebut kepada teman-temannya.

Keep silent ya Pak Agus.” Kata dia mewanti-wanti kepada saya. Agar saya tidak menyampaikan informasi sehingga apa yang sedang mereka rencanakan itu tetap menjadi kejutan. Saya sepakat dengan apa yang menjadi program anak-anak itu. Dan hingga datang hari ulang tahun Ibu guru tersebut, saya benar-benar memegang taguh komitmen untuk memberitahukan apa yang saya tahu sampai saat saya menulis catatan ini.

Guru yang Dicintai Siswanya

Apa yang saya saksikan pagi itu di kelas, adalah pemandangan orisinil akan bagaimana anak-anak tersebut mengekspresikan rasa cinta mereka kepada gurunya dengan cara mereka.  Cara yang memang khas anak-anak yang baru saja masuk gerbang remaja awal.

Dari situasi itu pula saya bersyukur bahwa guru, yang juga adalah sahabat saya di sekolah, dimana saya berada dan menjadi bagian dari komunitas itu, mendapati arti yang penting di hati anak-anak didiknya di dalam kelas. Juga, bersyukur akan pengalaman pagi itu yang alhamdulillah, saya dapatkan.

Jakarta, 05 Nopember 2012.

04 November 2012

Sebuah Obrolan di Pantai Kukup

Namanya Pak Heri, pemilik penginapan yang baru memiliki lima kamar yang disewakan.  Dua kamar dengan air pendingin udara dan tiga lainnya berkipas angin. Lokasi penginapan itu sendiri tergolomg strategis. Berada persis di pinggir jalan di depan halaman parkir obyek wisata Pantai Kukup, yang terletak di Gunung Kidul. Nama yang akhirnya saya dapatkan ketika hari sudah mulai gelap. Dimana beliau itu selain memiliki lima kamar yang relatif baru dan bersih di wilayah pantai itu, juga adalah pemiliki warung makan yang berada di salah satu deret warung makan yang ada di sepanjang halaman parkir. Juga ada gerai pakaian dan cinderamata serta makanan kecil.

Saya dan keluarga memilih tiga kamar dari lima kamar yang ada. Dan seperti tahun sebelumnya, karena penjaga  penginapan juga adalah pemiliknya, maka harga yang dipatokpun, tetap dipaksa untuk dinegosiasikan oleh rombongan saya.

Ada beberapa informasi yang akhirnya saya dapatkan dari sosok Pak Heri, yang semula adalah pedagang ulet yang datang dan asli dari Purbalingga, yang akhirnya ngetem dan terdampar di Gunung Kidul, persisnya Pantai Kukup. Dan dalam perjalanan waktu, selain sebagai ‘pengusaha’ di Pantai Kukup itu, juga adalah PNS dari Pemkab Gunung Kidul. Yang tugas utamanya adalah menarik retribusi bagi pengunjung yang akan masuk wilayah pantai yang ada di Gunung Kidul. Pos kerja beliau adalah pintu masuk utama yang ada di Pantai Wedi Ombo.

“Alhamdulillah Pak, perjalanan hidup saya sudah tertata di pantai ini.” Katanya kepada saya yang menemani baliau untuk menunggu warung yang tidak pernah tutup. Maksudnya, memang seluruh toko dan warung baik cinderamata atau makanan yang ada di wilayah Pantai Kukup tersebut, tidak pernah tutup. Seluruh dagangan tidak pernah dikemasi oleh penjualnya. Maka ketika penjaga toko dan warungnya terlelap tidur, maka dagangan itu tetap berada di meja atau tetap tergantung di gantungannya. Aman!

Icon yang ada di Pantai Kukup. Dok.Pribadi.
“Terbayang sebelumnya akan perjalanan Bapak di sini?” Saya bertanya. Udara pantai yang berbau khas, dan deburan ombak pantai selatan yang tiada jeda, serta kopi sasetan, menemani obrolan kami malam itu.

Tidak sama sekali Pak. Nasib sebagai PNS yang menempatkan saya untuk berjaga di  pintu masuk obyek wisata ini Pak. Yang semua saya ada di pintu masuk obyek wisata Baron. Dari situlah perjalanan saya mulai. Menikah, berusaha, dan akhirnya menetap.” Jelas Pak Heri. Obrolan kami terhenti karena listrik tiba-tiba anjlok. Pak Heri mengaku bahwa tidak biasanya listrik mati. Tapi ketika saya masuk kamar, istri memberitahukan bahwa listrik tidak kuat karena salah satu kamar dari rombongan saya ada yang menanak nasi!

Obrolan terpaksa tidak dapat berlanjut. Tapi saya bersyukur dapat berkenalan dan bertukar no hp dengan Pak Heri. PNS  yang juga adalah pemilik usaha degan istri dan keluarga besarnya di Pantai Kukup yang menentramkan itu.

Jakarta, 04 Nopember 2012.

Tidak ada Lagi ‘Blumbang’ di Desa Saya

Sekarang ini, pada musim penghujan, apalagi musim kemarau, sudah tidak ada lagi blumbang, penampungan air, semacam kolam air yang dibuat secara sengaja di aliran saluran air, sudah tidak ada lagi di desaku. Tidak perduli apakah ketika musim penghujan tersebut hujan deras mengguyur dan melimpahi saluran, yang tetap eksis hingga kini itu, dengan  air yang banyak atau tidak. air-air yang ada itu akan segera lenyap dan seolah tidak tersisa di saluran. Sebuah hal yang sungguh berbeda ketika kecil saya di sekitar tahun 1970an.

Saluran-saluran air tetap ada dan dibiarkan mengering. Saluran yang berhulu di lereng bukit dan gunung yang berada tidak jauh dari stasiun yang ada di desa kami, yang menampung air untuk kemudian bermuara persis pekarangan saudara saya sendiri, yang tinggal di pinggir sungai. Di muara saluran air itu juga  dulu tumbuh beberapa pohon gayam dengan buahnya tiada henti sepanjang musim. Itu juga telah tidak ada lagi tidak kurang sepuluh tahun yang lalu.

Itulah wajah desa kami sekarang. 
Padahal di daerah pegunungan yang menjadi hulu dari saluran air yang melintasi desa kami itu sekarang penuh ditumbuhi tanaman keras. Pohon mahoni dan pohon jati ditanam , yang masing-masingnya berjarak hanya satu setengah meter tumbuh dengan baik. Yang selain berguna sebagai tabungan bagi pemiliknya, juga mestinya dapat berfungsi sebagai penghambat laju air di permukaan tanah yang ada di gunung itu untuk kemudian disimpan sebagai cadangan. Namun tampaknya air telah tidak tersedia lagi sebagai cadangan. Maka mata air telah benar-benar menghilang.

Itulah mengapa sehingga blumbang sudah benar-benar tidak ada dan kehilangan p=fungsinya sebagai penampung air dan tempat memelihara ikan bagi pemiilknya, di desa kami. Tidak ada tetangga yang sengaja menggali bagian saluran air yang melintasi pekaranganya untuk menahan air dan memelihara ikan. Sebuah kreativitas yang selain sebagai penyimpan air juga adalah sebagai penyimpan  lauk, bahan makanan.

Sebagai anak desa yang pernah ‘menikmati’ blumbang sebagai lokasi paling menawan untuk memancing, atau mencari kepiting dan udang, maka saya sungguh merasakan sesuatu yang hilang dari apa yang pernah menjadi bagian hidup dari orang-orang yang segerasi dengan saya di desa. Karenanya, saya dan teman segerasi, merasakan jauh bedanya perubahan yang telah terjadi di lingkungan hidup saya semasa kecil itu.

Inilah catatan akan keterlambatan aksi kita dalam menahan laju perubahan iklim, dari sebuah kacamata yang paling kecil di desa saya, blumbang! Sebuah keterlambatan yang agaknya sudah mustahil jika keadaan yang saya rindukan itu dapat kembali lagi. Agaknya juga, ia telah pergi untuk selamanya. Tidak ada lagi blumbang yang dibuat warga di saluran air, dan juga  pohon gayam yang tumbuh di bibir saluran air yang bermuara di sungai kecil yang ada di desa saya.

Jakarta, 04 Nopember 2012.

03 November 2012

Lestarikah Suweg dan Uwi di Pekarangan Rumah Kami?

Belum ada bekas tetes hujan di hamparan tanah pekarangan rumah, ketika saya datang untuk mengunjungi keluarga di kampung halaman.  Itu juga terlihat dari bersihnya tanah pekarangan dari rerumputan yang biasanya menutupi permukaan tanah. Hanya terlihat beberapa tanaman umbi yang masih muda usia. Tunas-tunas tanaman yang mengingatkan saya kepada masa lalu. Masa kecil dimana saya tumbuh di desa ini.

Tunas suweg Dok Pribadi.
Ada beberapa tanaman umbi itu yang diwaktu kecil benar-benar menjadi bagian inheren dalam hidup saya dan seluruh anggota keluarga. Karena umbi-umbian itulah yang menjadi makanan pengganti, kadang bukan lagi sekedar penambah, baik untuk sarapan pagi, atau makan sore. Bahkan diantara tanaman dari umbi yang kebetulan sedang tumbuh di pekarangan yang saya foto pada siang itu, ada yang kemudian diolah lagi untuk menjadi pengganti makan siang kami di desa. Sebuah pengalaman yang tiba-tiba tergambar kembali begitu kaki saya menginjakkan kaki tanah kering itu.

Tunas-tunas umbi yang mulai menyembul dari tanah itu, seperti tanda bagi kami bahwa tetes air hujan tidak akan lama lagi membasahi tanah-tanah kering. Ya, seperti juga pada waktu akan mulainya musim kemarau, diantara tanaman umbi itu, ada yang ketika kemarau akan datang mulai mengeringkan daun dan batangnya. Daun yang berjari-jari selayaknya daun pepaya namun dengan batang yang ada di bagian tengahnya sehingga memberi kesan semacam payang, itulah pohon suweg. Sebagaimana saya temukan pada pertengahan bulan April tahun ini, 2012, ketika pohon itu meninggalkan lubang di permukaan tanah dengan batang yang belum mengering benar. Sebuah tanda juga bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk menikmati umbi suweg yang berbentuk tidak terlalu bulat.

Tidak saja suweg, ada lagi satu tanaman umbi yang ketika siang itu masih bertunas. Dari tunasnya, kelihatan seberapa besar umbi yang yang ada dibalik permukaan tanah. Itulah umbian yang lebih enak dan lebih membuat kangen. Umbi yang ketika dimasak sudah cukup usia sehingga merekah lunak atau mempur, berwara ungu. Itulah uwi.

Dan dari dua umbi yang hingga sekarang masih mudah saya temui di pekarangan rumah itu, akan terlalu sulit untuk menjadi suguhan pengganti makan malam kami sore itu. Makan malam untuk istri dan anak-anak saya, yang memang tidak mengenal umbi-umbian itu sejak hadir di dunia.

Tunas uwi. Dok: Pribadi.
Dengan itulah saya berpikir bahwa akan menjadi langkalah umbi-umbi itu untuk tetap lestari dan tumbuh berbiak di pekarangan rumah manakala generasi berikut kami tidak mengenalnya. Itulah bayangan masa depan saya tentang makanan dari umbi-umbian yang hingga kini, alhamdulillah, masih mewarnai hamparan pekarangan rumah kami di desa.

Jakarta, 03 Nopember 2012.