Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

23 February 2016

Sumber Belajar di Ruang Tamu

Dalam catatan ini saya tidak ingin melihat sebuah fakta dari sisi pendidikan sebagaimana yang saya buat mengingat memang sehari-hari saya berada dalam dunia itu. Tetapi fakta pendidikan itu akan saya coba lihat dari sisi kehidupan yang memang menjadi urusan operasional kita masing-masing di rumah kita. Ini tidak lain adalah pertemuan antara saya dengan teman-teman ketika kami bersama-sama saling membutuhkan untuk berbagi semangat setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan kita masing-masing. Walaupun harus kami  akui bahwa kami sama-sama tinggal dalam satu kota.

"Bagaimana menemukan sumber belajar yang bagus Pak. Kita sekarang dalam keadaan yang amat sulit untuk menemukan sumber belajar yang dapat menjadi pelajaran bagi anak-anak kita." Demikian kalimat yang terlontar dari seorang teman ketika kita belakangan selalu disodori berita yang semakin hari bukan semakin baik berita yang disiarkan oleh media, tetapi justru kebalikannya. Berita itu semakin hari semakin bertambah-tambah sisi buruk yang disiarkannya. Tetapi itulah yang oleh Stephen R Covey disebut sebagai lingkaran pengaruh dan lingkaran peduli.

Ada situasi dan kondisi dimana memang kita tidak akan memiliki akses untuk berkontribusi atas permasalahan atau kondisi atau situasi yang terjadi. Meski mengemukakan pendapat. Selaliknya, ada juga situasi, kondisi, atau keadaan yang memang menjadi kewajiban kita untuk terlibat dan berkontribusi di dalamnya.  Itulah lebih kurang yang menjadi dasar berpikirnya Stephen R Covey saat menyebut lingkaran pengaruh dan lingkaran peduli.

Sumber Belajar?

Lalu apa yang ingin saya sampaikan disini dengan istilah pembelajaran tersebut? Sumber belajar? Atau lebih tepatnya sebagai sumber diskusi atas semua hal yang ada di ruang tamu kita begitu kita bersama-sama menonton televisi bersama anggota keluarga?

Yaitu bahwa tidak akan mungkin semua hal yang terlihat dan terdengar di layar tivi tersebut kita pilah-pilah dan pilih hanya berita yang baik saja yang tersaji. Karena semua yang ada di tivi akan menjadi bagian dari pengetahuan bersama kita. Lalu bagaimana dengan anak-anak kita yang ikut terlibat menjadi pendengar dan sekaligus penonton? Tidak lain adalah mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal yang tersaji.

Dan akan menjadi menarik ketika semua itu menjadi bahan diskusi keluarga yang telah memiliki 'koordinat kebijakan' yang dijadikan sebagai standar atau parameternya. Maka jika ini yang dilakukan sesungguhnya semua yang ada di ruang tamu kita ketika bersama menonton siaran televisi, akan menjadi sumber belajar, sumber diskusi, dan sumber penguatan bagi nilai-nilai yang dipegang di dalam keluarga tersebut. Dan jika ini yang menjadi cara pandang kita, maka kerisauan akan keberadaan berita yang tersiar di layar datar teevisi kita akan tidak menjadi kerisauan yang mencekam. Semoga.

Jakarta, 23 Februari 2016.

22 February 2016

Menumbuhkan Harapan?

"Meningkatkan kompetensi guru atau pendidik di sebuah lembaga pendidikan sebagaimana kita berada adalah sebuah kemutlakan. Karena apa yangberhubungan dengan Bapak dan Ibu guru memang tidak akan stagnan. Ia kan terus berkembang dan tumbuh sesuai dengan ekspektasi masyarakat yang ada. Oleh karenanya saya harus sampaikan kepada Bapak Pendiri, Pembina, Pengawas, dan Pengurus di lembaga ini bahwa kita akan melakukan peningkatan dan pengebangan guru dan sekolah atau tidak melakukan suatu apapun, maka tahun pelajaran depan akan tetap kita kunjungi. Pasti. Namun pertanyaan kita semua adalah, dalam bentuk seperti apa kita berada di tahun pelajaran depan itu? Apakah kita akan masih tetap mendapat kepercayaan masyarakat atau justru sebaliknya?" Demikian kalimat yang saya sampaikan kepada sebuah forum besar di sebuah Yayasan yang mengelola sebuah lembaga pendidikan yang juga besar.

Kalimat ini saya sampaikan sekaligus sebagai pendapat dan jawaban atas beberapa pihak yang menyampaikan kepada forum akan esensi sebuah gerakan perubahan yang menjadi usulan untuk menjadi sebuah usaha bagi penumbuhan harapan masa depan yang terus memiliki tren positif. Paling tidak sebagai usaha untuk tetap memberikan semangat tumbuh bagi teman-teman guru di lapangan agar terus terjaga dari aura zona nyaman. 

Penumbuhan Harapan?

Ini menjadi penting saya sampaikan di forum tersebut. Bahkan ini jugalah yang menjadi landasan mengapa saya harus sampaikan. Karena, pertama, sebagai lembaga pendidikan formal swasta yang pasti bergantung dengan terpenuhinya kuota bangku siswa yang tersedia setiap tahunnya. Hal ini sebagai dasar menghitung arus kas disisi keuangan.

Kedua, tren sebagai sekolah yang selalu terpenuhi kuota siswa barunya sudah memberikan sinyal yang kurang baik pada tahun-tahun terakhir. Oleh karenanya, maka tren ini menjadi parameter bagi kita untuk melihat kebelakang dan memilih jalan ke arah depan yang ebih cemerlang.

Ketiga, karena dengan tren yang ada tersebut, maka semua yang ada di unsur sekolah, baik yang ada di tataran pengelola, manajemen, guru, dan staf harus menjadikan data siswa sebagai cermin untuk melihat apa yang menjadi bagian yang perlu mendapat perhatian untuk sebuah perbaikan. Sebuah perubahan dengan melihat bagaimana situasi dan kondisi yang ada disekeliling kita sendiri.

Tetapi bagaimana jika sebuah rute jalan perubahan yang ditawarkan menjadi bagian yang justru mencurigakan? Maka kalimat saya itulah yang terpaksa harus keluar dari sanubari saya. Bahwa kita akan berubah atau tidak berubah, padahal sebagai lembaga kita sudah kurang menjadi pilihan, maka tahun 2020 atau mungkin lebih dekat lagi, tahun 2016/2017, pasti akan kita masuki. Karena tahun itu terus bergerak tanpa harus memiliki rasa perduli dengan apa yang kita lakukan atau yang tidak kita lakukan. 

Maka pertanyaannya adalah, apa pilihan yang harus kita ambil jika dihadapan kita sudah terdapat data dan fakta bahwa kita memang harus berubah? Yang saya sampaikan adalah, merubah diri sebagai upaya inheren bagi menumbuhkan sebuah harapan. Semoga. 

Jakarta, 22 Februari 2016.

Berbagi Halaman Buku

Berulang-ulang saya membolak-balik halaman buku yang menurut saya keren luar biasa. Dan dari beberapa kali membaca sekilas tentang buku itu, saya semakin penasaran untuk mempromosikan kepada teman-teman guru. Tujuannya hanya satu, supaya guru-guru dapat menerima vibrasi yang sama dengan saya berkenaan dengan apa yang disampaikan di buku itu. 

Beberapa kali saya sudah berusaha untuk membawa buku itu di hadapan guru-guru dan mengambil satu halaman sebagai 'kompor'. Namun belum berhasil juga membawa guru-guru itu pada demensi sebagaimana yang saya harapkan. Bahkan satu halaman itu saya sampaikan dalam bentuk cerita dan mencoba memaknai dalam tataran lokal. 

Mimpi saya padahal hanya satu, jika ini berhasil, maka saya akan meminta guru-guru untuk mengupas bagian-bagian dahsyat lainnya dari buku itu. Yang bagi seorang guru akan menjadi bahan luar biasa untuk memiliki keterampilan mengajar berbasis aktivitas yang aktif, kreatif, dan mencerdaskan. Dan, menurut hitungan saya, jika guru-guru itu interaksinya keren di dalam kelas, maka ujungnya adalah pada peningkatan kecakapan anak atau peserta didiknya. Tapi bagaimana?

Hingga akhirnya saya teringat akan sebuah aktivitas bersama mereka ketika kami mendapat buku tentang Bully Free Classrom beberapa waktu lalu. Dimana guru kami bagi dalam kelompok sesuai dengan bab yang terdapat dalam buku tersebut. Dan kepada masing-masing kelompok untuk dijadikan bahan diskusi dan sekaligus sebagai bahan buat masing-masing kelompok untuk presentasi kepada kita semua. Maka ketika semua kelompok selesai mendramatisasikan setiap bab yang ada di buku itu, kami semua belajar dengan utuh apa yang dmaksud dari isi buku tersebut. 

Inspirasi itulah yang akhirnya kami gunakan untuk kami gunakan sebagai strategi bagi 'memiliki' isi buku yang super duper bagus buat kami yang ada di dalam kelas. Yaitu berbagi halaman buku kepada teman-teman yang kami bagi dalam kelompok. Dimana masing-masing kelompok nantinya cukup belajar tentang satu hal yag terdapat dalam buku tersebut. Lalu masing-masing akan mendapat kesempatan untuk bergantian dan saling menyampaikan 'presentasi'. Semoga. 

Jakarta, 22.02.2016.

19 February 2016

Guru Honor, Teman Saya

Ketika ada yang harus berdemonstrasi di depan Istana Presiden beberapa waktu yang lalu, sebagaimana yang menjadi berita hangat koran dan media di Indonesia, maka teman saya tidak yang termasuk di dalamnya. Dia tidak pernah bercerita kepada saya bagaimana status ke-honorannya. Apakah dia masuk yang menjadi  K2 sebagaimana yang saya dapat berita atau belum, saya sungguh tidak tahu. Sekali lagi, ia tidak bercerita kepada saya berkenaan dengan statusnya.

Mungkin sebagai gambaran kita, perlu kiranya saya sampaikan disini bahwa guru honor teman saya itu berawal ketika sekolah negeri di Indonesia ditunjuk sebagai RSBI, atau Sekolah Rintisan Bersatandar Nasional. Dan pada masa itulah teman saya yang lulus dari Fakultas non kependidikan di sebuah  Universitas di Jakarta itu tertarik dan mendaftar sebagai guru honor. Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, ia mengajar Matematika.

Sejak kala itu, saya melihatnya ia menikmati dengan profesinya itu. Karenanya tidak pernah mendengar bahwa teman saya akan beralih profesi. Artinya, ia telah nyaman berada pada lokasi seperti itu. Sebagai guru honor Mata Pelajaran Matematika yang berbahasa Inggris dengan kurikulum Cambridge. Dan yang menjadi guru di sekolah swasta, karena memang dari sananya memang sebagai Sarjana Pendidikan juga tidak pernah banyak cerita tentangnya.

Lalu bagaimana sekarang setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan berlakukan sekolah dengan standar RSBI/SBI yang menelan biaya besar dari APBN itu? Teman saya yang guru honorer itu tetap nyenyak berada di lokasi kegiatan utamanya itu.

"Saya mengajar lebih kurang dalam satu semester itu 20 jam pelajaran setiap pekannya. Dan itu saya lakukan sesuai jadwal yang ada di sekolah dalam tiga hari. Maka dua hari yang tersisa saya sebagai guru piket." Begitu suatu hari ia bercerita kepada saya.

"Tidak tertarik menjadi guru dengan status swasta di sekolah swasta seperti sekolah saya? Dengan kemampuan bahasa dan kompetensi mengajar mungkin akan menjadi baik untuk masa depanmu jika memang bukan PNS yang menjadi tujuanmu?" Begitu saya mencoba membuka sisi yang  berbeda. 

"Sampai hari ini saya belum tertarik. Karena secara pendapatan saya lebih menikmati posisi sekarang sebagai guru honor." Jelasnya kepada saya.

"Memang status saya sebagai guru honor. Tetapi di luar tugas jam sekolah, dengan status itu saya banyak mendapatkan tambahan mengajar secara privat. Dan itu menambah pendapatan buat saya." Lanjutnya memberikan penjelas lebih detil. Saya diam. Dari kacakapanya, saya menemukan sebuah jalan hidup yang diyakininya. Jalan yang total berbeda dengan apa yang selama ini saya yakini sebagai guru yang swasta murni sejak awal mula sebagai guru hingga kini.

Dan cara memandang yang berbeda itu, membuat saya paham bahwa memang pendapatan yang teman saya kejar dalam mengajar selama ini. Bukan sesuatu yang salah. Tetapi hanya berbeda dengan apa yang saya yakini selama ini...

Jakarta, 19 Februari 2016.

17 February 2016

Seragam Saya basah

Benar sekali apa yang menjadi prakiraan cuaca hari ini, Rabu, 17 Februari 2016, bahwa wilayah Jabodetabek diguyur hujan. Maka ketika keluar rumah dengan sepeda motor pagi ini setelah 30 menit azan Subuh, titik-titik hujan itu mulai menetes di bagian lengan saya. Hingga akhirnya hujan itu benar-benar deras sebelum saya sampai di kantor. Waktu masih menunjukkan pukul 05.30 ketika hujan itu benar-benar turus dengan lebat. Maka perjalanan selanjutnya menuju kantor saya menggunakan bajaj. 

Rupanya belum lengkap apa yang telah saya jalani ketika dari rumah menuju kantor. Ini terjadi ketika di kantor pada pukul 06.00, listrik ternyata tidak menyala sejak kemarin malam. Dan tidak ada yang mampu menangani listrik yang mati ini selain teknisi yang biasanya sampai sekolah pukul 07.00. Tidak pilihan bagi saya dan beberapa anak selain duduk di hall sekolah sambil ngobrol.

"Malu Pak saya. Seragam saya basah." Begitu ujar seorang guru di koridor sekolah. Saat itu  pukul 07.30. Dan saya baru saja akan masuk ruangan kantor setelah sebelumnya berputar-putar seputar sekolah, termasuk melihat anak-anak kelas VI yang sedang bersiap untuk melakukan Try Out di lantai 3.

"Iya Pak basah karena hujan sejak dari rumah." Lanjut Ibu guru itu seolah meminta perhatian saya sekali lagi. Dan saya memang tidak memberikan respon kalimat sedikitpun. Bukan tanpa alasan sehingga saya berbuat demikian. Ini karena saya benar-benar bingung untuk mengatakan apa atas laporan atau lebih tepatnya keluhan Ibu Guru tersebut. Dan karena bingung untuk menemukan kata atau kalimat yang tepat, maka saya hanya tersenyum.

Dan bersyukur, bahwa itu adalah kalimatnya yang terakhir sebelum akhirnya Ibu Guru itu melanjutkan langkahnya menuju lokasi dimana anak-anak kelasnya menanti di sebuah ruangan di ujung koridor. 

Dalam ruangan, saya berpikir dan mencoba membuat berapa kalimat. Apakah mungkin Ibu Guru itu tidak menyadari bahwa ia berangkat dari rumahnya yang berjarak hanya 7 ribu rupiah jika harus naik bajaj dari sekolah memang sudah terlambat? Lalu, mengapa ia melaporkan bahwa seragamnya basah?

Apakah Ibu Guru itu tidak berpikir kalau orang yang dilaporinya sudah harus keluar dari rumah pada saat beberapa menit selepas azan subuh? Sehingga kalau demikian maka jika ditimpa hujan lebih berhak untuk mengatakan dan melaporkan basah?

Apakah juga tidak terpikir olehnya kalau ada temannya yang di tinggal di wilayah Bekasi dengan mengendarai motor harus menyeberangkan motornya di wilayah Cakung yang tergenang ketika jam masih pukul setengah tujuh? Apakah ia tidak terpikir bahwa keluhannya itu sebenarnya membuktikan bahwa ia sesungguhnya telah berperilaku ego sentris, dimana tidak melihat orang tetapi hanya ber[usat kepada dirinya sendiri?

Hari ini, saya telah belajar bagaimana orang yang hanya mampu melihat dirinya sendiri. Padahal ia berada diantara orang lain dan orang banyak.

Jakarta, 17.02.2016.

Pak, Saya Izin...

"Pak hari ini saya izin tidak masuk sekolah mengajar karena harus mengantar Ibu Mertua ke Rumah Sakit." Demikian berita yang saya terima pagi hari ini. Sebuah berita yang biasa dan lumrah kalau pengirimnya itu adalah seorang guru yang memang jarang-jarang melakukan hal seperti itu. Tetapi dari guru yang ini, maka sms itu menjadi sesuatu yang mengaduk-aduk nurani serta kesabaran saya. Betapa tidak, dalam semester 2 yang baru menginjak pekan ke-6 ini, saya telah mendapatkannya izin tidak masuk kerja sebanyak 3 hari kerja, dan pulang lebih awal rata-rata 1 hari kerja disetiap pekannya. 

Kesebelan saya bertambah-tambah ketika, pertama; saya memberikan laporan hal ini kepada atasan saya dan atasan saya justru membalikkan kepada saya. "Oleh karena itu Bu, mengapa guru model seperti ini Ibu selalu berikan kepadanya kinerja BAIK? Dan klasifikasi berkinerja BAIK itu kenaikan gajinya akan seiring dengan standar kenaikan gaji pada tahun ini? Jadi kalau memang dia seperti ini, maka jadikan apa yang memang terjadi menjadi tampak di dalam lembaran kinerja guru yang bersangkutan?" 

Jawaban itu menjadikan laporan yang saya sampaikan kepada atasan justru berbalik menjadi bumerang. Memberikan bukti bahwa saya hanya responsif ketika melihat dan membaca kenyataan bahwa guru tersebut tidak layak mendapat predikat sebagai guru yang berkinerja BAIK. Saya merasa menyembunyikan apa yang menjadi kenyataan.

Dua, ternyata saudara muda guru yang sering izin tersebut pada waktu yang bersamaan, yaitu pada waktu beliau izin untuk mengantar Ibu mertuanya ke Rumah Sakit guna mengobati kanker yang terdapat di mulutnya, justru mengunggah foto  dan sekaligus membuat status baru; bersama teman-teman menonton film? Jadi, apakah sang Ibunda mertua benar-benar sakit dan beliau bawa ke Rumah Sakit atau hanya ngibul?

Tiga, Bukankah sebenarnya hari ini kelasnya, siswa dan siswinya, sedang mengadakan kunjungan ke luar sekolah? Bukankah jika demikian adanya maka guru kelasnya bertanggungjawab atas kegiatan yang dia rencanakan sendiri?

Maka dengan kenyataan itu, saya menjadi benar-benar tidak habis berpikir. Bagaimana memberikan kesadaran kepada guru saya itu, yang memang secara fisik sudah mencapai bentuk yang dewasa tetapi psikisnya masih belum nyambung antara kewajibannya sebagai pekerja di lokasi kerja?

Itulah  SMS pagi ini dari guru saya...

Jakarta, 17.02.2016.

16 February 2016

Peduli Sekitar

Kemarin baru saja kami dibuat tersentak atas penemuan makhluk hidup di ruangan yang begitu dekat dan akrab keberadaannya dengan kami sehari-hari ketika jam kantor. Dan ini penting menjadi catatan saya karena ada tiga hal. Pertama, karena kelurahan dimana sekolahan kami berada, warga yang terserang BDB oleh sebab nyamuk, menduduki ranking tertinggi di Kota Madya. Kedua, yang menemukan makhluk hidup itu adalah perangkat Puskesmas. Dan ketiga, sekolah kan lokasi dimana anak-anak berada di pagi hingga siang hari?

Itulah jentik nyamuk. Makhluk hidup yang saya maksudkan. Dan ini membuat kami semua harus mawas diri betapa kami selama ini kurang terlalu peduli dengan lingkungan terdekat kami. Ini tidak lain karena jentik nyamuk itu kami temui di pembuangan air dispenser yang ada di ruang kerja kami. Dan berita ini menjadi 'tranding topic' dalam perbincangan kami selama satu hari kemarin.

Ini tidak lain karena wadah pembuangan air itu setelah dibersihkan kemudian di foto oleh atasan kami dan kemudian foto itu diunggah di ruang bersama. Dan kami semua bertanya-tenya dari dispenser yang mana wadah pembuangan air itu berasal. Dan semua boleh saling menebak-nebak.

Dan masing-masing tebakan tidak ada yang pas benar dengan apa yang disampaikan dalam grup bersama. Karena masing-masing tidak menyangka kalau wadah pembuangan air dispenser tersebut adalah salah satu dari yang terdapat di ruang kerja kami! Dan informasi inipun menjadi penutup dari tebakan dan jebakan pertanyaan yang disampaikan ketika gambar wadah pembuangan air itu di up load. 

"Mungkin itu dari dispenser yang ada di ruang kita." Demikian kata salah seorang dari kami yang ada di ruang guru lantai 3. Tetapi komunitas yang ada di lantai itu segera mengecek kebaradaan wadah pembuangan airnya. Apakah ada di tempat atau tidak. "Tetapi wadahnya tetap berada di tempatnya. Jadi tidak mungkin sebagaimana yang di dalam foto?" Kata yang lain dengan argumentasi membela diri.

Dan benar saja, baru saja kami selesai berdiskusi milik ruangan siapa wadah pembuangan air dispenser itu, datang pesan dari atasan kami;

Bapak Ibu, jentik nyamuk itu kami temukan di wadah pembuangan air dispenser yang ada di ruang Bapak dan Ibu Guru. Ini tidak mungkin terjadi bila kita semua menjadikan lingkungan kita sebagai bagian dari perhatian kita bersama. Tidak saling mengandalkan kepada teman sebelah untuk membereskan apa yang ada di lingkungan kita. 

"Jadi dispenser ruang guru mana Pak?" Begitu salah satu teman saya ngotot ingin mengkonfirmasi. Tetapi tidak ada jawaban yang jelas dari atasan kami. 

Dan sekarang, kami selalu waspada dengan genangan air,  meski itu hanyalah setetes...

Jakarta, 16.02.2016

15 February 2016

Tentang Jabatan

Dalam catatan ini, saya akan menjelaskan tentang jabatan yang saya maksud. Bahwa sebagai orang yang bekerja di lembaga pendidikan formal, atau sekolah, maka jabatan yang saya maksudkan adalah jabatan yang ada di lingkungan sekolah. Memang tidak akan banyak jenis jabatan yang ada di sekolah karena sekolah merupakan lembaga yang tidak terlalu ruwet terhadap jenjang jabatan yang tersedia. Meski itu adalah sekolah swasta.

Selain guru atau pendidik, maka ada jabatan struktural di atasnya berupa Guru Koordinator di setiap pararel atau rumpun pelajaran yang ada, selain juga ada Wakil Kepala dan Kepala Sekolah. Jadi terlalu sempit jika jabatan yang menjadi ukuran sukses karier seseorang.

Tetapi itu semua menjadi terbuka jika ada diantara kami yang begitu antusias dalam mengejar kepandaian. Baik sisi kematangan sosial maupun sisi profesionalisme seperti kepandaian guru dalam membuat pembelajaran di dalam kelas. 

Dan kepada guru-guru dengan model seperti itu, jabatan bukan menjadi dorongan utamanya untuk terus maju. Lalu jabatan akan menghampirinya secara suka rela. Bahkan teman dari sekolah lain memesan dengan santun akan kiriman teman terbaik saya yang saya [punya untuk menduduki posisinya di sekolah formal yang mengelola lebih kurang 250 tenaga pendidik dan kependidikan. Sebuah lembaga [pendidikan yang mengelola jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga jenjang SMA.

Jakarta, 15 Februari 2016.

Ingin Jabatan

"Kapan Pak Agus saya kebagian menjadi Wakil Kepala Sekolah." Kata sahabat karib saya ketika proses pemilihan Wakil Kepala Sekolah sedang berlangsung. Sebuah ungkapan yang saya tidak tahu apakah itu keluar sebagai kelakar atau memang jeritan hatinya. Mengapa? Karena kalimat itu keluar manakala kami sedang melakukan panel diskusi dengan sebagian kandidat Wakil Kepala Sekolah, yang mana karib saya itu menjadi bagian dari proses yang sedang kami jalani bersama. 

Jadi terus terang sulit juga bagi saya untuk mengomentari atau memberikan jawaban atas lontaran kalimat tersebut. Kalau saya melihat dan menganggap hal itu serius, pasti orang yang mengeluarkan kalimat tersebut memang tidak pantas menjadi bagian dari manajemen sekolah. Karena saya berasumsi bahwa karib saya itu hanya pas jika sekolah dalam kondisi kondusif dan tidak ada riak gelombang. 

Tetapi jika itu sebagai guyonan, sebagai kelakar seorang guru dengan teman karibnya, kepada saya, maka saya merasakan ada yang kurang beres terhadap teman karib ini. Karena kalimatnya itu bukan kalimat senda gurau. Bukan kalimat candaan yang pas dalam situasi seperti itu. 

Oleh karenanya, saya tidak sama sekali melihat atau menghubungkan kalimat tanyanya itu sebagai bagian dari unsur yang menjadi pertimbangan kami ketika kami mengumpulkan poin di akhir diskusi panel yang kami laksanakan. Dan kalau kami masukkan, pasti karib sayalah orang yang pertama kali mental dari kancah kandidat yang ada.

"Apa yang menjadi modal buat karib Pak Agus berkata seperti itu jika kalimatnya itu kita anggap sebagai kalimat serius?" Demikian kata teman saya yang menjadi salah satu penelis dalam diskusi panel tersebut.

"Mungkin senioritasnya." Kata saya sederhana saja.

"Tapi apakah cukup ingin suatu jabatan hanya dengan kapital senioritas di sekolah kita yang seperti ini? Apakah tidak memikirkan bagaimana menangani suatu ketidakpuasan pihak lain? Bagaimana berkomunikasi secara persuasi argumentatif dengan bahasa yang tetap santun?" lanjut teman saya. Dan dari kalimat yang disusunya, teman saya itu menyangka bahwa saya akan menjadi pendukung atas keinginan karib saya terhadap jabatan yang sedang kami proses pengisinya.

Saya tersenyum mendengar kalimatnya yang lumayan bertubi itu. Saya sendiri terpikir bahwa untuk sebuah lembaga pendidikan yang kompetitif, maka dibutuhkan manajemen yang juga pasti harus kompetitif. Dengan demikian karib saya harus berpikir sejauh mana nilai kompetitif dirinya untuk jabatan yang diingininya?

Jakarta, 15.02 2016.

Akhir Jabatan

Sebenarnya, untuk saya pribadi, ini bukanlah suatu hal yang menarik untuk kemudian saya jadikan sebagai catatan di halaman ini. Tetapi inilah yang saya dapatkan sebuah keluhan atau aduan dari teman yang memang sebenarnya tidak lagi akan berakhir jabatannya, justru malah akan selesai masa tugasnya. Namun entah karena daya dorong darimana beliau begitu enteng ketika bercerita kepada saya. Karena kemarin adalah hari dimana usianya sudah 54 tahun yang berarti tahun depan ia akan memasuki masa pensiun.

"Pak Agus, saya degar dari beliau bahwa kalau tidak diperpanjang jabatannya beliau akan memilih menjadi Dosen." Begitu kira-kira kalimat yang saya dapatkan dari teman yang sebentar lagi pensiun. Dia menyampaikan bertepatan dengan sebuah pertemuan rutin bidang SDM yang kami selenggarakan di lembaga dimana saya ikut terlibat di dalamnya. 

Terus terang saya bingung memberikan respon yang tepat dan baik serta elegan atas cerita, atau laporan, atau aduan teman tersebut. Namun yang saya ingat benar adalah, saya tetap mendengarkan dan menyimak apa yang disampaikannya kepada saya. Sekaligus saya mengangukkan kepala. Sekaligus juga berkecamuk pikiran bingung apa yang dimaksud dibalik kalimat 'tidak diperpanjang masa jabatannya', dan 'ingin menjadi dosen'.

Tidak Diperpanjang Masa Jabatannya

Atas kalimat tidak diperpanjang jabatannya setelah masa jabatannya selesai nanti, saya menjadi terpikir oleh semangat teman-teman yang lain yang menuntut sebuah 'suasana' berbeda dan berganti. Yaitu dengan suasana yang lebih menantang dan lebih bergairah dalam menerapkan situasi transformasi lembaga yang sedang dijalani. 

Dan dari semangat itu, maka ada kebutuhan baru dalam lingkungan manajemen selain hanya merotasi jabatan, tetapi adalah pemangku jabatan yang memahami ke arah mana kita akan pergi. Dan bagaimana kami semua dapat melakukan proses secara berhasil ke lokasi yang lebih kompetitif itu. Karena bagaimanapun, transformasilah satu-satunya cara untuk menjadikan kita semua berjalan berkesinambungan.

Lalu bagaimana jikalau pemangku yang akan datang adalah mereka yang kompetensinya telah kita pahami degan pasti, bahwa ia barulah bagus dalam menjaga stabilitas dan bukan yang lebih sigap dalam melangkah ke depannya?

Maka kalau kalimat  tidak diperpanjang jabatannya setelah masa jabatannya selesai nanti, saya lebih baik absen untuk memberikan jawaban spontan sampai menunggu tim dan berdiskusi dengan lebih detil lagi.

Ingin Menjadi Dosen

Dan dengan kalimat terakhirnya itu, saya justru merasa bersyukur bahwa kalau pun tidak diperpanjang jabatannya, maka masih ada lokasi baru yang akan menampungnya. Tetapi bukankah usianya sudah tidak muda lagi? Kalau begitu apakah bukan berarti saya sebenarnya sedang diberikan sebuah 'aba-aba' supaya mempertimbangkan akan berakhirnya masa jabatannya?

Jakarta, 15.02.2016.

11 February 2016

Kandidat Pengganti

"Apa yang harus lakukan Mas ketika teman-teman di bagian operasional sulit untuk melakukan ekskusi atas apa yang telah disepakati sebagai program kerja?" Demikian antara lain keluhan atau curahan hati teman karib saya ketika menghadapi masalah di tataran operasional di lembaga dimana ia harus menjadi bagian pembuat kebijakan.

Karib saya itu tiba-tiba mengadukan suasana hatinya yang benar-benar di puncak kejenuhan setelah bertahun-tahun menjadi penanggungjawab kebijakan di bagian pendidikan sebuah lembaya yang mengelola pendidikan formal di Jakarta. Kejenuhannya semakin menjadi ketika banyak sekali apa yang sudah digariskan bersama di tataran kebijakan untuk diimplementasikan dalam kerangka kerja di lapangan tetapi tidak bisa jalan juga.

Kejenuhan yang menjadi memuncak ketika masyarakat seperti semakin menjauhi apa yang dolakukan di lembaga pedidikannya dengan terlihat dari animo mereka untuk menjadi bagian di kala penerimaan siswa baru. Semakin tahun, secara signifikan sejak 4 (empat)  tahun belakangan ini. Berharap yang tinggi dengan program kerja yang berdiversifikasi untuk kembali menarik perhatian masyarakat luas, tetapi jeblok dalam implementasinya.

Sebab inilah yang menjadikannya datang kepada saya dan mengadukan kesedihannya. berbagi kisah sulit.

"Bagaimana saya harus memulai dengan kenyataan seperti ini? Dari mana saya mengajak teman-teman di sekolah untuk berangkat menuju perubahan?" lanjutnya kepada saya. Alhamdulillah, sejak saya menyimak apa yang menjadi masalahnya saya sedikit mendapatkan gambaran akan lebar dan luas masalahnya.

"Kepada siapa Anda berharap agar program kerja yang dibuat diimplementasikan di lapangan?" Tanya saya kepadanya. Sembari menatap halaman kertas yang saya tulis berkenaan dengan program-program yang dianggapnya unggul dan mampu menjadi sisi yang deferensiasi sekolahnya.

"Yang pertama dan utama ya pasti kepada manajemen sekolah. Kepada Kepala Sekolah dan wakil-wakilnya." jelasnya dengan mantaf.

"Berapa persen atau berapa banyak, jika dinilai dari skala penilaian 1-100, terhadap keterlaksanaan program tersebut?" Kata saya mencoba mengejar jawabannya supaya dengan begitu, saya bisa 'menarik' logikanya kepada apa yang ingin saya sampaikan.

"Kalau ada beda yang besar dan sulit ditingkatkan harapanmu, maka sebaiknya sekolah mencari kandidat yang baru."

Jakarta, 11.02.2016

10 February 2016

Di Vila Linggi, Saya Menonton Teater Rakyat

Ahad, 7 Februari 2016, sebagai hari ketiga, kami berada di Pulau Dewata, saya berkesempatan menonton Teater Rakyat asuhan Bapak Ketut Sukadana. Sebuah tontonan yang baru kali pertama saya melihatnya. Konsep, panggung, pemain, dan jalan ceritanya berbeda sebagaimana yang pernah saya tonton di Uluwatu.  Lokasinya pun lumayan aneh. Disebuah Villa yang dibangun di pertengahan sawah, di Subak Kalangan Kebon, Singapadu, Gianyar, Bali.
Para penonton berada di sisi kiri dan kanan 'panggung' pertunjukan.

Pelataran yang menjadi halaman di villa, yang terdiri dari sebidang halaman rumput dengan ukuran lebih kurang 5 meter x 10 meter, kolam lumpur dengan air yang tidak dalam dengan ukuran lebih kurang 5 x 6 mater, plus sebuah pendopo yang berada di tataran atas halaman rumput tempat dimana dipan dan barong digantung dengan 4 tali. Di lokasi itulah para penari atau pemain teater rakyat tersebut ber-acting.
Babak awal pertunjukkan dimulai.

Permain diawali oleh seorang yang berperan sebagai asisten rumah tangga seorang pembesar desa yang rakus, yang digambarkan dengan meminta makan kepada si asisten rumah tangga dan dengan mempertontonkan cara makan yang tidak peduli rasa. Sampai dengan si juragan memotong hewan kurban untuk sebuah acara yang akan dilaksanakan.
Mononton bayangan di layar putih.


Cerita terus mengalir dengan durasi lebih kurang 90 menit tanpa jeda. Dengan panggung pertunjukan berpindah di tiga latar pertunjukan, pertama di lapangan rumput di hadapan kami, kedua adalah petak sawah kering yang berumput yang ada di undakan atas dimana layar putih terbentang. Dimana para penari menari di belakang layar terbentang tersebut dan kami melihat bayangan penari dengan atraksi yang diperagakan dengan bantuan cahaya lampu dan cahaya obor. Dan sebagai latar terakhir adalah petak sawah yang berlumpur dan berair, yang menggambarkan kesuburan, ujar Pak Ketut Sukadana.
Foto bersama dengan gaya menjulurkan lidah, semua penari dan pemain serta kami sebagai penontonnya.
Dan secara kesuluran, kami semua benar-benar puas terhibur akan atraksi dan penampilan dari sebuah pertunjukkan yang langka bagi kami. Untuk itulah kami mensyukuri atas kesempatan yang kami dapatkan ini. Mungkin Anda tertarik?

Jakarta, 9-10 Februari 2016. 

02 February 2016

Antara Citra dan Fakta #2

Ini masih tentang kelanjutan dari fenomena pekerja, yang dengan kebanggaannya membuat citra yang bagus untuk tampil maksimal ketika berada di area publik. Visi utamanya di area itu tidak lain adalah dikenal sebanyak mungkin orang. Dikenal karena 'profesionalnya', dikenal karena pandainya mengemukakan banyak gagasan yang cermerlang, dikenal karena pengetahuannya yang luas. Dan beberapa diantara orang-orang yang mengenal dirinya akan melihatnya itu sebuah kesempurnaan yang menginspirasi. Paling tidak itulah asumsi beberapa orang yang mengenalnya di ruang publik. Pendidik profesional.

Dan itu semua pada tataran pencitraan yang ada dalam pemahaman saya. Sebuah sosok pendidik yang ideal. 

Namun begitukah yang menjadi sosok sesungguhnya dalam tataran kehidupan nyata? Mungkin kita perlu mengenalnya lebih dekat lagi. Atau mengenalnya dalam kurun yang lebih lama lagi. Ini untuk memberikan tenggat buat kita agar dapat menemukan unjuk kerja atau pola hidup yang benar-benar nyata.

Perlu pula melihat perjalanan karir dan persahabatannya dengan teman satu kantor atau satu lokasi kerjanya. Atau bila mungkin, mengunjungi apa yang sebenarnya yang ia sedang jalani dalam hidup sehari-hari di dunia nyatanya. Karena dengan ini kita baru akan menemukan sejauhmana inspirasi yang memang selayaknya kita terima.

"Apakah Pak Agus mengenal dengan baik dengan Pak Itu?" Begitu salah satu pertanyaan konfirmasi yang saya dapat di sebuah kegiatan keguruan. Dan menjawab dengan apa adanya. Karena sungguh saya mengenalnya dengan begitu baik.

"Saya bermaksud membawa teman-teman dari sekolah dimana saya membantunya untuk dapat mengunjungi dan berdiskusi dengan beliau. Sekaligus ingin melihat bagaimana penerapan konsep yang beliau kemukakan dalam forum-forum pelatihan. Kami sungguh ingin belajar. Karena saya mendapat kesan bahwa sekolah beliau adalah sekolah yang begitu kompetitif." Begitu teman saya memberikan argumentasinya.

Saya tentu menjadi buntu kalimat. Sulit melanjutkan percakapan. Saya hanya memberikan kepadanya alamat dan no seluler yag dapat mereka hubungi...

Jakarta, 2 Februari 2016.