Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

02 November 2018

Gorontalo dan Manado sebagai Kota Pedas

Pada akhir bulan Oktober 2018 lalu, saya mendapat kesempatan untuk ke dua kota yang sebelum masa revormasi lalu masih berada di dalam satu provinsi Sulawesi Utara, yaitu Gorontalo dan Manado. Sekarang, dua kota tersebut berada di dua provinsi, yaitu Gorontalo yang ada di Provinsi Gorontalo, dan Manado yang ada di Provinsi Sulawesi Utara.

Tanggal 25 selepas waktu Isyak saya tiba di Bandara Djalaluddin, Gorontalo dan dilanjutkan dengan makan ikan bakar di Rumah Makan Telaga. Esok dan lusa harinya, saya berkegiatan bersama guru-guru  yang ada di Gorontalo di sebuah aula yang besar. Kegiatan ini di organisir oleh Sekolah Islam Terpadu Al Islah dalam tema pelatihan guru. Dan selama tiga hari di Gorontalo, menu utama yang tersaji adalah ikan dengan dua jenis sambal yang disediakan secara berlebihan bagi saya. Yaitu sambal dabu-dabu dan sambal roa. Beberapa sajian ikan yang ada, sebenarnya sudah berlumur sambal, tetapi mungkin karena sudah menjadi kebutuhan bagi orang setempat, maka rumah makan tetap menyaediakan bagi kami tambahan sambal. 

Saya, yang memang bukan berasal dari alam yang menggemari sambal, maka ketika pelayan tetap menyajikan sambal di meja, selalu berdecak dalam kekagetan. Selalu teringat akan rasa panasnya ketika ke belakang esok harinya. Oleh karenanya, cukup bagi saya merasakan sambal yang tersaji secukupnya. Berbeda sekali dengan teman-teman yang begitu nikmat ketika menikmati sambal bersama ikan dan nasinya.
Alhamdulillah, semua sajian habis kami santap. Termasuk sambalnya! Di rumah makan Telaga, bersama teman-teman dari Al Islah, Gorontalo.

Demikian pula ketika saya sampai di Manado, yang langsung menuju rumah makan dengan menu ikan mujair bakar, yang lagi-lagi telah penuh dengan lumuran sambal dabu-dabu, namun juga diberikan tambahan sambal yang penuh di piring sambal untuk masing-masing porsinya. Kai datag makan ikan bakar itu berempat. Saya, teman saya dengan kedua putranya yang santun-santun.
Untuk makan cemilan khas seperti goreg stik goroho, tahu goreng, dan pisang kipas girang, sambal roa tetap menjadi bagian melekat darinya. Sajian cemilan santai di Pantai Malalayang, Manado.

"Iki sambele kabeh mengko iso enthek? (Semua sambal ini nanti bakalan habis?)" Kata saya kepada Daryanto sahabat yang saya kunjungi dalam bahasa ibu kami. Pernyataan ini karena melihat bagaimana banyaknya sambal yang disediakan untuk porsi satu ikan mujair bakar.

"Nanti kami bisa liat Gus." Katanya. Dan benar. Semua sambal benar-benar bersih!
Itu adalah penampakan ikan dengan warna merah sambal. Makan bersama Daryanto di rumah makan dekat Bandara Sam Ratu Langi, Manado.

Maka tidak salah jika kunjungan saya di kedua kota tersebut dengan pengalaman sajian sambal dan kemampuan menyantap sambal bagi para pengunjungnya di rumah makannya, layak jika saya menyebut kedua kota itu adalah kota sambal!

Jakarta, 2 November 2018

No comments: