Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

16 October 2012

Kinerja #3; Melihat Guru = Belajar

Setelah berlalu beberapa lamanya dalam  posisi saya sebagai Kepala Sekolah, maka interaksi saya dengan siswa di dalam kelas yang saya lakukan bukan  lagi interaksi formal proses pembelajaran. Walapun kesempatan seperti itu selalu saya ciptakan atau situasi yang menghendaki. Tetapi semua dalam koridor informal. Karenanya apa yang saya sampaikan adalah presentasi ketokohan seorang pahlawan, menyampaikan hasil apa yang saya baca dari sebuah buku sebagai penyemangat dan inspirasi untuk bekerja atau belajar lebih baik dan lebih keras, atau sekedar mengajak diskusi tentang hal-hal mutakhir yang terjadi di jagad politik atau masyarakat.

Dan itu berarti, proses kreatif saya dalam pembelajaran formal praktis terhenti. Karena berada pada posisi Kepala Sekolah  memberikan kepada saya fokus dan ruang belajar yang berbeda. Meski berhimpitan atau bahkan bersinergi, tetapi karena obyek yang berbeda maka tentang praksis pembelajaran di kelas menjadi keahlian guru-guru saya di sekolah.

Melihat itu semua maka ketika melihat guru sedang bersama peserta didiknya di dalam kelas, adalah kesempatan bagi saya untuk belajar dan menyerap bagaimana guru itu melakukan interaksinya. Dan itu menjadi sumber ilmu tersendiri dan istimewa. Bayangkan jika dalam satu pekan saya melihat satu hingga empat kelas dimana guru sedang melakukan pembelajaran dengan strategi yang hebat, bukankah dalam satu semester saya punya pengalaman yang banyak? 

Dan dari sekian banyak hasil kunjungan saya ke kelas itu, setidaknya ada satu pengalaman yang bisa saya bagikan disini berkenaan dengan efek positif saya dapatkan dari melakukan penilaian kinerja guru. Yaitu ketika saya masuk di salah satu kelas di SD kelas lima. Rupanya anak-anak sedang belajar tentang makanan sehat dan kandungan gizi yang terdapat dalam makanan. Suatu bahasan yang sederhana, tetapi saya beruntung ketika melihat guru kelas lima tersebut mengajarkan pahasan itu dengan cara yang super duper ciamik.  Yaitu dengan metode debat.

Ketika saya datang, kelas sudah di setting menjadi lima kelompok yang saling berhadapan., dan membentuk sedikit lingkaran. Kelss itu menjadi terasa sempit karena lay out meja yang demikian. Tetapi tidak ada wajah dari para peserta didik itu yang tidak sumringah. Dalam setiap kelompok meja, berada pada masing-masing posisi  atau peran yang berbeda-beda. Dalam kelompok-kelompok itu ada yang berperan sebagai pengusaha makanan cepat saji' yang membuka restorannya dengan langganan tetapnya adalah para pelajar,  ada kelompok yang berperan sebagai pihak pemerintah yang berwenang dalam mengeluarkan izin restoran, para siswa sekolah  yang adalah para konsumen bagi restoran cepat saji tersebut, kelompok berikutnya adalah kelompok yang berperan sebagai orang tua yang peduli pada makanan bergizi, dan sebagai kelompok  terakhir adalah kelompok yang terdiri para ahli gizi.

Ketika saya masuk ruangan kelas, rupanya debat sedang berlangsung. Masing-masing kelompok dengan perannya masing-masing beradu argumentasi. Guru dalam ruangan itu menjadi moderator debat. Suasana menggairahkan bukan kepalang. menyenangkan sekali. Saya sendiri terperanggah. Bagaimana guru dapat menciptakan suasana belajar semacam itu? Saya kagum sekali.

Ketika jam sekolah berakhir, saya kembali ke ruang kelas tersebut dan bertemu dengan guru dan partnernya. Saya sampaikan apresiasi saya dan bertanya: Bagaimana Anda bisa membuat suasa belajar tentang makanan dengan begitu antusianya? Dan guru itupun menyamaikan bahwa mreka menyiapkan acara debat itu sejak tiga pekan yang lalu. Dan masing-masing kelompok yang ada yang akan ada di dalam debat diminta membuat presentasi dari sudut pandangnya tentang makanan. Dan jadilah kelas debat itu.

Jadi benar bukan jika kita, sebagai supervisor, melihat guru yang sedang mengajar di dalam  kelas sesungguhnya kita sendiri sedang belajar tentang bagaimana melakukan pembelajaran dengan sukses? Bukan sebaliknya; membuat penghakiman kepada guru yang seolah ingin menafikan bahwa kita lebih jago ketika sedang interaksi edukatif dengan siswa di kelas?

Jakarta, 16/10/2012

No comments: