Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

16 October 2012

Idul Adha #6; Mensyukuri Nikmat

Kegiatan 'tebar hewan kurban' yang menjadi program tetap di sekolah kami setiap tahunnya, dengan cara pelaksanaan pemotongan kurban yang disalurkan peserta didik kami di lokasi yang berbeda-beda pada setiap tahunnya, memungkinkan kami untuk bertemu dan bercengkerama dengan beragam kondisi masyarakat yang kekurangan atau kurang beruntung. Dan dalam menyaksikan kegiatan ini, kami tidak sekedar bertemu dengan saudara-saudara di tempat yang dekat Jakarta atau yang lebih jauh, dengan kekurangberuntungannya, tetapi juga merasakan nafas mereka meski hanya dalam kurun waktu yang tidak leih dari 24 jam. Karena biasanya kami akan datang sore hari sebelum pelaksanaan pemotongan kurban yang berlangsung esok paginya. Maka di sela waktu itulah kami saling bertemu dan bertatap muka.


Misalnya ketika tahun lalu 'tebar hewan kurban' sekolah kami berlangsung di wilayah Bogor, dimana saya menjadi bagian dari panitia yang berkesempatan menyaksikan bagaimana masyarakat bertahan atau mempertahankan hidup. Padahal lokasi yang kami kunjungi itu tidak lebih dari empat kilometer dari pintu tol kota Bogor dari Jagorawi. Atau lebih kurang tiga setengah kilometer dari terminal Baranangsiang.

Menuju ke lokasi itu, kami harus melewati jalan aspal di depan  sebuah sekolah  swasta bertaraf internasional untuk kemudian masuk ke sebuah perumahan. Di salah satu ruas jalan perumahan itulah saya dan rombongan keluar komplek perumahan dari sebuah jalan tikus yang tampaknya akan digembok bila malam datang. Kami turun untuk masuk menuju ke daerah yang dimaksudkan.

Tidak semua warga tidak beruntung di daerah itu. Seperti rumah sahabat saya yang kebetulan adalah pengasuh Madrasah yang lumayan maju di daerah itu.  Demikian juga tetangga yang lain. Sebagai ukuran mampu, kami melihat bahwa sebagian mereka tampaknya akan membuat bilik-bilik rumahnya sebagai tempat kos. Dan inilah yang menjadikannya mungkin untuk lebih dari bertahan. Namun ketika kami berjalan lebih ke dalam, menuju ke arah sebuah bukit. Di lokasi inilah kami masih banyak  bertemu dengan warga yang memasak makanan dengan kayu bakar. Dengan, tentunya, bangunan rumah yang sudah terlihat rapuh dan tidak kokoh lagi. Kami yakini kalau mereka inilah yang sunggu kesulitan meski hanya untuk sekedar bertahan. Mata pencaharian yang dulunya sebagai petani sudah tidak memungkinkan lagi. Sedang berdagang? Ada saya temukan diantara rumah-rumah itu kios warung menuman atau gerobak es yang tidak tampak sumringah. Kuyu!

Demikian pula ditempat lain yang pernah saya hadiri. Seperti di sebuah desa yang ada di kecamatan Muara Gembong, Bekasi. Tampak sekali sebagian masyarakat yang tinggal di rumah dengan pondasi yang rendah dan hampir sejajar dengan permukaan halaman. Yang menyebabkan kondisi ubin di dalam rumah selalu akan dirayapi rebesan air yang sudah tidak lagi bersih. Ini karena sebagian dari sawah-sawah atau empang-empang yang sebelumnya menjadi lahan pencaharian sudah tidak menyediakan air bersih lagi. Sebagian besar airnya seperti tercemar oleh limbah.

Maka cara bertahan yang mereka lakukan adalah juga dengan berdagang plus memelihara bebek yang jumlahnya tidak seberapa. Yang lebih kreatif adalah menebar ikan di empang belakang rumahnya dan menjadikannya tempat pemancingan.

Atau tempat-temapat lain yang hampir-hampir satu irama dan nada. Wajah yang terlihat dari semua yang kami kunjungi adalah wajah-wajah yang menerbitkan rasa syukur bagi kami para rombongan panitia 'tebar hewan kurban' yang menjadi kegiatan tahunan di sekolah kami. Alhamdulillah.

Jakarta, 15-16 Oktober 2012.

No comments: