Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

21 February 2012

Otak Paspasan

Dalam cerita saya kali ini, saya masih akan menuliskan antara lain tentang apa yang dirasakan oleh anak-anak peserta didik saya di sekolah. Perasaan yang sangat boleh jadi merupakan perasaan menekan, atau perasaan ketidaknyamanan. Yaitu berkenaan dengan tulisan mereka tentang apa yang mereka alami di rumah bersama orangtuanya. Dan tampaknya tidak semua cerita dari anak-anak itu merupakan kebahagiaan atas interaksi mereka dengan orang yang ada di rumah, tetapi juga sebaliknya.

Dan dari tulisan seorang anak yang di pajang atau didisplay di papan display sekolah itu, saya dapatkan cerita ini.

Kegiatan memajang hasil kerja anak tanpa memandang kualitasnya hasil kerja mereka di papan display sekolah merupakan salah satu dari sekian prinsip yang kami miliki. Hal ini untuk mengikis cara pandang yang membeda-bedakan antara salah seorang anak dengan anak yang lain. Karena kami berpandangan bahwa semua anak memiliki positifnya masing-masing. Tnpa terkecuali dalam menghasilkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang saya baca itu.

Misalnya saja dalam hal gaya tulisannya. Memang masih ada yang bentuk tulisannya masih sangat sederhana. Atau ada juga tulisannya yang belum memiliki konsistensi ukuran, dimana ada huruf yang berukuran relatif besar dibanding dengan huruf yang lain dalam satu kalimat atau bahkan dalam satu baris, sehingga secara keseluruhannya menjadikan ketidak rapian. Atau juga dalam menggunakan huruf kapital untuk awal kalimat atau nama orang atau nama tempat. Semua kami pajang tidak terkecuali.

Otak Paspasan

Salah satu dari tulisan yang dipajang itu adalah karangan salah satu anak yang bercerita tentang ketidakjujuran. Dimana suatu kali ia tidak mengatakan atau tidak menyampaikan kepada kedua orangtuanya bahwa akan ada satu pekan untuk ulangan harian dari gurunya di sekolah. Hingga hari ketiga ulangan  berlangsung, baru kedua orangtuanya tahu kalau pekan tersebut adalah pekan ulangan dari sesama orangtua. Dan karena itu, ia mengaku berbohong. 

Dia melakukan itu karena memang dia masih ingin menikmati hari-harinya sepulang dari sekolah dengan irama yang sama. Karena jika orangtuanya mengetahui kalau pekan tersebut adalah pekan ulangan, maka keduanya akan meminta dia untuk konsentrasi dengan ulangan tersebut. Dengan memberikan jam belajar yang lebih dari hari-hari biasa ketika tidak ada ulangan. Hingga menonton televisi pun harus dijadwalkan. Ini jga hal yang wajar sebagai orangtua dalam mengingatkan anaknya akan tugas yang harus menjadi prioritasnya.

Alhasil, ketidakjujurannya itu membuat dirinya mendapat kata-kata yang tidak baik baginya. Seperti kata otak paspasan itu. Entah disadari atau tidak, orangtuanya mengatakan itu untuknya ketika mengetahui berapa nilai ulangan harian yang dia peroleh dari mata pelajaran yang diikutinya dengan tanpa memberitahukan kepada orangtuanya tentang jadwal ulangan yang terjadi.

Refleksi Saya

Orangtua ini tega sekali. Begitu komentar salah seorang guru  teman saya. Komentar ini disampaikan begitu dia selesai membaca tulisan yang merupakan salah satu hasil kerja siswa tersebut. Dalam hati saya berpikir relatif sama, bahwa masih ada beberapa orangtua yang memberikan atau menentukan ekspektasi kepada anak-anak mereka sebagai robot. Yaitu dengan cara mengkloningnya. Oleh karena itu manakala ekspektasi itu belum terwujud, keluarlah label-label tertentu dengan tanpa mempertimbangkan tahapan psikologis anaknya jauh dikemudian hari.

Saya juga teringat apa yang telah kami lakukan bersama teman-teman di awal tahun pelajaran lalu untuk memberikan proteksi kepada seluruh komunitas sekolah akan terjadinya bullying. Dan untuk itu, kami bersam menyadarkan diri tentang bully dan uga tahapan proteksinya. Namun dengan salah satu contoh kasus otak paspasan itu, bagaimanakah kami dapat menjangkaunya? Itu masuk dalam ranah yang sensitif.  Tapi akan kami ikhtiarkan bagaimana 'penemuan' ini menjadi 'alat bukti' bagi kami untuk tidak saja mendidik anaknya tepi juga kedua orangtuanya.

Pelajaran lain yang berharga berikutnya selain dua hal tersebut diatas, khususnya bagi saya adalah sebagai pelajaran berharga agar saya mampu melihat dengan jernih akan kompetensi anak-anak saya sendiri di rumah. Agar peristiwa serupa tidak terjadi. Amin.

Jakarta, 21 Februari 2012.

No comments: