Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

20 February 2012

Kalau Mudah Bisa, Mengapa Harus Bersusah-payah?

Ini adalah fenomena yang sangat menggelisahkan saya dan teman-teman yang berkecimpung di sekolah sebagai pendidik. Betapa tidak? Ada indikasi peningkatan anak-anak kita di sekolah yang mulai pandai untuk memilih jalan perjuangannya secara prakmatis. Kok bisa? Ini saya kira karena selain kecerdasan yang anak miliki juga karena begitu mudahnya informasi itu sampai kepada kita baik yang melalui berita di TV, atau internet, atau bahkan bisik-bisik.

Kisah atau berita tentang bagaimana seorang pegawai dapat memiliki kendaraan super mewah, rumah yang luar biasa megah, dan tentunya penampilah yang selalu mahal, itu terus menerus berlangsung sejak yang bersangkutan dilakukan penyidikan hingga putusan pengadilan yang memakan waktu berbulan dan di cover dalam berita apap dan mana pun? Juga bagaimana kisah setipe yang lainnya yang juga tidak kalah dahsyatnya? Dan itu semua ditambahkan dengan lingkungan terdekatnya yang memang memberikan indikasi dukungan, baik  dukungan dalam bentuk materiil dan immateriil? Semua itu telah memberikan semacam panduan hidup bagi generasi muda kita sekarang ini. Hidup model seperti apa? Ya hidup yang berujung kepada enak (baca: mewah) dengan kerja yang rileks (baca: instan). Dan itu benar-benar telah menjadi kenyataan di masyarakat kita.

Lalu, apa implikasinya dengan apa yang ada di dalam kelas kita? Setidaknya ini yang saya alami. Yaitu minimnya daya juang atau motivasi pada sebagian anak untuk memperoleh sesuatu yang sangat mungkin dia dapat dengan batasan yang optimal. Karena semua kerja dan tugas sekolah yang mereka harus jalani hanya diukur dengan hasil yang penting cukup. Cukup sebagai syarat untuk dapat lulus atau untuk dapat naik kelas. 

***
Saya sebut saya salah satu anak saya itu dengan panggilan Tat. Dimana kalau melihat potensi akademis atau non akademisnya, Tat layak untuk mendapatkan hasil belajar yang jauh lebih baik dari apa yang ia dapat persembahkan untuk masa depannya. Misalnya saja dalam akademik, ia tergolong anak yang sesungguhnya layak mendapatkan hasil belajar 9. Namun karena tidak atau kurang memiliki daya juang, maka nilai akademiknya berkisaran 7 atau 8, atau kadang bahkan hanya memperoleh angka 6. Benar bahwa angka-angka itu bukan jaminn menjadi berhasil. Tapi bagaimana jika angka itu memberikan isyarat kepada kita bahwa ia tidak melakukan usaha maksimal atas potensi yang dapat melejitkannya?

Juga dalam bermain futsal atau pada cabang olah raga yang lainnya. Ia tergolong anak yang pintar  di tengah lapangan. Hampir semua temannya memintanya masuk dalam timnya ketika akan bermain futsal di lapangan sekolah. Ia juga tidak memiliki kesulitan dalam bergaul sesama temannya. Pendek kata, Tat anak tipe anak ideal. Tapi ada juga yang menjadi gangguan ia dengan prestasinya selama ini, yaitu kestabilannya untuk tetap dalam vobrasi positif.

Suatu saat saya bertemu dengan orangtuanya, terutama ayahnya. Dan ketika bicang-bincag, ayahnya berkata: Biar Pak anak saya tidak hidup susah, karena saya dulu telah megalaminya. Sekarang anak saya jangan lagi.

Saya berpikir, mungkin sekali ayah Tat tidak menyadari betapa bahayanya pernyataan atau bahkan mungkin prinsip yang disampaikan dan dipegangnya itu. Ayahnya mungkin tidak sdar bahwa keberhasilannya sekarang ini berawal dari 'tantangan' hidup yang dia sebut sebagai hidup susah itu? Maka tidaklah salah kalau pada akhirnya nanti Tat akan memiliki prinsip hidup: Kalau hidup mudah saja bisa, mengapa harus hidup bersusah-payah?

Dan tampaknya, prinsip seperti itu sudah mulai Tat praktekkan. Seperti indikasi ini: ia hampir selalu tidak masuk sekolah dengan alasan sakit atau pusing tepat ketika ayahnya sedang dinas keluar kota. Atau, tugas sekolah amat sering ia kerjakan pada detik-detik akhir ketika guru benar-benar hampir bosan mengingatkannya untuk mengumpulkan. Atau sering sekai bahwa ia datang ke sekolah dengan tanpa membawa alat sekolah secuilpun. Atau, tiba-tiba ia hilang saat pendalaman materi persiapan UN akan dimulai di kelas. Atau bentuk perilaku lainnya yang senada dengan misal yang sudah sampaikan di atas.

Lalu, apakah Tat yang kurang? Menurut saya justru ia anak yang cerdas dan pintar. Dan dengan potensi  yang dia miliki itulah, ia telah mampu 'memilih jalan' prakmatisme untuk menjadi sukses. Bagaimana menurut Anda?

Jakarta, 20 Februari 2012.

No comments: