Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

26 September 2010

Perilaku Rakus

Jumat, 3 September 2010, yang bertepatan dengan tanggal 23 Ramadhan 1431 H, kami menyelenggrakan Pasar Murah di Hall sekolah. Pasar murah diprakarsai oleh pengurus OSIS SMP Islam Tugasku, dan kami para pendidik, memberikan dukungan sepenuhnya di belakang mereka. Sementara barang yang dijual dengan harga yang hanya 50 % hingga 65 % saja dari harga normal di toko atau pasar biasa diperoleh dari sumbangan para donatur yang terdiri dari para orangtua siswa. OSIS yang memberikan himbauan sumbangan kepada para orangtua siswa, mereka juga yang mengumpulkan barang sumbangan dari setiap kelas setelah dilakukan pendataan tertulis, dan sekaligus mengepak barang dalam bentuk paket, serta membuat dan mengirimkan kupon untuk para tetangga yang dinilai berhak menerimanya.

Seperti tahun-tahun yang lalu, selain rapat kami juga mendiskusikan alur pemegang kupon untuk melakukan transaksi. Termasuk juga memprediksi situasi keamanan. Ini menjadi bahasan penting, mengigat terjadi situasi yang tidak menguntungkan di beberapa tempat berkenaan dengan pasar murah atau pembagian sumbangan oleh para dermawan. Dan alhamdulillah seluruh kegiatan dapat berlangsung dengan baik dan memuaskan. Semua barang terjual habis hanya dalam waktu tidak lebih dari 45 menit! Luar biasa.

Namun ada dua cerita yang sama-sama menarik perhatian kami saat kami melakukan evaluasi setelah pasar murah berakhir dan sebelum kami semua pulang dan memasuki hari libur Idul Fitri. Dua kisah yang masing-masingnya kontradiktif. Tetapi sekaligus memberikan inspirasi kepada kita betapa pentingnya hidup jujur.

Kisah pertama adalah pengunjung yang dari pakaiannya telah mencerminkan bahwa yang bersangkutan memang masyarakat yang layak untuk memperoleh kupon pasar murah dari kami. Ia datang dengan menggenggam uang ribuan sebanyak 17 lembar. Kepada penjaga minyak goreng, ia menyodorkan 6 lembar ribuannya untuk satu liter minyak goreng. Sebelumnya ia telah membeli mie instan bukan dalam dus kemasan. Hal ini dia lakukan karena uangnya kurang jika ia berbelanja 1 dus mie instan yang di bandrol dengan harga dua puluh ribu rupiah. Untuk itu ia hanya mampu separuh dari satu dus mie instan seharga sepuluh ribu rupiah.

Dalam perjalanannya ke stan yang lain, ia ditawari siswa atau guru untuk membelanjakan uangnya. Namun dengan polos dan lugu, ia menunjukkan selembar uang ribuannya dan berucap: Uang saya tinggal ini. Belanja apa lagi ya? Dan seorang guru memintanya untuk memilih pakaian di pajangan yang diinginkannya dengan uang seribu itu. Tentu dengan perasaan iba atas kejujurannya.

Tapi disisi lain, ada seorang ibu berusia lebih kurang 30 tahun yang mengenakan pakaian relatif nacis. Bahkan di atas sepatu kainnya ada terlihat gelang kaki emas. Tampak sekali bahwa diantara kami ada yang kurang tepat karena memberikan kupon kepadanya. Dan menjelang pasar murah kami tutup karena seluruh barang telah habis terjual, ibu itu justru bergegas mengumpulkan tiga kardus mie instan dan beberapa bungkus minyak goreng. Anehnya, untuk menggeser dus mie instannya menuju pintu hall, ia tidak mengangkatnya dengan tangan tetapi mendorongnya dengan kakinya. Hampir semua mata kami menatapnya karena ni peristiwa langka. Seorang ibu necis berbelanja di pasar murah yang diperuntukkan untuk duafa dengan memperlihatkan kenecisannya secara demonstratif.

Ituah sikap jujur dan rakus, kata saya pada sesi refleksi pasar murah. dan dari dua kisah itu, kita sama-sama dapat melihat betapa luhurnya mejadi jujur. Karena kita menjadikan cerita pembeli dengan uang ribuan sebanyak 17 lembar itu sebagai pribadi jujur dan mulia. Dan betapa terpuruknya menjadi rakus, karena kita menjadikannya contoh sikap buruknya sebagai bahan diskusi.

Inilah kisah hidup di masyarakat bawah. Bagaimana dua sikap dan perilaku ini tumbuh di masyarakat tingkat atas? Di tingkat mereka yang menjadi pegawai eselon satu, dua, tiga, atau yang menjadi anggota DPR?

Mengutip peribahasa Jawa: becik kethithik, olo ketoro. Apapun tindakan kita, yang baik atau yang buruk, jikapun sekarang orang tidak melihat dan tahu, mungkin soal waktu untuk mengetahuinya. Oleh karenanya, jangan pernah menunda untuk bersikap jujur.

Jakarta, 26 September 2010

No comments: