Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

13 September 2010

Masa Paska Pensiun

Artikel iní saya tulis karena saya mendapatkan tiga pengalaman yang betrbeda, yang masing-masingnya sangat sayang untuk saya lupakan. Maka menuliskannya dalam artikel adalah bentuk penghargaan pada ketiganya. Meski ketiganya berbeda, dan juga dari peristiwa serta orang yang tidak sama, namun satu dengan lainnya bertemu pada hakekat yang sama. Yaitu masalah persiapan menghadapi masa paska pensiun. Ini menjadi penting lagi bagi saya, karena saya memimpikan untuk tetap hidup setelah pensiun yang saya utarakan kepada Allah dalam doa saya.

Inilah ketiga pengalaman yang saya maksud itu. Pertama, adalah pertemuan dan sekaligus diskusi singkat saya dengan agen koran langganan yang kebetulan adalah pensiunan guru SMA. Agen koran saya ini memiliki konsistensi tentang kedatangannya di halaman rumah saya. Yaitu datang setiap pukul 05.15. Sering saya ada di pagar rumah pada saat dia akan melemparkan koran langganan. Dia adalah sosok Bapak yang sangat Jawa. Sehingga kami selalu berdialog dengan bahasa ibu kami. Pada saat-saat seperti itulah ia membagi cerita kepada saya dengan mesin motornya yang tetap menyala. Salah satu temanya adalah cerita tentang usahanya dalam mempersiapkan hari tuanya sekarang ini. Dimana sebagai pegawai di lembaga swasta harus mandiri dalam memperoleh in come setelah usia pensiun.

Diceritakanlah kalau dirinya memaksakan diri untuk selalu menyisihkan dua puluh persen dari pendapatannya sebagai modal pensiunnya. Dan apa yang diikhtiarkannya itu bermakna saat hHari pensiun itu datang. Disampaikan kalau ia mampu membeli tiga rumah di perumahan dan 3 pintu kontrakan di Jakarta. Tentu sudah juga punya satu rumah untuk dia tinhgali berdama istri. Dan 3 rumah lainnya itu untuk masing masing anaknya.

"Tiga pintu kontrakan itu mas, adalah in come rutin saya untuk belí beras. sedangkan mengantar koran iní untuk sambel dan gula kopinya." Jelasnya masih di atas motor matiknya di pági Ramadhan kemarin.

Pengalaman kedua, adalah diskusi di milis IGI (IIkatan Guru Indonesia) . Salah satunya pesertanya yang juga adalah Ketua IGI Pusat, Satria Dharma, menuliskan bahwa dirinya sekarang sudah pensiun untuk mencari nafkah, tetapi tidak pernah pensiun untuk bekerja. Namun jangan salah bahwa pensiunnya mencari nafkah itu baginya juga berarti sebagai kemerdekaannya pada finansial. Dia dulu bekerja untuk mencari uang tetapi sekarang uang yang mencarinya. Demikian lebih kurangnya dia menulis di milis itu.

Apa yang disampaikan Pak Satria Dharma itu, mengingatkan saya pada salah satu stetmen yang pernah saya baca, bahwa Muhammad Rasulullah SAW juga sudah merdeka secara finansial saat Beliau memikul panji dakwah pada usia empat puluh tahun. Yaitu pada saat wahyu Allah yang pertama kali turun pada Beliau.

Pengalaman ketiga, kenyataan yang saya alami sendiri di sekolah. Hal ini berkenaan dengan penilaian kinerja. Dimana salah satu aspek dalam penilaian kinerja guru kita adalah akhlak Islam. Dan salah satu indikatornya adalah hafalan Surat Al Quran. Tidak banyak yang kita tuntut dari para pendidik ini untuk mendapat nilai 'baik', maka kita dituntut untuk setoran hafalan 20 surat Al Quran yang ada di juz 30. Jika kita memiliki hafalan 21 surat atau lebih, maka nilai yang akan kita dapat pada indikator ini adalah 'istimewa'.

Di beberapa sekolah, jumlah hafalan surat Al Quran yang ada di sekolah saya adalah relatif sedikit. Tetapi masih ada diantara kami yang melihat indikator ini sebagai kendala untuk menjadi 'baik' atau bahkan 'istimewa'. Namun harus disyukuri bahwa maroritas kita melihat ini sebagai investasi diri bagi masa depan, atau persisnya investasi pada masa setelah pensiun.

Masa Paska Pensiun

Apa hikmah dibalik ketika pengalakman yang telah saya sampaikan diatas? Dari beberapa hikmah yang ada, saya hanya akan menyampaikan satu hikmah yang maha penting. Yaitu bahwa masa paska pensiun harus kita sikapi dengan paradigma nanti bagaimana. Dan bukan bagaimana nanti.

Dalam paradigma yang pertama, maka kisah agen koran dan kisah tuntutan kinerja sebagai investasi harus menjadi kerangka strategi kita. Yang dapat kita bangun sebagai konsep dan kita lanjutkan dalam bentuk aplikasinya. Paradigma ini adalah cara berpikir dengan kerangka perencanaan. Sedang paradigma bagaimana nanti, adalah bentuk cara pandang pasrah.

Jalan mana yang akan menjadi pilihan saya? Cara pandang pertama adalah jalan pilihan saya. Meski kesadaran itu baru saja muncul, saya yakin tidak ada terlambat untuk berbuat baik bagi masa depan nanti. Dan bila Allah mengizinkan, semoga kemerdekaan pendapatan sebagaimana pengalaman kedua, menjadi milik saya juga. Amin.

Jakarta, 13 September 2010 atau 4 Syawal 1431 H.

No comments: