Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

09 September 2010

Antara Piket dan Duty

Tidak ada yang istimewa dari dua kata yang memiliki arti serupa itu. Namun dua istilah itu menjadi sangat bermakna buat saya di tahun 1996. Yaitu saat saya menjadi guru baru di kelas lima sekolah dasar di bilangan Tangerang. Kebermaknaannya kerena istilah itu tiba-tiba menjadi sangat inheren dalam diri saya selanjutnya sebagai guru.

Di sekolah sebelumnya, saya hanya mengenal sebagai guru piket.
Yaitu ketika saya bertugas sebagai guru piket di masjid saat Salat Dhuhur berjamaah. Maka kewajiban sebagai guru piket adalah datang harus lebih dulu di masjid sebelum siswa sampai. Dan sembari menemani siswa hingga salat jamaah dimulai, saya akan mengajak siswa bershalawat untuk nabi SAW bersama-sama. Dan sebagai variasi saya mengajaknya secara bergelombang antara jamaah putri dan putra.

Masalah kami sebagai guru piket saat itu adalah, bahwa tidak atau belum semua guru yang terdaftar sebagai guru piket datang di lokasi piket yang telah ditentukan. Kadang datang tetapi tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan atau bertepatan rakaat salat telah dimulai. Namun tampaknya kenyataan ini belum menjadi tuntutan dalam DP3 kami saat itu.

Buktinya Kepala Sekolah hanya mengingatkan kita dengan cara meminta kita untuk menunaikan piket dalam bentuk himbauan di waktu rapat dewan guru yang diadakan sebulan satu kali. Tapi mengapa saya rajin menunaikan piket di masjid? Itu karena saya berpikir praktis. Bukankah saya juga akan Salat Dhuhur? Oleh karenanya sesungguhnya tidak ada kewajiban tambahan bagi saya dalam hál menjadi guru piket di masjid. Sementara teman yang lain mungkin berpikiran berbeda dengan saya, sehingga piket di masjid masih menjadi tugas tambahannya.

Lalu bagaimana dengan duty? Inilah tugas yang baru saya dapat meski sebelum masuk sekolah ini saya telah mengajar selama sebelas tahun pada jenjang pendidikan yang sama. Duty juga kata baru bagi saya waktu itu. Saya bertugas di area koridor sekolah bersama seorang teman sejak jam pulang sekolah hingga siswa habis di jemput. Ini menjadi tanggung jawab kami mengawasi siswa.

Saya berpikir semuanya kondusif. Oleh karenanya saya memutuskan untuk Salat Ashar. Namun niat untuk segera kembali ke halaman dimana teman saya sedang duty menjaga siswa tidak kesampaian. Karena ada teman lain yang mengajak saya berdiskusi hingga pukul 16.00 dimana waktu pulang siswa. Sebentar kemudian sayapun pulang.

Esok pagi, sebelum pukul 07.30, kepala sekolah saya datang dengan muka yang serius. Katanya:

  • Pak Agus, saya maaf pagi-pagi mengganggu. Saya mau bicara dengan Bapak Bisa? Mengapa kemarin sore Bapak tidak duty? Saya sudah mencoba mencari Bapak tidak ada. Wah serius nih, pikir saya.
  • Saya Salat Ashar Pak. Jelas saya.
  • Baik. Itu sesuatu yang benar. Tapi Bapak tidak ada di lokasi duty. Itu tidak benar. Saya ingatkan pentingnya duty ya Pak. Bahwa seluruh area dimana Bapak duty adalah tanggung jawab Bapak. Jadi jika terjadi sesuatu dengan siswa di area itu, Bapak yang bertanggungjawab.
Saya diam dan mencoba untuk memahami makna duty di sekolah baru itu. Tentu memohon maaf atas keteledoran saya. Dan saya malu. Melakukan sesuatu yang wajib dengan meninggalkan kewajiban yang wajib pula. Tapi dari sini saya belajar tentang perbedaan ekspekstasi dan paradigma antara tugas piket di sekolah sebelumnya dan duty di sekolah sekarang.

Dan pada saat perpisahan, karena saya akan memutasikan diri ke sekolah yang lebih baru lagi, satu dari guru saya mengatakan testimoninya tentang saya. Katanya: Pengalaman yang tidak akan mungkin terlupakan dari Pak Agus adalah, ketika Pak Agus mencari saya di ruang guru saat saya makan dan berkata; Ibu, sekarang duty di Basket Court! Dan saya langsung lari menuju area saya. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa dengan siswa.
Jakarta, 9 September 2010.

No comments: