Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

10 August 2009

Lahan Belajar Sabar

Pagi ini saya harus mengisi bensin terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Lokasinya ada di Jalan Sisingamangaraja di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta. Saat itu waktu menunjukkan pukul 06.25. Selesai urusan bensin, kami melanjutkan perjalanan.

Namun ada yang aneh ketika kami melaju kearah pintu keluar SPBU, pada saat yang sama juga ada kendaraan yang berhenti persis di pintu keluar dan menutup jalan kami. Semua orang pasti ngerti bahwa berhenti di pintu keluar adalah sesuatu yang tidak benar. Apa lagi dalam waktu yang sama ada kendaraan yang akan keluar. Saya mengalah dan berhenti, tanpa menyalakan dim dan membunyikan klakson.

Keluar dari pintu depan kiri seorang Bapak-Bapak yang lebih kurang berusia 47 tahun. Melihat tampilannya, saya menggolongkannya sebagai orang yang tergolong sukses di pekerjaan. Dan tentunya, sarjana juga lulus.

Begitu Bapak itu turun, mobil mundur lagi lalu ambil kanan dan melaju. Saya pun demikian mengikutinya melaju. di dalam kendaraan kami, saya istri dan anak ambil nafas dan terjadilah diskusi.

Mereka ngak tahu kalau kita mau keluar?
Iya... ya, toh mereka cuma mau nurunin majikannya saja, kok nutupi jalan kita?
Mestinya kan dia bisa berhenti sebelum pintu keluar? Mengapa malah justru nutupi jalan kita?

Saya pribadi, melihat dan mengalami atau menjadi korban sejenis ini relatif sering. Dan karenanya saya memiliki hepotesis bahwa karakter sebagian dari kita sekarang ini tidak peduli dengan orang lain ketika berkendara di jalan raya. Tidak peduli apakah perilaku berkendaranya tersebut akan menimbulkan kerugian atau potensi mendatangkan bahaya atau akan menambah pekerjaan bagi orang lain.

Dan tidak peduli apakah mereka yang berperilaku tidak peduli itu adalah lulusan SD, SMP, SMA, atau bahkan Sarjana sekalipun. Yang berarti bahwa, level pendidikan mereka itu tidak (baca: belum) berimplikasi kepada cara melihat orang lain saat berkendara di jalan raya.

Dan tidak peduli pula apa jenis, macam dan model kendaraan yang dikendarainya. Apakah yang berasal Eropa atau pun yang Asia. Sama saja. Sekali lagi saya katakan, sebagian dari kita. Sesekali mungkin juga saya pelakunya...

Dan perilaku tidak peduli itu juga bermacam-macam bentuknya. Nyodok, tancap gas di jalanan yang padat, mendahului sembarangan, pasang lampu super terang yang bikin silau orang yang ada di depannya, pasang lampu rem terang yang bikin silau bagi yang ada di belakangnya, buang puntung rokok atau sampah yang lain, srudak-sruduk lalu mengumbar klakson, dan mungkin masih banyak contoh yang lainnya.

Begitu antara lain komentar kami. Tapi salah satu kami menimpali: Ya, itulah lahan kita untuk belajar sabar!


Jakarta, 10 Agustus 2009.

4 comments:

Anonymous said...

Kondisi yang lebih parah kalau kita berkendaraan di Samarinda.

Karena seringnya mengalami ketidaknyamanan di jalan seperti itu,
Saya sering bergurau, bahwa berkendaraan di jalan Samarinda akan banyak mendatangkan pahala.lho koq? iya karena kita sering istigfar..

Ketika Kita kaget ada sepeda motor yang tiba-tiba keluar dari gang dan mengambil jalur tengah, kita berucap Astagfirullah..
Ada sepeda motor yang berjalan malam hari tanpa lampu, Astagfirullah..
orang bermobil berjalan sangat lambat dan menghambat perjalanan kita, karena asyik ber hp an, astagfirullah..

begitu juga pengendara yang ber sms an sambil naik motor, klakson yang memekak telinga, anak2 usia SD yang sok-sok an ngebut, gang motor yang menguasai jalanan...
sambil ngelus dada kita berucap astagfirullah hal azim...

Joko

Anonymous said...

Ermien SGJ: Hi pak apa kabar....tulisan ini dimuat dimana?

Anonymous said...

Makasih mas Agus.
Warmly yours,
Mampuono

Anonymous said...

Pujiono: Yo itu kan resikone wong lagi jalan pake kendaraan, lha koloo aku cuma
peke senter dan lampu togok yo gak eruh, opo maning nang jakarta aku
wedi tenan, wingi lagek mulih meh wae di trombol bis seko mburi ming
kurang sak tlapak tangan jarae karo mobilku , Wahhhh ngeri aku.