Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

28 November 2010

Belajar dari Kisah Lampu Lalu Lintas


Apa yang saya tuliskan ini adalah apa yang saya baca dari dinding facebook saya. Tulisan itu sederhana saja. Sulit untuk mengatakan bahwa tulisan itu tanpa tendensi apapun dari penulisnya selain hanya memberikan laporan pandangan mata. Karena ada dua kata kunci di awal kalimatnya yang berbunyi: Jangan seperti. Dan dua kata itu dalam kalimat itu membimbing saya sendiri, dan mungkin pembaca lain, untuk menemukan kunci apa yang menjadi maksudnya. Yaitu mengingatkan kepada kita semua yang masih menjadi pelaku atau yang masih berkontribusi dalam kehidupan sosial dalam bentuk apapun di dunia ini untuk terus memperbaiki diri dan sadar akan tugas dan fungsinya.

Secara persis tulisan itu saya sudah lupa karena tulisan itu telah berlangsung beberapa waktu yang lalu. Namun karena kesan yang dalam terhadap tulisan tersebut, maka secara esensi saya masih dapat mengingatnya. Lebih kurang tulisan itu berbunyi: Jangan seperti lampu lalu lintas di dekat rumah saya, kalau lampu lalu lintas itu mati atau tidak berfungsi justru jalanan menjadi lancar. Sebalilknya, jika menyala dan berfungsi malah menjadi sumber kemacetan.

Tulisan yang adalah murni laporan kajadian atas fakta lapangan yang ada. Namun dalam ranah kehidupan kita, adalah bentuk metapora dari realitas kepincangan yang terjadi dalam sebuah sistem dan peran seseorang yang ada di dalamnya. Sebuah contoh konkrit dari salah satu perilaku buruk yang terdapat dalam sebuah lembaga. Contoh yang sangat cerdas sekaligus orisinal. Cerdas, karena realita tersebut benar-benar potret dari sebuah pembusukan yang terjadi dalam sebuah sistem atau lembaga. Orisinal, karena kenyataan bahwa tidak semua sistem lampu lalu lintas dapat berjalan efektif sebagai mana tujuan yang diinginkannya.

Saya pribadi sebagai individu, merasakan getaran kebenaran atas realita tersebut. Dan saya tergerak untuk menuliskannya disini sebagai refleksi diri dalam proses pertumbuhan saya. Terus terang, dalam diri saya dan kapasitas saya sebagai bagian dari sebuah sistem dalam sebuah lembaga yang kadang memiliki fungsi sebagai lampu lalu lintas saat sebuah kebijakan dibuat dan dioperasionalkan. Kalimat itu telah mampu menohok rasa ketersingungan yang dalam pada akal sehat saya. Juga pada hati nurani saya. Kalimat itu telah benar-benar memberikan peringatan kepada saya dengan metapora yang apik, cerdas, sekaligus sarkastik.

Dalam posisi saya sebagai pembaca, kalimat itu tidak secara gamblang diamanatkan kepada saya. Tetapi untuk alasan kesehatan sosial, kalimatnya itu saya jadikan wahana pembenahan diri. Khususnya pada kalimat yang menyatakan bahwa keberadaannya justru menjadi sumber kemacetan.

Tulisan itu juga membawa saya untuk mengutip apa yang ditulis oleh Kitami Masao dalam Novelnya The Swordless Samurai. Katanya: Kesalahan-kesalahanku yang terbesar bisa dianggap berasal dari satu kelemahanku: kesombongan. Ketika kekuasaanku semakin tinggi, aku mulai memercayai mitos tentang kehebatanku sendiri. Setelah berhasil menyatukan Jepang, seharusnya aku lebih berkonsentrasi membawa Negara dalam kedamaiandan kemakmuran yang lebih tinggi. Tapi aku malah mencari kejayaan di seberang lautan. Misiku yang congkak akhirnya menimbulkan Perang Tujuh Tahun di Korea dan China, yang tidak diragukan lagi adalah kegagalan terbesar dalam hidupku. (Kitami Masao: The Swordless Samurai.2007;242).

Meski saya sendiri tidak mungkin mempersonifikasikan sebagai Toyotomi Hideyosi, sang samurai tanpa pedang itu, namun dengan sadar akhirnya saya menghitung plus minus dari keseluruhan kontribusi yang saya mampu berikan dalam bingkai kemaslahatan lembaga pemberi amanah. Tapi lagi-lagi, kemauan untuk itu dibayangi subyektivitas, yang jika saya teruskan justru mengarah kepada kontraproduktif. Karena berujung kepada pembelaan diri.

Terlepas dari bela diri atau tidak, proses introspeksi harus menjadi bagian vital bagi saya dalam mengemban posisi yang menjadi amanah pemilik lembaga. Agar pembusukan perilaku amanah dapat dibelokkan menjadi keluhuran. Meski pengunduran diri dari sistem tersebut yang menjadi pilihannya. Seperti pesan di akhir novel Kitami Masao tersebut.

Mengapa tulisan itu begitu bermakna bagi saya?

Karena saya, dan pasti juga Anda, merasa bahwa memikul amanah dari sebuah lembaga adalah berat. Ini mungkin saya merasakan kalau kapasitas yang saya miliki dan kontribusi yang mampu saya berikan, tidaklah sebesar anggapan atau penilaian pemberi amanah.

Untuk itulah, melalui bantuan Anda para pembaca, saya selalu bermohon kepada Yang Maha Memiliki untuk diberikan kemampuan membaca ‘tanda-tanda zaman’ dan sensitif selalu pada hati nurani.
Mungkin itulah tafsiran saya tentang metapora lampu lalu lintas itu. Allahua'lam.

Padma Resort, Legian, Bali-Slipi, Jakarta, 26-28 Nopember 2010

3 comments:

Anonymous said...

Wawan Saroyo: Pak Agus, tulisanmu benar-benar luar biasa. Panjenengan mampu mrefeksikan hal-hal kecil yang teralami. Istriku benar-benar kagum. Kata istriku kamu bisa membaca tanda-tanda zaman. Kamu tidak menyia-nyiakan berkat dari Tuhan. aku senang, karena kamu bisa menjadi berkat bagi banyak orang termasuk kami. Selamat berkembang kawan, salam dari istriku

Anonymous said...

Nina Deswati:
Hehehe..yang ikut ANPS...!!! banyak inspirasi tuh di Bali ya...
Good wrinting and thinking....I like it pak..
Dari makna yang tersirat sudah mencerminkan kerendahan hati kok..insya Allah
Semoga Allah tetap menjaga diri kita dari tipu daya syetan yang terus menggiring kita untuk menjadi orang yang sombong seperti tuannya....

Anonymous said...

Good writing and thinking....I like it pak..
Dari makna yang tersirat sudah mencerminkan kerendahan hati kok..insya Allah
Semoga Allah tetap menjaga diri kita dari tipu daya syetan yang terus menggiring kita untuk menjadi orang yang sombong seperti tuannya....