Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

26 October 2009

Merasa Pintar atau Pintar Merasa?

Dalam sebuah pelatihan yang menghadirkan seluruh guru di sebuah sekolah yang berdiri sejak tahun 1980-an, saya diteror pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan yang justru ingin mempertanyakan esensi dari pelatihan yang diselenggarakan secara in house tersebut. Saya yang kebetulan saat itu berdiri sebagai pembimbing mereka harus berpikir tidak saja apa jawaban yang baik untuk pernyataan dan pertanyaannya tersebut. Tetapi sering justru berpikir; Kemana arah pertanyaan atau pernyataannya itu. Haruskah saya berikan jawaban?

Misalnya ketika kita sedang mendiskusikan tentang model pembelajaran yang lebih mementingkan cara pandang dan cara pikir siswa sehingga siswa menjadi lebih terlibat dalam aktifitas di kelas, mereka justru angkat tangan dan berkata; Apakah kita harus lupakan cara belajar ceramah yang selama ini telah terbukti efektif?
Atau ketika saya berbicara tentang bagaimana melihat sekolah lain maju dan bergerak agresif, oleh karenanya kita sebagai bagian dari sekolah swasta tidak boleh lengah menangkap perubahan dan mengikutinya atau jika memungkinkan menjadi pemulanya, karena itu berarti kita sedang membuat kemungkinan hidup sekolah lebih oanjang dan baik, mereka berkata dengan kalimat yang mantap: Sepertinya kita bukan sekolah yang kekurangan siswa. Sekolah kita jauh lebih kompetitif. Atau jika personal, kata-katanya begini: Saya kayaknya ngak ketinggalan amat.

Maka dalam sesi-sesi berikutnya, hampir semua pertanyaan dan penyataannya, meski tidak semua rekan sejawatnya sepakat, saya mencoba untuk bersabar. Dengan tidak selalu terpancing oleh selakan yang dilontarkan.

Saya justru mencoba memahami apa yang ada dalam benaknya ketika kata-kata pertanyaan, selakan atau pernyataannya itu terlontar. Saya mencoba untuk melihat ke dalam diri saya apakah pernah saya rasakan apa yang mereka rasakan saat ini? Dan menduga bahwa teman kita ini sebenarnya memiliki tolok ukur yang berbeda dengan apa yang sedang saya kemukakan. Karenanya, ia merasa tolok ukur saya tidak mengakomodasi apa yang telah dia miliki, apa yang telah berhasil ia capai. Dan kapasitasnya, profesionalismenya serta juga integritasnya sebagai seorang guru.

Dia mungkin berpikir bahwa parameter yang saya kemukakan tentang model belajar siswa, bagamana guru yang profesional dan bagaimana sekolah yang progresif atau yang lainnya, seolah-oleh tidak meletakkan dirinya, sekolahnya pada bagian yang semestinya. Bahwa ajakan saya untuk ayo maju, seolah tidak melihat bahwa ia atau sekolahnya telah maju. Kita tidak sama dalam melihat parameter dan tolok ukur maju itu.

Inilah yang oleh teman saya yang lain disebut dalam sebuah pernyataan bagus. Yaitu merasa pintar. Dan bukan pintar merasa. Saya tidak sempat bertanya apa yang dia maksud dengan istilahnya itu. Tetapi dalam pemahaman saya, penyakit merasa pintar akan berjangkit bilamana kita selalu fokus pada diri sendiri. Fokus yang begitu berlebihan akan menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan. Dalam situasi seperti ini kita menjadi mudah melupakan keberadaan teman yang ada di sekitar kita dengan kelebihan dan kekurangannya.

Kapan kita keluar dari zona ini? Manakala kita berani jujur melihat siapa kita dalam koordinat sosial yang ada dan dengan parameter yang orang lain punya. Menjadi jujur dalam konteks atau dalam konstelasi sosial bukanlah perkara mudah. Setidaknya ini seperti apa yang sering sara rasakan dan jalani. Karena dalam posisi ini berarti kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Atau bisa jadi justru kita lebih baik menjadi rendah hati dengan memberikan penghormatan setulusnya kepada lingkungan sosial sekitar dimana kita berinteraksi.

Dengan cara inilah kita menjadi pintar merasa. Dan bukan merasa pintar! Semoga penyakit ini dijauhkan dari dalam hati kita. Amien.

Jakarta, 26 Oktober 2009

5 comments:

Anonymous said...

Chairil Yusron: Terima kasih atas artikelnya, Pak Agus. Kadang-kadang saya juga mengalaminya ... sebisa mungkin saya tetap sampaikan apa yang seharusnya disampaikan.Kadang-kadang diterima, tempo-tempo tidak. Namanya juga tantangan hidup :-)
Salam,
Chairil

Anonymous said...

Agnito Moningka: Merobah mind set adalah hal yang tersulit…….

Agnito Moningka

Senior Trainer Intel Education Indonesia

agnito@agrakom. com ; agnito@gmail. com

www.intel.com/ education/ id

www.teach-indonesia .co.id

Phone. Office. +62 217944515

Mob GSM. +62 81356413428

Mob CDMA. +62 2132876129

Anonymous said...

Itje Chodidjah: Sharing sedikit saja ya untuk menanggapi apakah metode ceramah harus ditinggalkan. Tentu saja jawabannya tidak bisa iya dan tidak. Ketika menghadapi siswa usia muda maka ceramah harus diminimalkan karena secara "cognitive" mereka belum mampu melogikakan uraian kata2 yang diceramahkan tanpa ada tindakan yang dialami.

Anonymous said...

Pak Agus,
terima kasih atas sharingnya. Sangat menarik. Akan tetapi, saya ingin mengomentari beberapa hal. Pertanyaa-pertanyaa n yang dilontarkan itu bukannya "tidak membutuhkan jawaban", tetapi justru sangat memerlukan jawaban. Pertanyaan:

"Apakah kita harus lupakan cara belajar ceramah yang selama ini telah terbukti efektif?"

Bagi saya, merupakan pertanyaan yang sangat penting. Mungkin bisa dibandingkan dengan metode yang Pak Agus ajarkan. Kenapa guru-guru berpikir belajar dengan metode ceramah terbilang efektif? Apa yang dimaksud efektif? Bagaimana bila dibandingkan dengan metode lain?

Menurut Romo Mangun misalya, "pendidikan adalah proses mencari yang esensial". Berarti, saat guru belajar mengenai berbagai perkembangan, metode, atau apapun dalam pendidikan, ia harus bisa menemukan mengapa metode lain itu penting (esensial).

Sebagai cerita tambahan, saya pernah mendengarkan presentasi seseorang yang melakukan penelitian pendidikan di Papua Nuigini. Dia meneliti sejarah dan konteks formalism dalam pendidikan di Papua Nuigini. Berdasarkan sejarah, sebelum kolonialisme misalnya, ada berbagai pengetahuan tradisional yang sifatnya sacred (suci) yang dikembangkan secara terstruktur. Misalnya pengetahuan tentang pengobatan tradisional. Jadi hanya orang-orang tertentu yang mengetahui pengetahuan ini dan diturunkan secara khusus kepada orang-orang tertentu. Jadi ada tradisi sejenis ownership of knowledge (kepemilikan pengetahuan) dan tradisi ini sangat kuat.

Jadi pendidikan yang sifatnya formalist memang sudah terbukti turun temurun dan cukup berhasil. Kita boleh berasumsi bahwa dengan pendidikan yang progresif, murid akan lebih bisa belajar dengan baik. Tetapi guru belum tentu bisa melihat hal ini. Apalagi apabila presepsi tentang perubahan datang dari luar, bukan dari diri sendiri.

Perlu juga dipertanyakan kita, ingin murid belajar seperti apa?
Berhasil atau tidak kan tergantung apa yang ingin dituju, apa yang ingin dicapai. Belajar yang seperti apa? Apa yang dimaksud belajar?

Pendidikan yang formalist juga ada dua jenis, 'pendidikan formalist yang buruk' dan 'pendidikan formalist yang baik'. Sebagai contoh, seorang bisa menggunakan metode ceramah dan semua murid bosan karena ngantuk. Tetapi ada juga guru yang menggunakan metode ceramah tetapi semua mata memandang takjub saking ceramahnya mengagumkan.

Tapi Pak Agus, saya setuju bahwa guru memang harus terus meningkatka diri dengan belajar berbagai metode baru, membandingkan proses belajar di tempatnya dan di tempat lain, terus mengupdate diri. Tapi ini sekedar untuk memberikan guru pilihan, bahwa cara mengajar ada bermacam-macam, efek pada siswa pun bisa bermacam-macam. Pada akhirnya guru yang paling mengenai konteks kelas yang ia ajar, sekolah tempat ia mengajar, sehingga pada akhirnya gurulah yang memutuskan ia ingin mengajar seperti apa. Belajar berbagai metode lain dan perkembangan lain dalam dunia pendidikan hanya menjadi sarana agar ia memiliki berbagai opsi sehingga akhirnya ia bisa menentukan yang opsi mana yang paling relevan untuk konteks tempat ia mengajar.

Kalau sang guru masih belum bisa melihat mengapa pendidikan yang sifatnya progresif lebih penting, artinya belum ada argumentasi atau bukti yang cukup kuat untuk meyakinkan para guru bahwa perubahan itu perlu.

"Sekolah kita jauh lebih kompetitif."

Kalau ada yang mengatakan hal seperti ini justru ini menarik untuk ditelaah. Kita bisa bertanya, "kenapa anda mengira sekolah anda jauh lebih kompetitif?" "Apa yang dimaksud dengan kompetitif?" Mungkin kita kemudian bisa bandingkan dengan data-data yang menunjukan bahwa sekolah ini belum kompetitif karena...... (silakan di isi sendiri).

"Tolok ukur saya tidak mengakomodasi apa yang telah dia miliki, apa yang telah berhasil ia capai."

Tidak ada yang salah dengan mengakomodasi apa yang telah dimiliki. Apa yang sudah bagus memang harus dipertahankan, meski apa yang kurang juga meski diperbaiki.

Pak Agus, mohon maaf yah bila tulisan saya kurang berkenan. Tapi semoga bermanfaat.

Salam,
Puti

Nena - AksiGuru said...

Refleksi yang sangat menyegarkan pak, memang saat ini pintar merasa jauh lebih penting, apalagi dibandingkan dengan merasa pintar. :)

Sukses selalu pak..

Oya, mampir-mampir ke situs kami ya pak, wadah tukar ide para guru tentang belajar dan mengajar kreatif.. :)

http://aksiguru.org/

Terima kasih pak!