Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

05 November 2009

Merasa Paling Benar


Pada sebuah permainan pengisi waktu luang bersama teman-teman satu komplek kontrakan saat masih muda dulu, ada teman kami yang mengemukakan beberapa ketentuan cara bermain sebelum kita memulai permainan tersebut. Misalnya tentang cara menilai, cara menentukan siapa yang menjadi pemenang setelah permainan selesai dan lain sebagainya yang ada di seputar itu (saya sendiri lupa apa yang persis dikemukakan waktu itu).

Namun masalah bukan terletak pada apa yang dikemukakan teman tersebut. Tetapi pada tidak diperkenankannya orang lain untuk juga mengemukakan pendapat. Dengan demikian maka, kami diajak bermain dengan tata cara yang selama ini telah hidup dan melekat pada diri teman saya itu.

Kami menolak. Teman lain meminta dan mengusulkan agar kami melakukan kompromi dalam menentuan aturan mainnya sebelum permainan dimainkan. Yang lain setuju usulan ini. Namun teman saya yang satu ini ngotot untuk menggunakan aturan main sebagaimana selama ini ia main dengan teman-temannya.

Karena dalam kamus teman saya ini, apa yang ada dalam dirinya adalah sebuah kebenaran. Padahal bagi kami, teman saya ini merupakan sosok yang merasa paling benar. Dan merasa paling benar tentu berbeda dengan kebenaran itu sendiri. Wah!

Dan untuk sebuah permainan kali itu, kami mengalami staknasi.

Cerita di atas adalah ilustrasi betapa masih ada diantara kita yang kadang menutup telinga ketika ada teman yang lain bermaksud memberikan kontribusi pada sebuah pekerjaan bersama. Seperti karakter yang teman saya tersebut lakukan.

Bagaimana dengan situasi dan kondisi dimana sekarang ini kita berada? Apakah masih ada teman, saudara, kolega, yang masih memelihara karakter sebagaimana teman saya tersebut miliki? Dalam kadar yang berbeda, saya meyakini karakter merasa paling benar akan selalu ada dan tumbuh dimanapun dan kapanpun, sepanjang kita hanya menggunaan tata nilai dengan cara pandang ego sentris.

Cara pandang dengan konsep ego ini, akan menghapus eksistensi dan atau kompetensi orang diluar dari diri kita dari peta konstelasi sosial. Ia menghapus kesadaran dan kecerdasan sosial kita. Dan inilah awal mula bagi diri kita dalam menuai ketidakberhasilan. Karena, menurut pendapat saya, catatan sebuah nilai itu dipandang berhasil atau tidak berhasil atau kurang berhasil berada dalam ranah sosial.

Semoga ini menjadi bekal bagi saya pribadi untuk menjadi pribadi yang tidak merasa paling benar.

Jakarta, 5 November 2009.

No comments: