Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

04 February 2010

Berhasil di Ujian Nasional, Siapa Takut?

Ada beberapa tanggapan terhadap apa yang ditulis oleh anak saya berkenaan dengan UN yang pernah dijalaninya pada tahun 2009 lalu. Dimana dalam tulisannya tersebut, anak saya bernada mempertanyakan kebermanfaatan UN dengan keberhasilan seseorang. Dia menilai bahwa jika ukurannya adalah mendapat pekerjaan, maka UN sepertinya belum memberikan jaminan. Kalau demikian mengapa siswa dikejar-kejar hanya untuk berhasil UN? Begitulah ringkasan yang dapat saya sampaikan disini.

Tentang Ujian Nasional, UN atau apapun namanya yang ada di Indonesia ini saya sendiri selalu menyuarakannya dalam bentuk tulisan. Yaitu:
1. Pak Mendiknas, Siapa yang Peduli Proses? KOMPAS, Senin, 17 Mei 2004
2. UAN dan Otonomi, Harian PELITA, Selasa, 23 November 2004.
3. UN, Belajar, dan Kualitas Pendidikan (Mendiknas Tak Perlu Baca Artikel Ini), KOMPAS, Senin, 7 Februari 2005
4. Ujian Nasional, Harian PELITA, Selasa, 8 Februari 2005.
5. Lulus Ujian Nasional, Harian PELITA, Selasa, 12 Juli 2005.
6. Peningkaan Mutu (Pendidikan) Berbasis UN, Harian PELITA, Selasa, 24 Januari 2006.
7. Harap Tenang, Ada Ujian. Harian PELITA, Selasa, 23 Mei 2006.
8. UN 2006 dan Implikasinya, Harian PELITA, Selasa, 4 Juli 2006.

Pada prinsipnya ada 4 (empat) hal pokok yang selalu saya sampaikan berkenaan dengan Ujian Nasional yang ada di Negara kita tercinta ini. Empat hal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama; Bagi kita sebagai sekolah atau masyarakat yang ada di NKRI, maka ujian akhir (nasional) adalah penting. Dan ini menjadi kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Dengan apapun yang menjadi argumentasinya. 

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 75 tahun 2009 tentang UN SMP/Mts dan sederajat untuk tahun pelajaran 2009/2010, diuraikan dalam pasal 3 bahwa; Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (a). Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; (b). seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (c). Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; (d). Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dua hal dari empat makna UN bagi siswa sebagaimana yang dimaksud dalam Permendiknas di atas adalah menjadi bagian dari syarat kelulusan dan sebagai syarat masuk ke jenjang SMP dan SMA. 

Dengan itulah, maka UN adalah hal yang utama. Tapi saya ingin sekali mengajak kita semua untuk melihat dengan lebih holistik. Yaitu bahwa hasil UN bukan merupakan satu-satunya dari hasil pendidikan. Karena soal UN tidak mengujikan bagaimana siswa mandiri, percaya diri, berani, menghormati sesama, toleransi, atau karakter positif lainnya dalam bentuk operasional. Dengan demikian maka, sekolah jangan terjebak dalam arus utama hanya mengejar sukses UN titik. Sekolah harus mengembangkan seluruh potensi siswa baik dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. 

Kedua; Ketika UN dilaksanakan hanya menggunakan bentuk soal PG, dan dengan kualifikasi soal yang hanya mengujikan aspek mengingat, memahami, mengaplikasi serta sedikit aspek menganalisa dalam Taksonomi Bloom, maka itu masih masuk dalam kognitif dangkal. Kita tidak sedang menguji kemampuan siswa untuk memiliki kemampuan analisa, evaluasi dan mencipta sesuatu yang baru dari pembelajaran yang selama ini di dalam kelas mereka. Generasi model apa yang sesungguhnya kita harapkan jika siswa hanya dituntut untuk mengingat, memahami, dan mengaplikasi saja?

Padahal harus kita sadari bersama bahwa cara kita mengevaluasi akan memandu siswa kita untuk bagaimana belajar. Dan cara evaluasi kita dengan model UN selama ini telah menyuburkan model belajar Bimbel (bimbingan belajar).
Ketiga; Komitmen kita untuk sukses UN hanya pada hasil akhirnya saja yang berupa nilai (baca:angka). Hanya pada hasilnya. Ini kultur pejabat kita. Baik yang memegang otoritas wilayah, dinas, pengawas sekolah hingga satuan pendidikan paling primer. Proses pencapaiannya? Nyaris dilupakan. Apa yang terjadi? Akibatnya, tidak ada kontrol pejabat terhadap proses belajar di kelas. Guru dan sekolah tidak ‘ditemani’ dalam melaksanakan strategi proses belajar di lapangan. Pengawas sekolah datang ke sekolah cukup sampai di ruang KS?

Akibat berikutnya? Keberhasilan UN digenjot justru selain diproses persiapannya juga di pelaksanaannya. Di sini kejujuran kadang menjadi sangat mahal. Akibat berikutnya lagi? Sistem kebut semalam! Padahal 6 bulan sebelum UN berangsung, pemerintah sudah mengeluarkan ada standar kelulusan, SKL. 

Apa urgensinya SKL dengan UN? SKL adalah peta perjalanan untuk menempuh atau menuju UN yang berhasil. Karena dari SKL inilah kita dipandu untuk menguasai apa yang menjadi ekspektasi BSNP tentang kompetensi yang harus kita punya dan sekaligus kita bisa memprediksi dan tahu soal macam apa yang akan keluar di UN nantinya. Jadi? SKL bukanlah peta buta untuk keberhasilan siswa kita menempuh UN. (Berikut saya lampirkan lembar self assessment SKL SMP).

Keempat; Dengan model berpikir dan berperilaku: Yang penting hasil tanpa berkeringat dalam prosesnya sebagaimana uraian saya tersebut, kesimpulan saya tentang UN adalah; bahwa UN bentuk konkrit dari model atau prototipe dari budaya kerja kita. Yaitu budaya instan. Budaya pragmatisme! Budaya untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan ikhtiar yang secukupnya?

Untuk itulah saya ingin meneriakkan tekad saya bahwa: untuk melaksanakan dan berhasil di Ujian Nasional, siapa takut?

Jakarta, 4 Februari 2010.

2 comments:

Anonymous said...

Benar Pak Agus, sayang jika UN menafikan semua proses yang berjalan selama bertahun-tahun oleh guru dan mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan termasuk moral dan akhlak. Bangsa kita telah terlalu dimanja menjadi bangsa yang menanggapi segala sesuatu secara instan tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang ada dalam pendidikan. Apakah cukup melihat aspek kognitif semata dalam keberhasilan pendidikan?

Salah satu aspek lain, apakah pemerintah benar-benar mempertimbangkan makna keadilan dalam penerapan UN? Salah satu aspek yang mungkin sangat mengganggu saat ini adalah psikologi siswa. Beberapa daerah di Indonesia mungkin secara psikologis siswa hanya tertekan dengan nilai SKL yang harus mereka capai. Bagaimana dengan daerah rawan bencana? Secara psikologis mereka juga harus bergulat dengan trauma bencana dan juga isyu bencana yang selalu terdengar. Berikut tulisan kecil yang dimuat dalam: http://callhavid. wordpress. com/2010/ 02/09/un- sebulan-lagi/

Anonymous said...

Masha Allah bagus sekali tulisan. Jadi saya dah banyak tahu nih sistem pendidikan di Indonesia yg up to date...maklum dah tidak mengikuti berita system pendidikan di Indo selama 18 tahun...(ya maklum hidup diperantauan). Kalo dipikir-pikir emang benar apa yg dituliskan pak Agus Listiono, soale trus terang saya lihat sendiri di Australia ini, anak2 yg tidak mampu secara akademisnya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi mereka pada year 10 sudah diarahkan untuk direkomendasikan ke TAFE (ya semacam sekolah kejuruan gitu). Jadi begitu mereka lulus dari TAFE (tingkatan di TAFE ini dari D1 sampai Asscoiate Diploma) mereka dah trampil di bidangnya masing2.Dan untuk students yg bisa/mampu untuk ke Perti mereka seperti juga di Indo harus melalui yg namanya TEE (Tertiary Entrance Exam).Sebagian besar lulusan dari University ini juga 99% kerjanya ya persis di bidangnya masing2. Ya kalo lulusan dari yg Accounting, yg jadi Accountant, kalo Law ya jadi Lawyer, dsb.Tapi untuk yg year 12 ini mereka semua nantinya memang lulus dari High School, jadi tidak ada yg namanya UN yg gagal. Karena nantinya yg menentukan pas di TEE tsb.Sorry, jadi ya cerita dongeng nih sebelum tidur....heheheheWassalam