Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

02 January 2010

Perubahan Itu = Melakukan Sesuatu yang Berbeda


Apakah perubahan itu? Tanpa mengacu kepada Kamus, saya mencoba untuk membuat rumusan sederhananya; perubahan adalah melakukan sesuatu yang berbeda. Berbeda mengingat ia dilakukan bukan merupakan sebuah rutinitas.


Untuk memberikan gambaran berkenaan dengan perubahan ini, saya akan menguaraikan dua kisah pribadi.


Kisah pertama adalah kisah pada sebuah masa ketika hidup bersama keluarga di Sritejokencono, Punggur, Lampung, tahun 1972. Almarhum ayah saya yang bertugas sebagai seorang pengairan di DPU mengajari para tetangga bagaimana bertani di lahan basah. Sawah. Ini dia lakukan ketika desa dimana kami ditempatkan di rumah dinas, yang sebelumnya merupakan lahan perladangan harus berubah manakala daerah kami dialiri irigasi. Maka lahan kering yang berupa ladang tersebut menjadi lahan sawah yang penuh air.


Para tetangga tidak saja belajar bagaimana menanam padi, tetapi bahkan sejak dari membuat pematang, mencangkul di tanah yang berair, menanam padi dengan gerak mundur, menyirami tanaman dengan pupuk, menyiangi, menyemprot obat anti hama, memanen padi, dan seterusnya.


Meski setelah padi selesai dijemur, para tetangga tersebut menjual seluruh padinya dan membelanjakan sebagaian hasilnya itu untuk membeli gaplek sebagai makanan pokok mereka pada waktu itu. Gaplek mereka olah menjadi tiwul yang ketika masak berwarna hitam.


Dalam periode berikut, Mamak saya mengajarkan bagaimana nasi tiwul yang berwarna hitam di oplos dengan nasi dari beras yang kemudian disebut sebagai nasi putih. Dan setelah sekian tahun berlalu di desa kami ini tidak ada lagi nasi hitam atau nasi putih. Sekarang semua nasi dari beras. Nasi gaplek hanya diolah menjadi gatot dan atau tiwul telah menjadi jajanan pasar dan bukan makanan pokok.


Dan selama dua hingga tiga kali musim tanam para tetangga masih mengalami semacam gegar budaya sebagai petani berladang menjadi bersawah. Sehingga aliran irigasi yang menyediakan berkilo-kilo ikan tawar berbagai jenis tidak sempat mereka petik kecuali oleh saya sendiri yang saat itu masih duduk di bangku kelas 5 SD dengan jala. Dan para anak petani menjadikan itu sebagai tontonan.


Ini adalah bentuk perubahan yang sangat mendasar dan dahsyat menurut apa yang pernah saya lihat dan alami sendiri.


Kisah saya yang kedua adalah kisah tentang perjalanan pulang kampung. Sebagaimana yang sering saya tulis sebelumnya bahwa, pulang kampung adalah rutinitas keluarga kami. Namun bagaimana menarik perhatian anak dan istri saya untuk senang menengok Kakek dan Nenek mereka di kampung karena mereka hidup dan besar di kota yang siangnya sibuk dan malamnya terang benderang, adalah bentuk perjuangan saya.


Maka saya membuat peta perjalanan pulang kampung sebagai perjalanan petualangan. Saya membuat difinisi pulang kampung sebagai perjalanan wisata, menikmati jalan yang menganugerahkan pesona alam di kiri dan kanannya, kuliner, ini khususnya untuk istri saya, mengunjungi tempat unik untuk belanja, hiking ketika sampai di kampung. dengan mengajak mereka untuk mengitari pekarangan, desa, hingga ke gunung, berendam di sungai untuk anak lelaki saya dan melepas rutinitas.


Untuk semua itulah saya menyiapkan stamina bagi terwujudnya kegembiraan pulang kampung. Dan perubahan yang saya lakukan adalah selalu menggunakan jalan atau mengunjungi tempat yang tidak sama dari waktu ke waktu. Dan perubahan bentuk ini sesungguhnya membuat saya kawatir. Kawatir untuk kesasar. kawatir kalau terjadi sesuatu.


Tapi satu keyakinan yang selalu saya tanamkan pada diri saya bahwa jalan atau tempat yang baru, selalu akan menghadirkan pengalaman luar biasa mengesankannya. Di sana akan saya temukan situasi dan pengalaman baru. Dan di sinilah lahir keyakinan saya untuk selalu bersiap menikmati bumi Allah yang tidak terduga menakjubkannya. Maka hampir setiap ruas keindahan dan tempat ,menyenagkan nyaris kami singgahi di jalur pulang kampung kami.


Dan saya meyakini ini adalah implikasi dari keberanian kami dalam menempuh sesuatu yang selalu berbeda dalam setiap perjalanan pulang kampung kami. Dan pulang kampung menjadi sesuatu yang menggairahkan bagi kami. Dan tidak saja bagi saya yang memang dari sananya adalah anak kampung. Tapi juga bagi istri dan anak-anak saya yang lahir dan besar di situasi Jakarta!


Jakarta, 2 Januari 2010.

1 comment:

Anonymous said...

Sukses selalu pak...

Salam dari satu cucu mbah Latimin sritejokencono