Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

14 January 2010

Melihat Tata Tertib sebagai Investasi

Pada hampir semua pertemuan yang membahas tata tertib bekerja di sebuah lembaga, maka selalu muncul dua sumbu. Yaitu sumbu yang berdiri dibarisan pekerja dan sumbu lainnya yang berdiri sebagai wakil pemberi kerja. 
Dalam pasal tertentu, mereka akan berjalan saling beriringan dan pada pasal lainnya akan berdiri saling berlawanan. Dalam posisi berseberangan inilah yang sering berujung pada cara pandang buruk sangka.


Dari sisi pekerja, pada pasal-pasal tentang tuntutan atau kewajiban bekerja pada tata tertib dilihat sebagai penghambat dan tekanan. Meski hal ini telah mengacu kepada peraturan lebih tinggi yang ada dan masih berlaku. Namun pada sisi pemberi kerja, pasal-pasal seperti itu justru dibuat untuk memberikan pagar dan sekaligus kepastian bagi keterlaksanaan pola kerja optimal yang diinginkan.

Para pemberi kerja beralasan bahwa tuntutan kerja yang terdapat itu dibuat sebagai penjamin bagi tumbuhnya etos kerja. Mereka berargumentasi bahwa dengan lehirnya etos kerja maka akan lahir budaya kerja. Dan budaya kerja dapat pula menjadi simpul bagi daya saing. Dan daya saing akan melahirkan kesejahteraan. Dan seterusnya-seterusnya.
Dengan pola dan cara pandang seperti itu, memang akan melahirkan perasaan nyaman yang berkeadilan. Adil bagi yang memberikan pekerjaan maupun bagi yang melaksanakan pekerjaan. Tata tertib menempati pakem yang semestinya. Yaitu garis komitmen dalam hubungan pemberi kerja dan pelaksana kerja.

Cara Lihat yang Berbeda

Dari pengalaman ikut dalam sebuah pertemuan tersebut saya merefleksikan diri pada posisi sebagai pekerja. Yang melihat semua tuntutan kewajiban dan pemberian hak yang terdapat dalam pasal-pasal tata terti pekerjaan tersebut tidak saja sebagai rambu bagi rasa aman, nyaman dan adil, tetapi lebih dari itu, sebagai investasi. Investasi bagi saya untuk kehidupan saya yang lebih baik pada lima, delapan atau sepuluh tahun ke depan.

Bahwa tuntutan pekerjaan dalam tata tertib tersebut akan memola saya untuk bekerja memenuhi tuntutan atau target standar yang digariskan, adalah sesuatu yang normatif. Namun dengan cara melihat tata tertib sebagai investasi, maka pemolaan tersebut sangat saya sadari. Dan dengan demikian maka akan lahirlah saya dengan etos dan budaya kerja yang diharapkan. Dan dari kaca mata ini saya melihat bahwa semakin berkualitas tata tertib lembaga dimana saya ikut didalamnya, maka akan memungkinkan saya untuk menjadi bertambah berkualitasnya saya. Inilah yang saya sebut pengembangan diri dengan menjadikan tata tertib lembaga sebagai investasi.

Bahwa usaha keras dan usaha tekun saya dalam memenuhi standar kerja yang dituntut, telah berkontruibudsi bagi peningkatan kualitas diri saya. Sebaliknya, jika lemahnya saya dalam memenuhi standar kerja yang dituntut, maka sosok yang lemah pula yang akan saya dapati meski bertambah tahun saya melakukan dan menjalani pekerjaan. Sahabat saya mengistilahkan hal ini sebagai year of experiance. Sedang untuk istilah bagi fenomena yang pertama sebagai year of learning.

Tapi, apakah mudah melihat tata tertib kerja sebagai investasi masa depan kita bila kita berposisi sebagai pekerja? Sulit memang. Tetapi dengan melihatnya sebagai investasi, saya dapat meningkatkan etos dan budaya kerja saya untuk lebih memiliki daya saing. Dan ketika komptensi daya saing saya tinggi, saya akan memiliki kesempatan lebih banyak untuk memilih posisi kerja atau tempat kerja yang lebih baik dari sebelumnya.

Bagaimana dengan Anda sendiri?

Jakarta, 13 Januari 2010.

No comments: