Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

04 January 2010

Mengapa Berubah?


Sebagai praktisi di sekolah swasta, berubah adalah spirit untuk menjadi berusia panjang. Dan inilah jawaban jitu bagi pertanyaan di atas. Sementara argumentasi lainnya adalah karena kondisi sosial yang terus bergerak maju dan naik tanpa dapat diprediksi secara tepat. Hanya dapat diduga.


Seperti lahirnya sekolah swasta bertaraf internasional (sekolah nasional plus) pada pertengahan tahun 95’an yang dilihat sebagai sekolah ‘aneh’ oleh masyarakat sekolah pada waktu itu. Dan pada tahun 2009 beberapa sekolah itu telah 'merubah diri' menjadi benar-benar Sekolah Internasional. Sementara sekolah tersebut diadopsi menjadi konsep SBI.


Dan perubahan ini memiliki implikasi. Yaitu implikasi pada seluruh sendi kehidupan sekolah. Mulai dari siswa, kurikulum, guru, kesejahteraan dan lain-lain.


Jikapun kita (sekolah, manajemen, guru) tidak siap untuk menikmati perubahan (contoh di atas tentang sekolah) maka orang lainlah yang pasti menikmatinya. Mengapa? Karena lembaga itu memerlukan mereka yang siap untuk memenuhi keperluannya. Dan kita mungkin akan menjadi penonton atau mungkin sebagai komentatornya.


Siapa yang Harus Berubah?


Dalam konstelasi yang bernama sekolah, maka pranata yang harus berubah adalah stakeholder yang terdiri dari: Pertama: Lembaga, perubahan dalam tataran sistem (visi, misi, struktural). Kedua: Manajemen, perubahan dalam bentuk mengaktualisasikan komitmen dalam menjalankan visi dan misi lembaga. Ketiga: Guru, mengoperasionalkan komitmen manajemen dalam proses pembelajaran dalam kelas. Keempat: Masyarakatnya. Kelima: Perangkatnya.


Hambatannya?


Dalam pandangan saya ada beberapa hambatan yang berasal dari luar atau dari dalam diri kita. Yaitu Pertama: Sikap dasar kita: malu dan sombong. Malu untuk merubah atau berubah (bandingkan sikap ini dengan sikap seorang anak saat melakukan kesalahan dalam permainan bersama temannya, mereka tidak sungkan untuk segera berkata MAAF). Sombong untuk mengikuti atau mengakui keberadaan supremasi orang diluar dirinya.


Kedua: Sikap establishment. Rhenald Khasali menuliskan tentang ini (2005: xxxv-xxxvi): …ini adalah sebutan untuk kelompok mapan …setiap perubahan akan dianggap sebagai ancaman, dan change maker’s akan diberi ruang yang sangat sempit untuk bergerak. Langkah-langkah change maker’s di gugat dan selalu dikembalikan kepada bayang-bayang kesuksesan di masa lalu.


Ketiga: Cepat lahirnya rasa puas diri. Mereka pikir apa yang telah mereka peroleh hari ini adalah prestasi paling tinggi baginya. Padahal sangat boleh jadi jika mereka terus menerus mereformasi diri, kemungkinan untuk mendapatkan prestasi yang lebih dahsyat yang akan mereka temui. Mereka inilah yang oleh Paul G. Stolz disebut sebagai orang-orang yang berkemah (camper’s). Orang yang meresa sepat puas.


Keempat: Belum lahirnya sikap pembelajar sepanjang hayat. Hal ini juga berkait dengan sikap orang cepat merasa puas dengan apa yang didapatnya sekarang. Manusia pembelajar sepanjang hayat tidak mengenal sama sekali kamus ‘pandai’ atau ‘pintar’. Mereka tidak ada kata berhenti untuk belajar, belajar dan belajar!


Paradigma yang dikumandangkan Aa’ Gym berkenaan dengan perubahan, mengubah diri dengan 3 M (Mulai). Yaitu: Perubahan harus dilakukan mulai dari diri sendiri. Perubahan dari mulai hal-hal kecil. Dan perubahan mulai sekarang juga.

Jakarta, 4 Januari 2010.

1 comment:

Anonymous said...

Edo Narda: Pak, Selamat atas segala perubahan yang dilakukan di Sekolah Islam Tugasku sehingga minat masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di sekolah ini semakin besar baik untuk tingkat PG/TK, SD, maupun tingkat SMP nya, selamat untuk seluruh manajemen atas perubahan yang membuat sekolah ini semakin " Beda " dari sekolah-sekolah ayng ada di sekitarnya. Amin