Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

22 December 2009

UN, Sebuah Pengalaman sebagai Orangtua


Benar. Ini adalah tulisan tentang UN dilihat dari pengalaman yang anak-anak saya sendiri alami tahun pelajaran 2008/2009. Sangat kebetulan dua anak saya, yang pertama dan yang kedua, sama-sama duduk di kelas XII SMA tahun pelajaran yang lalu. Jadi UN tahun 2009, di SMA yang berbeda. Anak pertama di SMA swasta di Jakarta Barat dan anak yang kedua di SMA swasta di Jakarta Selatan.

Persiapan

Untuk lulus ujian, hasil diskusi kami memutuskan agar mereka melakukan persiapan sebaik mungkin. Anak yang pertama memilih memanggil teman saya yang, alhamdulillah dapat membantu memberikan materi pengayaan di mata pelajaran Matematika, pelajaran Kimia, Fisika dan Biologi, dengan durasi dua kali sepekan. Sedang anak ke-dua memilih ikut pengayaan di bimbingan belajar yang berlangsung satu hari di hari Sabtu dan separuh hari di hari Minggu. Mereka menjalani itu semua dengan penuh konsekuensi. Tekun.

Juga buku soal-soal UN yang telah lalu dan prediksi soal yang akan datang. Dan buku-buku itu bahkan ada yang memprediksi soal UN yang akan keluar berdasarkan SKL yang dikeluarkan oleh Bapak Menteri Pendidikan Nasional. Canggih!

Membahas soal, sepertinya menjadi bagian yang amat sangat penting bagi mereka. Dari manapun soal itu berasal. Dan saya sendiri melihat apa yang sedang mereka pelajari dengan SKL itu. Kompetensi apa saja yang harus dikuasai mereka. Dan dari kompetensi tersebut, saya coba melihat indikatornya. Dan dari indikator itu saya bertanya kepada anak saya sejauh mana materi pelajaran tersebut mereka kuasai.

Di bulan Februari, Maret, April, anak-anak saya itu disibukkan dengan persiapan masuk perguruan tinggi negeri, yang setiap perguruan tinggi itu menyelenggarakan ujian masuk secara mandiri. Anak saya yang pertama memilih untuk mendaftar di dua perguruan tinggi negeri yang lokasinya dekat dengan domisili kami. Sedang anak yang kedua mendaftarkan diri untuk masuk di tiga perguruan tinggi negeri.

Karena tes masuk perguruan tinggi negeri ini lebih awal dibanding dengan pelaksanaan Ujian Nasional, maka ketika anak kedua saya telah mendapatkan kursi di salah satu PTN yang didaftarnya di bulan April, ia lalu menurunkan standar dan ekspektasinya terhadap UN. Yang penting aku lulus UN ya Ayah? Demikian katanya pada saya.

Pelaksanaan UN

Setelah semua ikhtiar ditunaikan, datang pula hari pelaksanaan UN yang mereka tunggu-tunggu itu. Kami hantar anak kami untuk berangkat ke sekolah dengan segunung doa sukses dari kami.

Sebagai orangtua yang bekerja di institusi pendidikan yang bernama sekolah, beberapa hal berkenaan dengan fenomena negatif bagi pelaksanaan UN di tahun sebelumnya serta sepak terjang 'tim sukses' yang dibentuk oleh beberapa sekolah sudah bukan rahasia umum. Namun bagaimana bentuk dan strategi serta tata cara 'tim sukses' tersebut bekerja terhadap anak saya, suatu hal yang sama sekali saya tidak pikirkan sebelumnya.

Sore hari setelah hari pertama UN, menjelang hari kedua UN, di rumah terjadi dialog antara saya dengan anak pertama dan kedua saya.

  • Terima SMS Mas? Kata saya pendek dan singkat pada anak pertama saya.
  • Terima dong. Jawabnya ringan.
  • Bagaimana dengan Adik, terima juga?
  • Terima. Jawab anak kedua saya.
  • Lalu bagaimana kesan kalian ketika terima sms jawaban UN di pagi hari sebelum UN berlangsung? Tanya saya memancing pendapat anak-anak.
  • Sebagai pembanding Yah. Jawab sulung saya. Saya tidak paham apa yang dia maksud dengan pembanding. Oleh karenanya saya coba bertanya memutar.
  • Sekarang kalian belajar. Sementara besok pagi pasti akan terima jawaban UN lewat sms. Menurut logika ayah, kalau kalian pintar, ngapain harus belajar malam ini. Main games atau baca novel saja.
  • Justru karena Aku pintar Yah, sms itu sebagai alternatif terakhirku. Jelas anak sulung saya.
  • Maksudmu? Desak saya, yang belum juga mudeng.
  • Biasanya, ada beberapa soal UN yang Aku bisa jawab dengan benar. Nah berikutnya Aku akan bisa cek apakah kunci dari sms itu adalah kunci jawaban UN untuk soal yang sama? Jelas si sulung.
  • Sama. Aku juga hanya jadikan kunci dari sms itu sebagai cadangan jika aku kepentok ngak bisa jawab. Jelas sang adik.
Nah, inilah realita UN yang anak-anak alami di tahun pelajaran lalu. Alhamdulillah, kedua anak saya itu lolos lubang jarum dari syarat kelulusan dan lulus. Pertanyaan selanjutnya? Mengapa ada sebagaian dari kita yang menjadikan UN menjadi momok yang menakutkan dan sakral?

Pengalaman teman anak saya yang tidak lulus saat ujian di tahun pelajaran lalu, ia tetap dapat ikut ujian persamaan paket C di tahun yang sama. Dan sah.

Lalu? Untuk apa berpayah-payah menahan stres dan takut jikapun tidak lulus ujian di tahap pertama tetap saja lolos dengan uper paket C?

Jakarta, 22 Desember 2009.


3 comments:

Anonymous said...

sdnegeri keduren" <sdnegerikeduren@gmail.com:
Terima kasih Pak Agus. atas pengalamannya.Ini aku bersama 63 teman Guru se Jateng sedang mengikuti Diklat Literasi IT, sejak hari Minggu hingga besuk Kamis. Tempat diklat di Solo di Hotel Sahid Jaya ". Hari ini Rabu baru sampai materi Camtasia dan Snagit untuk membuat media pembelajaran

Anonymous said...

Nina Deswati: Ini tulisan Pak Agus yang di FB ya Pak...
Konflik kepentingan masih sangat mengkristal. Saya masih ingat dulu beberapa media memberitakan bahwa pemerintah daerah secara berjenjang menjanjikan hadiah dalam berbagai bentuk bagi sekolah yang mampu meluluskan siswanya 100%. Apa iya ini murni memotivasi atau sudah ditunggangi kepentingan lain. Gubernur menekan Walikota, Walikota menekan Bupati/Camat, Camat ke Dinas terus ke UPT dst..dst ..sampai ke ujungnya adalah siswa..
Duh kasihan ya anak-anak ini...Andai saja semua berjalan murni tanpa konflik kepentingan apapun..kecuali ikhlassssssss. ...ingin memajukan dan meningkatkan kualitas generasi penerus....Duh senangnya...

Anonymous said...

melly kiong: itulah kenyataan yang ada didepan mata. Bagaimana pejabat,guru bahkan orang tua turut dalam bagian mengkroposi mental juang anak. Itu artinya kita benar benar akan kehilangan generasi anak anak yang berkualitas secara murni jika UN tidak bisadilakukan dengan bertanggung jawab.

Itu adalah bagian yang dilakukan disekolah bukan ? karena hanya 25% anak ada disekolah, makanya saya selalu kampanyekan ayo orang tua, jangan lengah kita ambil alih pendidikan yang tidak bisa kita dapatkan dari sekolah, kita tetap ajari anak kita tentang pentingnya arti sebuah kejujuran, keberhasilan bukan hanya terletak pada sebuah angka.

Wahai guru guru yang budiman , kami dari sisi orang tua hanya bisa berharap, lawanlah ketidak jujuran tersebut demi anak anak bangsa kita ke depan.

Mari bergandengan tangan dan lakukan perubahan,kita pasti bisa

salam peduli anak bangsa