Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

11 December 2009

UN dan Belajar Holistik


Tulisan ini akan saya awali dengan pertanyaan salah satu orangtua siswa kepada guru kami berkenaan dengan kegiatan spesial yang menjadi agenda rutin sekolah, yang pelaksanaannya dilakukan pada setiap pertengahan semester. Dimana pada bulan Oktober 2009 lalu kami mengadakan even spesial dengan tema Pekan Legenda. Pada Pekan Legenda tersebut setiap kelas akan memiliki topik bahasan yang lebih spesifik. Misalnya Lutung Kasarung. Maka kelas akan mengeksplorasi legenda ini sebagai topik bahasan dalam satu pekan bersamaan dengan kelas-kelas yang lain. 

Pertanyaan orangtua tersebut adalah: Ada berapa soal yang keluar di Ujian Nasional (UN) nanti dari kegiatan selama satu pekan ini Bu? Kalau yang keluar hanya 1 atau 2 soal saja, menurut saya kegiatan ini hanya buang-buang waktu?

Dari pertanyaan ini berikut adalah hikmah yang dapat kita ambil: Pertama, Paradigma belajar. Sebagian kita memahami bahwa belajar hanyalah ketika siswa membuka buku pelajaran sekolah yang berupa buku paket atau buku sumber. Maka ketika siswa sedang membaca buku cerita, membaca fiksi, membaca ensiklopedia, membaca kamus, mambaca majalah remaja atau bahkan mengisi TTS di surat kabar, maka siswa tidak sedang belajar?

Bahwa belajar dimaknai ketika siswa mendapat tugas dari guru berupa pekerjaan rumah. Maka ketika siswa sedang tidak diberikan pekerjaan rumah maka berarti siswa tidak belajar? Maka sekolah yang gurunya selalu memberikan banyak pekerjaan rumah kepada siswanya adalah sekolah yang baik karena menuntut siswanya untuk belajar terus menerus? Dan sebaliknya sekolah yang tidak pernah ada pekerjaan rumah adalah bentuk sekolah jelek?

Bahwa belajar berarti siswa duduk manis di bangku kelasnya dan memperhatikan gurunya sedang menjelaskan materi pelajaran saja. Maka ketika siswa sedang bermain drama di plasa sekolah karena setelah mempelajari Lutung Kasarung siswa diminta menuliskan kembali cerita tersebut dalam bentuk teks drama yang kemudian harus didramatisasikan dalam kelompok bukan sebagai kegiatan belajar?

Begitu sempitkah arti belajar? Bagi saya, belajar adalah seluruh aktivitas yang siswa lakukan kapan saja dan dimana saja dan dengan siapa saja yang kemudian ada proses pengambilan hikmah setelah kegiatan tersebut dilakukannya.

Kedua, Paradigma hasil belajar dan UN. Bagi saya, Ujian Nasional atau UN yang terdiri dari 3 mata pelajaran di SD (UASBN) atau 4 mata pelajaran di SMP atau 6 mata pelajaran di tingkat SMA adalah salah satu hasil belajar. Dan bukan satu-satunya hasil belajar. Karena menurut Bloom, terdapat 3 ranah hasil belajar. Yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Dan UASBN atau UN hanya mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Itupun tidak mengukur 6 aspek yang terdapat dalam ranah tersebut. Yang ketiga asopek itu adalah aspek mengingat, aspek memahami dan aspek aplikasi. Sedang tiga aspek yang tidak diukur adalah aspek aspek analisa, aspek evaluasi dan aspek mencipta. Dimana ketiga aspek terakhir masuk dalam tataran berpikir tingkat dalam.

Untuk itulah maka ketika menjadikan UASBN atau UN sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan siswa atau sekolah, berarti kita teah terjerembab pada fatamorgana.

Ketiga, Belajar yang holistik. Dengan melihat bahwa terdapat tiga ranah belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan Bloom tersebut, maka seharusnyalah kita memaknai bahwa mendidik adalah membuat siswa menjadi cerdas kognitif atau cerdas akademik, cerdas afektif atau cerdas afeksi dan cerdas psikomotorik. Inilah hasil belajar holistik.

Belajar yang holistik tidak melihat bahwa UASBN/UN tidak penting. Ia sebagai salah satu uinstrumen keberhasilan dalam belajar tetap dipandang sebagai proses yang penting. Tetapi pengembangan afektif dan psikomotorik tetap tidak dilupakan. Bentuknya pengembangan pada ranah tersebut salah satuinya adalah melalui kegiatan drama, pertujukan kelas, kegiatan luar ruang kelas, dan lain-lain.

Jakarta, 11 Desember 2009.

10 comments:

Anonymous said...

S Agung Wibowo: Paradigma ujiannya sudah harus diubah...harusnya bukan lagi seleksi eliminasi seperti yang terjadi sekarang ini. Tetapi ujian yang benar-benar menguji kemampuan dan pemahaman si pembelajar.

Anonymous said...

Agus Sampurno: Meta kognitif pak agus, masih banyak guru yang mesti disadarkan..nice writing pak, as always

Anonymous said...

Nina Deswati: Kondisi Tarik menarik seperti ini (dalam kondisi sy khususnya)yang pelan-pelan dapat mengikis idealisme dan my believe about education..thx pak..jadi merasa pny temen lagi nih... hehehe....

Anonymous said...

A Muzi Marpaung: Perlu juga diadakan program untuk orang tua agar secara pasti bergerak pemahamannya kepada tujuan pendidikan yang sebenarnya : untuk hidup mulia.

Anonymous said...

Sri Astuti: Sebagai guru saya yakin sudah banyak dari kita yang sadar penuh akan hal ini. Tetapi kita juga harus memahami kekhawatiran dari orang tua siswa yang bagaimanapun terjebak dalam sebuah sistem yang tidak bisa mereka lawan bahwa ada aturan lulus atau tidak lulus terhadap anak mereka yang disebabkan oleh UN. Orang tua juga sudah banyak kok yang paham ... Lihat Selengkapnyaakan arti pendidikan. Jadi sasaran wacana macam ini bukanlah para orang tua atau guru, sebenarnya. Wacana macam ini hendaknya disuarakan dengan lebih keras lagi, sekeras-kerasnya, ke telinga para birokrat pembuat keputusan yang menentukan "hidup-mati"nya semua anak bangsa.

Anonymous said...

Slamet Priy: setuju pak agus, ada siswa yang belajar krn takut dpt nilai jelek, ada yang belajar karena ingin dpt nilai bagus kemudian dapat hadiah, dan ada siswa yang belajar krn memang dia ingin belajar dan yakin belajar akan bermanfaat bg kehidupannya, bukan krn takut dpt nilai jelek atau ingin nilai bagus dan dpt hadiah..semoga kt menjnadi guru yg mampu mengantar siswa menjadi pembelajar sejati..

Anonymous said...

Effie Ralph: Sebenarnya untuk anak,belajar tidak hanya monoton dari buku dan test2/ ujian,dari kegiatan Pekan legenda pun sebenarnya adalah belajar. Mereka bisa belajar tradisi dan history,juga sosialisasi. Tetapi karena orang tua,inginnya anak bisa lulus ujian dan dapat nilai bagus,untuk mendapatkan sekolah unggulan,maka mereka memilih kegiatan sekolah sebaiknya yg bisa menunjang ujian anak. Ini hal yg ada di Ind.

Di England sebaliknya,kegiatan2 seperti pekan legenda adalah salah satu kegiatan di sekolah. Memang masih ada beberapa test/ujian untuk anak,tetapi test itu tidak unk kenaikan kelas atau test akhir tahun,test hanya untuk revisi saja. Di England tidak ada sistem tidak naik kelas,anak terus saja meningkat kelasnya sesuai umur mereka. Walau mereka tidak bisa membaca,tetap masuk kelas yg sesuai dgn umur mereka. Hanya saja ada bantuan learning support,yaitu membantu bagi yg belum memenuhi target belajar.

Di Akhir tahun ajaran bagi siswa ini,mereka memang harus (wajib) mengikuti test GCSE (setaraf dengan EBTANAS),nilai inilah yg menentukan mereka untuk diterima di Universitas. Itupun masih ada test lain unk bisa mendapat Universitas yg bagus yaitu A Level. Nilai mereka tidak berupa angka,tapi berupa huruf,yg tertinggi adalah A* dan yg terendah adalah C.... Lihat Selengkapnya

Mereka boleh saja tidak ikut ujian ini,tetapi impactnya bagi mereka susah dapat kerja,walaupun dapat kerja,paling hanya kerja seperti di Mc Donald, shopping mall dsb,yg gaji mereka hanya standar upah minimum kerja.

Hal ini yg bisa membedakan saya berfikir,perbedaan antara belajar di Indonesia dan di England: Sebenarnya sangatlah bagus tetap ada ujian akhir semester atau ujian lain di Indonesia,tetapi mungkin porsinya yg dikurangi,karena ini bagus untuk mendorong anak terus belajar dan mempunyai kewajiban untuk belajar.
Sedangkan disini (England),karena anak tidak terdorong untuk belajar dan dibiarkan unk memilih,maka banyak anak yg gagal dalam pendidikannya,alhasil: banyak anak muda yg hanya membuang tenaga dan uang pemerintah dgn sia2.(karena dsini anak putus sekolah dan punya anak diluar nikah,mereka diberi tunjangan dan tmp tinggal oleh pemerintah. darimana uangnya??: dari kami yg bekerja banting tulang membayar pajak yg tinggi).

Comment saya ini hanya merupakan masukan,yg mungkin bisa menjadikan pertimbangan bagi teman2 Guru,unk memberikan masukan ke Pemerintah,apakah Ujian2 yg ada di Ind benar2 harus dihapus,atau hanya dikurangi.

Semoga bermanfaat!

Anonymous said...

Pak Pur: Penyempitan makna belajar (nyaris) tidak bisa dihindari karena "kebetulan" tolok ukur keberhasilan belajar yang "dibebankan" ke sekolah sangat materialistik. Penggunaan angka dan huruf yang dominan namun kehilangan makna akibat ketiadaan penjelasan deskriptif dari masing-masing pelambangan angka atau huruf.
Buku raport yang begitu tipis (umumnya) hanya dipandang sekilas untuk melihat acuan-acuan pokok yang sudah "umum". Misalnya : adakah nilai "merah", adakah nilanya di bawah rata-rata, dst. Sementara penjelasan makna nilai angka tersebut luput dari pengamatan dan terkadang memang tidak ada penjelasannya sama sekali. Seharusnya orang tua proaktif untuk menanyakan sampai sejauh mana kemampuan sang anak, dengan mengacu pada nilai-nilai yang tertera di laptop. Apa daya, hal ini kadang justru berimbas negatif pada sang anak di sekolah. Hal ini semestinya bisa "diputus" dengan pertemuan orang tua dan guru yang rutin dan evaluatif kedua belah pihak.
Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Salam "pendidikan bermakna"

Anonymous said...

Puti: Pak agus, terimakasih tulisannya. Entah kenapa ketika membaca tentang
pertanyaan orang tua tentang berapa soal yang akan diujiankan mengenai
drama, rasanya langsung "jleb" kayaknya ada yang nusuk hati saya.
Sedih rasanya kegiatan belajar dipandang sempit.. Padahal lewat drama,
siswa bisa belajar banyak hal, mengeksplorasi cerita, kerja sama,
ketekunan, percaya diri, pembagian peran, improvisasi, kreativitas,
dan banyak hal lain. Terima kasih, tulisannya mengingatkan saya untuk
kembali merenungkan makna belajar.
Salam,
Puti

Anonymous said...

Pak Satria: + Ya, Puti. Semestinya siswa ditanyai setelah belajar :"Apa yang kamu peroleh setelah sesi belajar kita kali ini...?!" Kadang-kadang siswa tidak bisa merumuskan apa hasil dari proses belajar yang telah mereka lakukan dan perlu dibantu untuk mengartikulasikanny a.
Kalau orang tua bertanya demikian maka ortu tersebut perlu diajak untuk mendiskusikan kembali apa tujuan belajar bagi anak. Mungkin tidak akan berhasil mengubah pandangan ortu tersebut tapi paling tidak ini akan memberkannya wawasan yang benar.
Salam