Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

11 December 2009

Guru yang Intelektual

Beberapa waktu yang lalu, Selasa, 24 November 2009, saya mengikuti kegiatan seminar di SFTI Jakarta yang mengusung tema Guru Bersertifikat vs Guru Intelektual. Bahasan ini menarik tidak saja bahwa bagi yang telah tersertifikasi maka pemerintah akan memberinya tambahan penghasilan yang berupa tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok, tetapi karena mengangkat topik tentang guru berkualitas atau guru profesional atau guru intelektual dengan guru yang telah bersertifikasi.

Pada tanggal 25 November 2009, bertepatan dengan hari guru, Ahus Suwignyo, yang pedagog dari FIB UGM menulis di Kompas dengan bahasan yang hampir sama yaitu tentang Guru yang Intelektual. Dimana dikisahkan bahwa gagasan pemerintah untuk mencetak guru yang intelektual dimulai dengan dileburnya Sekolah Pendidikan Guru atau SPG menjadi LPTK dan kemudian berlanjut dengan diperluasnya IKIP menjadi Universitas. Dimana diharapkan dengan hal tersebut akan dapat dilahirkan sosok ilmuwan yang guru dan guru yang ilmuwan.


Setelah sekian lama gagasan penghapusan SPG dan juga perluasan IKIP menjadi Universitas tersebut berlangsung, dan sekarang dengan lahirnya kebijakan sertifikasi guru sebagai bagian dari amanat UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen, telah terlahirkan sosok guru yang intelektual atau guru yang ilmuwan itu?


Guru yang Ilmuwan
Apa, bagaimana, dan siapakah guru yang ilmuwan itu? Lodi Paat, Dosen UNJ dalam diskusi di SFTI tersebut mengemukakan bahwa mereka adalah sosok guru yang priyayi. Hal ini dirujuknya dalam fiksinya Umar Kayam dalam judul Para Priyayi yang menokohkan priyayi pemula sebagai guru yang bernama Sastrodarsono.

Bagi Anda yang telah membaca buku itu, maka Sastrodarsono yang berasal dari Kedungsimo itu menapaki kepriyayiannya dengan menjadi guru. Sosoknya sebagai seorang guru yang priyayi inilah yang pada ujungnya memperoleh pengakuan dari masyarakat dimana ia berada untuk menjadi panutan.

Berikut saya kutipkan tentang sosok Pak Guru Sastrodarsono itu dalam Novel Jalan Menikung, Para Priyayi 2, halaman 148:

...meskipun dulu hanya menjabat kepala sekolah desa dan petani priyayi kecil saja, tetapi terkenal diantara penduduk Wanagalih kerena luas pergaulannya. Teman-teman main kartunya adalah pejabat-pejabat teras Kabupaten, seperti dokter, asisten wedana, jaksa, mantri polisi, dan sebagainya lagi. Dan bermain kartu bersama-sama tokoh masyarakat Wanagalih itu berarti Pak Sastrodarsono sudah diterima sebagai pemimpin masyarakat yang terpandang juga. Pendapat-pendapatnya yang secara tidak resmi terlontar dalam pergunjingan permainan kartu itu sering juga dipertimbangkan sebagai masukan-masukan bagi pemimpin masyarakat resmi itu. Dengan begitu, Sastrodarsono juga menikmati kedudukan terhormat di masyarakat Wanagalih.

Guru yang ilmuwan juga adalah guru yang mampu menginspirasi siswanya sebagaimana Pak Guru Balia yang mengajar Bahasa Indonesia di SMA Bukan Main-nya Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi.


Jakarta, 25 November-11 Desember 2009.

1 comment:

latifa hanoum syarief said...

Assalamu'alaikuuum,semoga ALLAH SWT selalu memberkahi bapak and fam. He ...56 x,by the way, lanjutan artikelnya mana pak? kenapa harus bersambung pak? kenapa tidak ditulis seluruhnya ? Ditunggu kelanjutannya ya pak, wass.