Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

19 July 2009

Menjadi Protester


Protester atau tukang protes, adalah sebuah sikap disandang karena kebiasaan untuk melakukan ketidakpuasan atau masukan dalam bentuk protes.

Secara positif antara lain memiliki fungsi sebagai check and balance. Sebagai penyeimbang sehingga organisasi dapat selalu berjalan maju dan tumbuh sehat dengan adanya kontrol. Dapat juga dikatakan sebagai cara pemberian masukan atas sebuah kekurangan, seperti apa yang dirasakan seseorang, sehingga ia merasa perlu adanya penguatan atau bahan koreksi.

Namun kebiasaan ini dapat menjadikan pelakunya sebagai individu yang tidak populis bagi yang ada di sekitarnya. Baik yang berada di atasnya secara struktural atau disampingnya.

Secara riil, sikap protes memiliki konotasi buruk. Berbeda dengan masukan yang jauh memiliki cita rasa positif.

Dalam suatu pertemuan dengan guru, saya merumuskan bahwa hal positif tentang sesuatu yang ada di lingkungan kita atau di dalam organisasi kita, yang dalam kaca mata kita masih membutuhkan perbaikan, dan itu menjadi konsen kita, jika kita sampaikan kepada atasan dan sebelah kita dengan bahasa yang positif, maka kemungkinakan berimplikasi positif lebih besar dibanding implikasi negatif. Tetapi jika hal positif tersebut kita sampaikan dengan cara dan alat atau bahasa negatif, maka kemungkinan implikasi negatifnya jauh lebih besar dibanding implikasi positifnya.

Itulah sebabnya mengapa ketika sebuah hal baik dalam kaca mata saya namun dalam realitasnya tidak berjalan sebagaimanan yang saya impikan, dan hal itu disampaikan kepada atasan saya, kepada teman-teman di kantor dengan bahasa protes yang penuh nafsu menyalahkan, menjadikan ketidakberuntungan bagi saya dimasa berikutnya. Saya dikucilkan secara sosial. Meski beberapa teman mengakui bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar adanya.

Dan pada tahapan ini saya mencoba untuk menemukan sebuah tesis bahwa hal yang baik jika disampaikan dengan kurang baik, misalnya dengan menantang, menghakimi, atau bentuk penyampaian yang kurang baik lainnya yang menyebabkan orang lain sakit atau terluka hati, maka maklumilah bahwa kita sedang merancang ketidakberhasilan. Ini adalah bentuk buruk dari cara berkomunikasi.

Dan pada tahapan berikutnya saya meyakini bahwa menyampaikan sebuah perbaikan atau sebuah koreksi atau sebuah langkah pengembangan sesungguhnya adalah sebuah langkah dakwah. Harus melibatkan dan dilakukan secara egaliter. Baik dalam ranah jiwa maupun raga.

Dan saat melihat ada teman yang menyampaikan keinginannya dengan cara protes, saya menjadi teringat bagaimana argumentasi yang dulu pernah saya gunakan. Saya mencoba untuk memahami pola pikir yang membingkai sikap protester itu…

Jakarta, 20 Juli 2009.

No comments: