Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

06 June 2010

Paling Pintar


Bagaimana kami, para temannya, memberikan nasehat atau masukan kepada dia, sahabat kami tentang sesuatu, agar menata kembali cara pandang dan bersikap? Adalah sebuah ikhtiar yang tidak mudah. Atau bahkan kami akan berpikir ulang sebelum nasehat itu sendiri muncul dalam kalimat percakapan kami. Apakah kami yang kebetulan berada dalam posisi kerja yang ada di atasnya, pararelnya atau bahkan di bawahnya. Sulit rasanya itu dapat terjadi.
Pernah salah satu dari kami mencobanya memberikan masukan. Ia mengangguk dan terima kasih dengan tidak lupa menyunggingkan senyum. Namun masukan itu sepertinya tidak memberikan bekas kepadanya. Mungkin ini sebagai implikasi dari sikap dan perilakunya yang tidak membutuhkan orang lain.


Mengapa? 
Dalam analisa saya mengapa dia memiliki sikap dan perilaku seperti itu dalam konstelasi sosial kerja? Adalah bukan karena kekurangannya dalam menerima sesuatu yang bersifat masukan baru. Tetapi justru karena kenyataan bahwa kepintarannya yang nyaris sempurna itulah yang menjadi hambatan bagi dia untuk menerima masukan orang lain. Dalam alam pikir kepintarannya itu, dia terlanjur melihat teman dan orang lain diluar dirinya, atau minimal, berada pada satu strata di bawahnya. Sulitnya, dia tidak tahu atau tidak menyadari kalau itu menjadi titik lemahnya.


Itulah penyakit sahabat saya, sahabat kami bersama di kantor. Apakah ada diantara Anda memiliki teman seperti yang dimiliki oleh kami? Tolonglah bagi resep kepada kami agar teman saya yang pintar ini juga pandai dalam mengelola sikap dan perilakunya bagi keberhasilan horisontal. Dan menakar serta berkorelasi positif terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga kepintarannya akan menjadikannya jauh lebih cerdas dan sekaligus mulia di hadapan kami, temannya.

Dan sepanjang dia belum mau merubah, maka menjadi bukti nyata bagi kami bahwa, kepintarannya, yang adalah kapital, yang merupakan anugerah Allah tersebut, masih kurang membuatnya mendapat tambahan kepercayaan lingkungan kerjanya. Yaitu kepercayaan untuk dipercaya dalam persahabatan dan pergaulan. Kepintaran sahabat saya itu sayangnya masih menjadi bahan mentah bagi kesuksesannya di lingkungan sosialnya. Belum berkontribusi dan memberikan inspirasi bagi siapa saja yang ada di lingkaran terdekatnya.


Dan tampaknya perasaan dan fakta bahwa dirinya pintar itulah, yang telah membiusnya untuk menjadikan diri sebagai standar lingkungan kantornya. Dan inilah yang sering menjadi sumber konflik horisontal. Sedih. Orang lain bisa salah dalam menyelesaikan proyek bersamanya. Namun dirinya tidak pernah dan tidak akan mungkin melakukan kekeliruan. Semua kendali benar atau tidaknya hanya ada dalam dirinya. Inilah puncak dari kepintarannya itu.

Ada memang sahabat kami yang lain menyarankan agar kami mau mengerti dan memahami dia sebagaimana adanya. Karena memang selama ini dia terdidik dalam lingkungan yang selalu dimenangkan. Ditambah dengan kepintarannya yang luar biasa, yang membuatnya memiliki kesempatan untuk bersekolah dan menamatkan kuliah di jurusan dan perguruan terbaik di negeri ini. Namun, dengan sikap ini berarti kami harus memaklumi dia apa adanya dan tidak mungkin dapat menuntut dia mau memahami kami. Tapi kami berpikir apakah seperti ini solusi yang cerdas dan egaliter bagi sebuah komunitas pembelajar? 

 
Kami masih buntu. Namun terakhir, kami berpikir untuk mengadakan diskusi yang buka-bukaan bersama dengan penuh ketulusan. Dan kami tetap menunggu apakah kami tetap mengalah dengan sikap dan perilakunya yang pintar luar biasa itu? 

Semoga Allah memberikan pintu gerbang penyelesaian yang lebih baik bagi kami semua. Amin.



Jakarta, 6-7 Juni 2010.

1 comment:

Anonymous said...

Waduh…aku jadi inget pengalamanku beberapa tahun yang lalu. Saat itu banyak juga guru yang merasa sudah “berpengalaman” ada yang sudah puluhan tahun, padahal katakanlah pengalaman mengajar 10 tahun mungkin juga berarti “melakukan hal yang sama berulang-ulang selama 10 tahun”.

Lalu kita mulai mengubah aturan mengenai portfolio guru, dari yang tadinya sekedar unjuk “gigi” mengenai apa yang telah `dilakukan selama 1 tahun ajaran (show case portfolio menjadi portfolio yang berbasis refleksi. Saya senang sekali kata2 John Dewey, “we don’t learn from experience but we learn from reflecting on experience”, singkat kata kita wajibkan semua guru maupun leader untuk memuat hal2 berikut ini dalam portfolionya, misalnya: filosofi pendidikan, analisa pribadi mengenai kemampuan diri dalam mengajar dan penguasaan kurikulum dan penerapannya, bukti pengembangan professional pribadi. Dari filosofi pendidikan kita bisa menilai cara pandang guru terhadap “perannya sebagai guru”, kemudian analisa kemampuan diri kita minta mereka menilai diri dalam 4 kata gori, excellent, very good, good dan needing development, nah biasanya guru2 yang “berpengalaman selalu menempatkan dirinya dalam kolom excellent, tetapi mereka tidak bisa menjelaskan mengapa mereka pikir mereka sudah di kelompok excellent, apalagi kalau diminta menyertakan bukti, banyak juga yang kelabakan.

Lalu kita juga meminta mereka membuat personal goals, trus membuat refleksi di tiap term dengan pertanyaan panduan “

What did you do well in achieving your goals?

What would you have done differently and why?

what recommendations could you make to others based on your findings?

Based upon what you have learned, what future studies would you consider to help your students learn?

Setiap guru harus share portfolio mereka dengan leader dan juga dengan sesama guru, tiap guru harus sharing dengan 3 guru yang berbeda.

Yang menarik adalah saat guru guru “berpengalaman” tersebut, sulit sekali memberikan penjabaran atas pertanyaan panduan itu, karena pertanyaan panduan tersebut akan segera membedakan guru yang pembelajar dan yang bukan.

Di akhir sesi, tiap guru diminta menuliskan “ apa yang mereka pelajari dari guru lain”

Trus saya sebagai kepala sekolah secara strategis membahas poin2 yang tertulis yang benar-benar mengena dengan tujuan kita “menyadarkan” targeted teachers”.

Kegiatan ini dilakukan setahun 2 kali, dengan rutin menitikberatkan hal-hal yang sekolah harapkan.

Akhirnya poin2 yang dihasilkan kita buat menjadi essential agreement kita.

Alhamdulillah perkembangannya dari tahun ke tahun bagus sekali, bentuk portfolio seperti ini memaksa kita menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Mudah2an bisa membantu ya Pak Agus......

Ratih Saraswati


Ratih Saraswati
PYP Principal
Sekolah Ciputra
An International and IB World School
Surabaya-Indonesia
ratih@ciputra-sby.sch.id
+628158026568