Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

08 March 2010

Pemilik Angkot

Hal yang biasa jika saya bisa ngobrol dengan tetangga dimana saya tinggal. Tetapi yang menjadi tidak biasa adalah ketika tetangga tersebut memberikan beberapa informasi berkenaan dengan per-angkotan-nya yang dia miliki dan kebetulan saat saya mengajaknya mengobrol, angkot tersebut sedang direparasi total. Reparasi secara mandiri. Dan saat saya menemani tetangga itu bekerja, ia sedang memberikan sentuhan terakhirnya kepada angkotnya itu.

Dia menceritakan betapa beratnya 'memelihara' angkot di Ibu Kota. Angkot jurusan Kebon Jeruk-Tanah Abang, yang awalnya dia miliki pada lima tahun lalu dengan harga pembelian seratus juta rupiah. Angkot itu telah memberikan kontribusinya kepada dia dan keluarga dalam mengarungi hidup di Jakarta.

Namun dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kontribusi yang diawalnya dulu lumayan besar semakin hari semakin tipis. Bahkan untuk menghidupi dirinya sendiri, angkot itu harus megap-megap. Industri angkutan umum di Jakarta pada umumnya, dan khususnya untuk jurusan Kebun Jeruk-Tanah Abang, terpuruk tidak terkirakan.

Pengguna angkutannya semakin hari semakin menurun. Sementara ongkos perawatan justru kebalikannya. Demikian pula dengan uang setoran dari para supirnya. Jarang ia menerima uang setoran secara tetap dan ajeg untuk setiap harinya. Ia sebagai pemilik angkot, tidak mungkin memprotes para penumpangnya yang sekarang sudah banyak yang beralih ke sepeda motor. Maka hari-harinya bersama angkotnya itu adalah sebentuk kesedihan dan kekuatan untuk bertahan.

Uang setoran tidak lagi dapat menjadi agunan bagi kehidupannya sehari-hari. Apalagi untuk membayar uang sekolah putranya di sebuah SMK Swasta. Melepas angkot untuk dilego? Juga tidak mungkin ia rela melakukannya. Perasaan untuk tidak mau rugi lebih besar lagi, memberinya kekuatan untuk terus bertahan dan mempertahankannya. Karena begitu angkot itu dia lepas, maka tidak akan ada lagi pegangan yang menemaninya dalam melakukan ikhtiar hidup selain menjadi montir panggilan.

Maka angkotnya, tak ubahnya adalah harga dirinya sebagai laki-laki. Sebagai kepala rumah tangga. Bahwa ia masih eksis dengan pekerjaannya sebagai pemilik dan pengelola angkot.

Jakarta, Senin, 8 Maret 2010.

No comments: