Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

13 April 2010

Mengapa Mesti Repot-Repot?

Mengapa mesti repot-repot untuk melakukan atau untuk membuat kegiatan belajar menjadi lebih menarik, menyenangkan dan menantang siswa? Pernahkan kita mendengar kalimat seperti itu? Kalau belum pernah, mungkin ada baiknya saya akan menjelaskan apa yang pernah saya dengar.
Saya mendengarnya beberapa waktu lalu dengan seorang Kepala Bagian di sebuah lembaga. Ia menceritakan setelah kami meningalkan tangga Masjid seusai menunaikan Salat Magrib. Dia menceritakan ini mengingat himbauan dan ajakannya, sebagai panitia di sebuah kepanitiaan, yang mengharuskannya untuk mengundang teman-teman guru guna mengikuti pelatihan yang diselenggarakannya. Namun betapa kagetnya dia saat Pak Guru itu menolak tawarannya dengan kalimat yang lebih kurang seperti judul di atas.


Benar. Mengapa harus repot-repot? Harus membuat perencanaan yang lebih matang, yang oleh karenanya harus memerlukan informasi yang lebih banyak lagi berkenaan dengan ide tentang proyek belajar? Pilih saja kegiatan belajar yang pernah ada sebelumnya, yang tidak lagi menuntut kita untuk berusaha lebih keras lagi dalam pembuatan rencana. Flat saja. Lakukan seperti apa yang pernah kita lakukan. Lakukan sebagaimana biasanya. Tidak perlu lagi membuat sesuatu yang sebelumnya belum pernah kita lakukan. Karena itu berarti kita sedang menciptakan pekerjaan baru? Jadi, ngapain harus repot-repot?


Inilah logika bagi penganut faham: mengapa mesti repot-repot? Saya menyampaikan ini bukan karena berkepentingan dengan ada sebuah pembahruan di sebuah lembaga. Ini murni saya sampaikan karena betapa ruginya hidup bagi penganut faham itu. 

Ada beberapa alasan mengapa saya memiliki kesimpulan seperti itu. Pertama, bahwa dalam usaha memperbaiki diri secara terus menerus guna mencapai derajat mulia atau yang bermartabat, maka proses melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dalam kerangka pengembangan, penumbuhan dan penyempurnaan adalah inti dari sebuah makna kata survive. Wujud paling nyata dari makna kata itu yang dapat kita saksikan bersama dalam kehidupan ini adalah, bagaimana pelaku usaha selalu merubah tampilan produknya dengan selalu menyesuaikan diri dengan apa yang sedang tumbuh dan hidup dipemakai produknya. Dan tanpa ikhtiar ini, maka berhentilah kelangsungan hidup usahanya (?).

Untuk itu maka guna mempertahankan eksistensi, diantara ikhtiar dan perjuangan untuk mendaatkanya dan wajib kita lakukan adalah untuk tidak sungkan melakukan sesuatu yang berbeda dengan tujuan mencapai pertumbuhan menuju yang lebih baik. 

Kedua, Nikmatilah hidup ini dengan cara yang berbeda-beda. Maksudnya? Jangan pernah kita mau untuk melihat, mendengar, merasai, ataupun melakukan sesuatu dengan menggunakan kaoordinat yang sama. Linier terus menerus dan berkepanjangan. Jauh lebih baik kita menggunakan semangat eksploratif. Jika jalan berbeda yang kita tempuh dan karena itu kita akan menjadi gamang, jalan terus. Bukankah sesuatu yang berbeda kan membuat pengalaman kita bertambah dari apa yang kita lakukan kemarin? Bagaimana jika keberbedaan itu kita jadikan kredo berpikir dan bertindak kita, apakah tidak berarti kita jauh memiliki pengalaman yang lebih kaya? Lalu bagaimana dengan bertambahnya kerepotan yang harus kita jalani? Justru semakin repot itulah yang menjadikan pengalaman yang akan kita dapatkan menjadi lebih berharga.

Ketiga, Berpikirlah selalu dari kata mungkin. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semua hal serba mungkin. Jika demikian, maka keberhasilan dan eksistensi yang orang lain dapatkan juga dapat pula menjadi bagian dari diri kita.


Dan sebelum saya berpisah dengan teman saya itu, saya sempat berguman pada diri sendiri. Bahwa orang yang mengatakan ngapain repot-repot itu sangat boleh jadi kalau dirinya berada pada posisi bahwa dia tidak tahu kalau ia menjadi bagian dari orang-orang yang tidak tahu. Kasihan.

Jakarta, 15 April 2010

Belagu

Kalau dalam bahasa Ibu saya, istilah yang paling cocoknya adalah kemlinthi. Penjelasannya adalah sikap sok. Misalnya saja sok punya. Maka bagaimana menampilkan diri menjadi seperti punya , misal saja seperti orang yang punya uang. Padahal sesungguhnya sikap sok menjadinya itu adalah upaya mengelabuhi diri sendiri yang memang kontras dengan apa yang ditampilkannya. itulah penjelasan saya tentang sikap atau perilaku belagu.
Pagi itu, Ahad, 18 April 2010, kebetulan saya mendengarkan siaran Radio dalam acara Talk Show Tilawah Al Quran yang menghadirkan Ustad Yusuf Mansur dan Ustad Efendi. Dalam selingan ceramahnya, Ustad Yusuf bercerita bahwa masih ada beberapa orang yang menjadi imam ketika shalat di masjid, yang bacaan shalatnya masih belum tuntas benar. Dimikian Ustad muda ini mengawali ceritanya. Repotnya, lanjutnya, ketika saya mencoba untuk menyampaikan beberapa bacaan yang kurang benar itu, si imam justru nanya; memang antum siapa?
Diceritakan pula saat rombongan Ustad ini jamaah di suatu tempat di tanah Arab, dan kebetulan imam masjidnya ada yang kurang benar dalam bacaannya, dan disampaikan kekurangannya itu, maka sang imam langsung meminta agar seluruh bacaan Qur'annya di koreksi. Nah!

Dari apa yang saya dengarkan pagi itu saya memperoleh pencerahan kalau belagu juga dekat dengan kebodohan. Artinya, seseorang yang memiliki sikap belagu, akan membuat dirinya untuk menjadi yang paling benar dan yang paling pintar diantara orang yang ada, sehingga sikap ini akan membuatnya lupa bahwa ada hal penting dalam dirinya yang masih perlu diperhatikan dan diperbaiki. Sikap inilah yag memperlambat pengembangan potensi dirinya.
Sikap ini menutupi potensi kita untuk berkembang melejit. Karena sikap belagu akan membuat seseorang menjadi pongah. Dan sikap pongah akan memunculkan keyakinan pada diri sendiri yang mungkin menjadi berlebihan, yang tidak memungkinkan seseorang menjadi lebih ikhlas dalam menerima masukan. Artinya, sikap belagu sangat boleh jadi milik mereka yang tidak tahu kalau dirinya kurang atau bahkan tidak tahu.

Dari sini jugalah saya akan mulai bergerak sekuat tenaga untuk belajar menjadi orang yang bukan siapa-siapa yang memungkinkan saya melihat diri saya tidak lebih dari pada orang lain yang ada di sekitar saya. Berat. Karena saya terlanjur dewasa. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Dan usaha ini harus saya lakukan karena masa di depan saya masih terbuka lebar untuk apa saja yang saya impikan.

Saya berharap, ikhtiar ini membawa keberkahan hidup. Amin.

Jakarta, 18-27 April 2010

12 April 2010

Pelajaran di Hari Libur Sekolah


Ada pelajaran berharga sekali ketika libur saya kembali ke kampung beberapa waktu lalu. Saat dimana Bapak saya masih ada. Dimana sembari menengok Bapak saya memberitahukan keberadaan saya di kampung kepada sahabat saya seperjuangan di kampung yang mengelola sekolah swasta.

Sahabat meminta saya untuk meluangkan satu hari disaat-saat menengok Bapak, guna memberikan pelatihan bagi teman-teman gurunya yang berjarak lebih kurang 60 kilometer dari rumah Bapak saya. Maka pukul 05.30 saya telah bersiap sedia di pinggir jalan raya menunggu bus AKAP Jogjakarta-Purwokerto yang bisa saya tumpangi.

Pukul 08.00-15.00 pelatihan itu berlangsung. Meriah sekali. Saya mengajak peserta untuk melihat potensi yang paling mungkin dieksplorasi dalam mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna di dalam kelas. Kadang mereka serius memperhatikan apa yang saya sampaikan. Atau kadang mereka sendiri yang mempresentasikan hasil analisa kelompoknya atau menyimak hasil kerja kelompok lain. Sesekali mengajukan pertanyaan yang operasional berkenaan dengan apa yang saya sampaikan. Bahkan ada kalanya kita termangu seperti tidak percaya bahwa dengan modal yang sederhana dapat menjadikan belajar menyenangkan dan menantang siswa.

Berapa gaji sebagai guru di sini? Tanya saya kepada teman yang memboncengkan saya untuk mengantarkannya di pool bus Sumber Alam. Saya lupa siapa nama guru itu. Tapi sepengatahuan saya, ia adalah kelompok awalun ketika sekolah swastanya didirikan beberapa tahun lalu. Artinya masuk dalam kelompok guru senior di sekolahnya yang baru tersebut.

Guru baru dua ratus ribu. Sedang guru yang tergolong senior ditambah sebagai guru kelas dan koordinator ekskul bisa dapat limaratus lima puluh. Kalau kepala sekolah tujuh ratus lima puluh. Jawabnya tulus. Terus terang, saya yang menjadi guru swasta di Jakarta tidak terbayangkan dengan jumlah gaji sebesar itu.

Hebat. Pikir saya. Karena selain guru-guru yang mengajar di sekolah swasta, saya kebetulan juga bersahabat dengan teman SPG dulu yang sekarang menjadi PNS. Rata-rata sahabat SPG saya sekarang telah memiliki golongan 3. Dan bahkan ada yang telah menjadi Kasi Dikpora. Dan pastinya memiliki pendapatan yang jauh lebih besar dari itu. Itu keyakinan saya ketika saya mengunjungi rumah mereka yang mentereng.

Hebat karena dengan pendapatan sebesar itu jam kerja mereka tidak kalah dengan kita yang ada di Jakarta. Rata-rata mereka harus sudah di dalam kelas pukul 07.00 dan kelas kosong dari siswa sekitar pukul 15.30! Dan jam pulang siswa itu belum berarti mereka bisa meninggalkan sekolah. Karena sangat sering masih ada kegiatan di luar mengajar. Mungkin ada diskusi, mempersiapkan kegiatan belajar hari berikut atau rapat tentang kegiatan ekstra kurikuler lainnya.

Hebat karena ada beberapa diantara mereka adalah sarjana dari Lampung, Bogor, Jakarta, Bandung, Purwokerto, Jogjakarta dan juga Surakarta. Bahkan ada juga lelaki separuh baya yang memiliki akta IV, korban PHK di Tangerang dan memilih kembali ke kampung halamannya. Selain pengusaha pupuk kompos adalah juga guru Matematika di kelas 4, 5 dan kelas 6.

Inilah sekelumit pelajaran yang saya dapatkan di saat libur sekolah tahun 2008 yang lalu. Menengok Bapak yang saat itu masih ada dan memberikan pelatihan kepada teman-teman guru yang hebat.

Jakarta, 12 April 2010.

04 April 2010

Mempertajam Radar Sosial

Inilah kata saya kepada salah seorang keponakan saat kami berkumpul di sebuah arisan keluarga. Kata ini saya sampaiakna dihadapan para keponakan setelah ada kejadian kendaraan yang tidak bisa melintas di jalanan komplek di mana kami berkumpul karena adanya dua kendaraan yang parkir berdekanan satu dengan yang lainnya namun berada pada sisi yang berbeda.


"Kendaraan yang mana yang tadi parkirnya lebih awal?" Tanya saya.
"Yang warna putih Om." Jawab salah satu keponakan mencoba menjelaskan.


Dan dengan keterangan ini cukup bagi kami untuk menentukan siapa pemilik kendaraan yang tidak berperikendaraan. Yang memakirkan kendaraan di sisi kendaraan yang parkir terlebih dahulu tanpa berpikir apakah jalan yang juga menjadi tempat parkir tersebut masih memberikan akses bagi kendaraan lain untuk melewatinya?


Di sinalah saya menjadi sangat terheran-heran. Apakah kendaraan yang parkir belakangan dikendari oleh pengemudi yang lulus dari sekolah kita? Apakah tidak sampai diakalnya jika jalanan dimana dia memarkirkan kendaraannya adalah bukan jalan buntu?


Bentuk sikap dan perilaku yang telah ditunjukkan oleh pengemudi mobil yang parkir belakangan itu saya sebut sebagai penyakit tumpul radar sosial. Yaitu ketidakpedulian seseorang terhadap implikasi sosial atau implikasi lingkungan dari tindakannya.


Meski ia adalah orang yang memiliki gelar akademis yang baik dan reputasi kerja atau jabatan yang bagus, namun sikapnya tersebut telah memberikan gambaran bagi kita, atau memberikan bukti bagi kita bahwa yang bersangkutan adalah pemilik kecerdasan sosial yang lemah. Atau pemilik dari radar sosial yang tumpul. Yang menyebabkannya sulit membaca lingkungan sosial yang berkorelasi dengannya.


Pengalaman yang saya alami ini sangat mungkin juga pernah pembaca lain alami pula. Meski dalam bentuk empiri yang berbeda.


Itulah pentingnya bagi kita untuk mampu memetakan konstelasi sosial yang berada dalam lingkungan dimana kita berada dan berinteraksi. Yaitu dengan terus menerus mempertajam kemampuan menangkap sinyal dari lingkungan sosialnya. Mempertajam radar sosial.


Jakarta, 4 April 2010

03 April 2010

Mungkin


Saya menemui dan menemani tamu yang melakukan kunjungan studi di sekolah kami. Mereka rombangan dari sebuah Kabupaten di Jawa Timur yang dipimpin oleh Wakil Bupatinya. Rombongan ini terbilang lengkap untuk sebuah kerangka perubahan di sebuah Kabupaten yang mereka impikan. Ada dari ekskutif; Wakil Bupati, wakil dari Dinas Pendidikan, wakil dari sekolah dan juga dari Legeslatif; yaitu beberapa anggota DPRD yang membidangi pendidikan. Ini kami lakukan untuk membuat pilot project sebuah sekolah yang dapat diunggulkan. Demikian penjelasan kepala rombongan.

Namun setelah presentasi tentang sekolah yang kami sampaikan selesai, dilanjutkan kunjungan ke kelas-kelas dan melihat fasilitas yang ada, saya banyak mendengar kata-kata yang diungkapkan anggota rombongan yang tidak menyiratkan optimisme dan semangat Oh Ya!.

  • "Sekolah ini luar biasa Pak Agus. Semua fasilitasnya lengkap. Semua serba kondusif untuk menjalankan program-program unggulan. Beda sekali dengan apa yang ada di sekolah kami. Apa yang bisa kami contoh ya Pak?" Kata salah satu anggota rombongan ketika berada di ruang Komputer.

  • "Bagaimana ngak maju Pak, biaya yang dikeluarkan juga wah? Beda dengan kita yang di daerah." Kata anggota rombongan lainnya.

  • "Luar biasa sekolah ini Pak. Jika sekolah ini nanti yang akan menjadi patokan kami di daerah, wah ngak kebayang bagaimana kami harus mengejar semuanya. Kami pesimis Pak Agus." Komentar yang lain lagi.
Pendek kata, banyak komentar anggota pengunjung yang datang ke sekolah kami yang bernada pesimis, minder, serta sama sekali tidak melihat bahwa diri dan potensi mereka memungkinkan untuk mampu berbuat apa yang telah kami capai atau bahkan melakukan sesuatu yang jauh lebih baik dan maju dari pada apa yang dilihatnya.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, baik di ruang pelatihan atau ruang guru yang ada di sekolah, sikap semacam ini, sesungguhnya tidak hanya menjadi milik anggota rombongan studi lapangan itu saja. Banyak diantara kita ketika melihat sesuatu yang berbeda atau sesuatu yang baru atau juga sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah menjadi milik kita hari ini, kita menyikapinya dengan nada yang tidak mencerminkan keoptimisan.

Banyak diantara kita ketika pada posisi itu pikiran pertama yang muncul adalah ketidakmungkinan. Dan pikiran dan sikap inilah, menurut saya, yang pertama harus kita singkirkan agar kita tidak selalu bangga dengan apa yang sudah kita punya. Kita harus berani atau nekat jika diperlukan untuk merubah pikiran dan sikap ketidakmungkinan tersebut menjadi mungkin!

Mengapa kita perlu terus menerus belajar dan melakukan studi banding jika dalam dasar benak kita hanya ketidakmungkinan yang akan kita rekomendasikan sebagai tindaklanjutnya? Bukankah jauh lebih efisien jika kita tetap tidak melakukan apa-apa jika konsep ketidakmungkinan yang menjadi jalan keluar setiap ikhtiar kita?

Maka sangat korelatif jika ikhtiar untuk maju dan berkembang serta tumbuh pada diri kita dan pada sebuah lembaga itu dilandasi pikiran dan sikap mungkin. Karena hanya dengan semangat mungkin-lah yang akan menghantarkan kita menuju tujuan yang telah kita buat dalam koordinat hidup kita sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam sebuah lembaga yang bernama sekolah.

Semangat mungkin, hanya mampu dimiliki oleh kita yang menjadi penganut faham optimisme. Faham bahwa berubah adalah sebuah perjalanan hidup yang harus selalu dilalui. Semoga.

Jakarta, 1-12 April 2010