Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

13 February 2009

Dialog Utara-Selatan

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, komunikasi menjadi bagian paling utama saat membangun keberhasilan sebuah lembaga. Termasuk di dalamnya lembaga pendidikan. Goleman menguraikan bahwa kemampuan membangun komunikasi dengan pihak luar sehingga menjadi jalinan yang sinergi adalah tingkatan terakhir dalam sebuah kecerdasan emosional. Dan tingkat terakhir ini berawal dari tingkat yang paling endah. Yaitu mengenali diri.

Prinsip inilah yang mungkin menjadi pemicu bagi kegiatan dialog antara guru dengan manajemen yang memiliki alur bebas, tema bebas, seperti forum katarsis yang pernah saya alami di beberapa lembaga pendidikan swasta. Dialog yang kemudian kita namakan sebagai dialog utara-selatan, meniru apa yang pernah dilakukan oleh Presiden ke-2 kita, Bapak Soeharto. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah yang lebih pas, ngobrol ngalor-ngidol. Sebuah ungkapan yang menurut saya jauh lebih sarat makna.

Munculnya kegiatan ini, yang melibatkan antara lain manajemen di tingkat lembaga dengan para guru diilhami dengan keingintahuan pihak manajemen lembaga terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kita sebagai manajemen lembaga kadang melihat bahwa semua kegiatan dan program telah berjalan dengan baik, lancar dan sesuai dengan ekspektasi. Ketika ini telah berlangsung dalam kurun waktu tertentu, tentu kita yang menjadi bagian dari organisasi tersebut sedikit merasakan bahwa kegiatan atau program sekolah itu sudah berlangsung berulang seperti rutinitas. Sekalipun dalam setiap program yang berulang tersebut
selalu saja terjadi pengembangan bentuk dan kualitas karena penampungan ide-ide baru dari seluruh pelaksana di lapangan oleh guru yang kreatif. Tetapi cita rasa perulangan akan terus selalu dirasakan. Maka untuk memahami getaran cita rasa itulah, diperlukan sebuah dialog atau diskusi bebas.

Sebuah dialog yang pada akhirnya menjadi jembatan introspeksi tentang langkah yang telah dilalui dan kemungkinannya untuk membuat lejitan baru. Bisa pula sebagai penyamaan persepsi tentang semua hal yang menjadi fokus pembicaraan sehingga nantinya timbul komitmen baru. Bisa juga menjadi evaluasi bagi lembaga untuk menuju yang lebih baik lagi. Pertanyaannya adalah, apakah selama sekian lama tidak terjadi adanya dialog atau diskusi antara pihak manajemen dengan guru sehingga kita membutuhkan forum yang sedemikian khusus? Saya meyakini bahwa siapapun anda, khususnya sebagai manajemen di sebuah lembaga, pasti akan selalu membangun forum komunikasi. Baik itu dalam rapat kerja, rapat guru jika di sekolah, atau sekedar diskusi ringan ketika anda menyelesaikan sholat berjamaah di musholla. Tetapi karena dialog atau diskusi yang anda buat atau yang terjadi tersebut dari jawalnya tidak didesain dalam kerangka tertentu, maka akan selalu berbeda dengan forum yang saya sebut sebagai dialog utara-selatan.

Contoh konkrit misalnya, sebuah lembaga yang kesulitan untuk menemukan figur kepala sekolah. Hal ini dimungkinkan karena di sekolah tersebut selama sejarahnya, yang menjadi kepala sekolah adalah mereka yang pensiun dari lembaga pemerintah. Ketika kepala sekolah tersebut harus benar-benar istirahat karena kemampuan fisiknya yang berkurang, akan ada pengganti yang juga pensiun dari lembaga pemerintah yang lain. Demikian terus menerus. Ini memang beralasan, karena yang pensiun tersebut selalu mereka yang memiliki reputasi sebagai pejabat di lembaganya dulu. Minimal sebagai Pengawas Sekolah. Bahkan ada yang mantan Kepala Dinas.

Nah, ketika lembaga merubah paradigma, ini juga karena desakan perkembangan daya saing, maka pengurus lembaga tersebut menginginkan sesuatu yang berbeda. Maka forum penemuan pemimpin tersebut dilakukan dalam bentuk dialog. Dan peserta dialog adalah mereka yang direkomendasikan oleh kepala sekolah yang menjabat. Atau bisa juga guru yang ingin ikut serta meski tidak direkomendasikan kepala sekolahnya. Dan ketika dialog tersebut berlangsung, saya menawarkan diri agar untuk sementara kepala sekolah tidak ikut hadir di dalamnya. Ini karena forumnya telah diakadkan untuk menemukan figur kepala sekolah dari dalam lembaga itu sendiri.

Memang kadang terjadi pembicaraan tentang seputar reputasi kepala sekolah selama ini. Ini jika
reputasi tersebut benar-benar telah mencapai pada tahapan kronis. Tetapi guru yang memiliki visi ke depan dan berfikiran sebagai bagian dari sistem, akan selalu membawa arus dialog kepada bagaimana kita bergerak ke depan dari sekarang ini. Ia akan mengajak kita semua untuk memikirkan siapa kita, dimana kita, akan kemana kita, dan bagaimana kita seharusnya.

Mereka akan menyampaikan itu semua dalam kerangka berfikir yang jujur dan matang. Tidak dibalut dengan gaya bahasa yang kita merasakan dibuat-buat atau sebagai acting. Meski ia belum tahu apa solusi atau juga alternatif yang dapat kita tempuh, tetapi setidaknya kita tahu siapa diri kita, dan harus bagaimana kita selanjutnya.

Dengan demikian, bagi saya, dialog seperti ini benar-benar telah membuka ruang-ruang yang pada saat komunikasi sehari-hari tampak baik-baik saja. Sehingga dengan ini pula maka kita dapat memahami secara lebih jujur dan lebih akurat tentang apa yang terdapat di dalam atau bahkan dasar sebuah kolam. Sehingga jika pemilihan pemimpin yang menjadi tujuan dari dilakukannya dialog tersebut, atau mungkin pengembangan sekolah yang lebih baik lagi, kita dapat mendapatkan gambaran yang relatif lebih pasti.

Hanya harus pula kita sadari bahwa, apa yang kita lakukan dalam dialog tersebut adalah capital pertama. Sehingga masih diperlukan perenungan dan data tambahan untuk tahapan berikut sampai pada pengambilan sebuah keputusan. Tetapi saya ingin menyampaikan bahwa sebuah dialog terbuka dengan forum yang khusus sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas adalah sebuah kesempatan bagi kita untuk mengetahui siapa sesungguhnya kita, merefleksi diri di hadapan sebuah cermin, dan melihat masa depan yang lebih baik lagi.

(Sumber: Harian Pelita, 5 Juni 2007)

04 February 2009

Ponten

Ketika pada masa awal menjadi guru, banyak pengalaman yang saya alami berkenaan dengan kompetensi, pola komunikasi dan sosial saya. Terutama dengan dan bersama siswa saya di dalam kelas di sekolah. Tentunya yangberkenaan dengan kekurangan saya sebagai guru yang mencari jati diri dalam menuju profesinalisme. Tidak luput juga dengan apa yang menjadi judul tulsan saya ini. Ponten.

Ini adalah kosa kata Bahasa Indonesia yang baru buat saya, yang lahir dan besar hingga lulus sekolah pendidikan guru atau SPG di desa dan ibu kota kabupaten dengan penggunaan bahasa komunikasi sehari-hari masih menggunakan bahasa daerah. Maka saat menjadi guru saya belum mengenal ponten. Sekalipun saya melahap habis novel Edy D Iskandar, Teguh Esa, Darto Singo, Motinggo Busye, atau novelis lainnya, tetapi tetap saja belum pernah bertemu dengan kosa kata satu ini.

Peristiwanya ketka ada salah satu dari siswa saya bertanya tentang hasil ulangannya apakah saya sebagai gurunya telah memberikan ponten? Saya dengan yakin tentu menjawab sudah. Lalu mengapa Bapak belum juga membagi kertas ulangan kami? Lajut siswa tersebut menuntut. Saya berjanji untuk membaginya esok hari bersama-sama dengan ulangan lainnya yang masih ada pada saya. 

Benar saja. Esok harinya, siswa tersebut menghampiri saya ketika saya bersama teman guru lain sedang mengenakan sepatu ketika kami selesai menunaikan Shalat Dzuhur. Katanya sudah diponten, kok belum juga dikembalikan? Belum dibagikan kepada kami? Tuntut siswa saya lagi. Tentu tuntutan yang sangat masuk di akal. Karena memang hari ini saya berjanji untuk mengembalikan dan membagikan hasil ulangan mereka. Dan tentunya saya tetap mengatakan akan dibagi. Hingga siswa saya itu pun berlalu meninggalkan saya dengan penuh heran. Betapa tidak. Saya katakan ulangan mereka sudah selesai saya periksa dan saya beri ponten, tetapi saya belum juga mengembalikan atau membagikan ulangan tersebut. Lalu apa maksud saya? Begitu tentu pikir siswa saya.

Teman yang disamping bertanya kepada saya. Bapak tahu ngak apa maksud dia? Katanya. Saya tahu. Jawab saya yakin. Bapak tahu apa artinya ponten? Lanjut teman saya lagi. Tidak. Apa yang dimaksud dengan ponten? Tanya saya balik. Ponten itu nilai. Diponten itu dinilai. Jadi siswa Bapak tadi minta ulangan mereka kalau Bapak sendiri telah selesai memeriksa dan memberi ponten segera diberikan kepada mereka!
Deg! Saya langsung menyadari dan memahami apa yang diminta siswa saya sejak kemarin. Dan tanpa membuang waktu lagi saya segera menuju ruang kelas dan memberikan kertas ulangan siswa yang telah saya ponten kepada seluruh siswa yang kebetulan belum pulang.

Sikap Terbuka

Apa yang pernah saya alami tersebut adalah proses penundaan kemajuan yang secara sadar atau tidak saya telah lakukan untuk diri saya sendiri. Karena sejak awal siswa saya mengatakan ponten dan saya sendiri tidak terlalu memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan, saya tidak segera melakukan konfirmasi atau secara berterus terang bertanya balik apa yang dia maksud dengan kosa kata itu. Saya memilih untuk berdiam dan berusaha memecahkan persoalan tersebut tanpa ada proses keterlibatan pihak lain, yang mungkin akan memberikan jalan keluar. 

Mungkin saya waktu itu sangat percaya diri untuk mampu memahami sepenuhnya apa yang siswa saya, yang masih berusia 6-7 tahun, itu katakana atau maksudkan. Namun itu semua diluar kenyataan yang ada. Saya tetap tidak mampu memahami apa yang dimaksud siswa saya. Hingga pihak ketiga memberikan pertolongan kepada saya. Sekarang saya menyadari. Bahwa ini semua karena saya tidak cukup memiliki sikap terbuka atau sikap berterus terang.

Sikap dimana saya harus mengakui bahwa apa yang mereka maksud atau katakana, saya belum mampu memahaminya. Atau keberanian saya untuk mengatakan bahwa saya belum faham. Sikap tidak terbuka itu yang menyebabkan ilmu saya tentang ponten harus memakan waktu lebih dari satu hari. Sebuah jangka waktu yang tidak efektif bagi sebuah proses pembelajaran.

Sikap tidak terbuka itu terlahir karena saya melihat bahwa siswa saya bukan sumber belajar saya. Bahwa saya secara keilmuan berada pada tataran strata yang lebih tinggi. Belenggu inilah yang memicu perlambatan proses belajar saya. 

Sekarang, saya melihat peristiwa dua puluh tahun lalu itu sebagai mutiara yang berkilau. Yang mampu memberikan cermin untuk saya sendiri. Sebuah cermin untuk jujur pada diri sendiri dan terbuka mengatakannya kepada pihak yang belum mampu saya fahami. 

Semoga ini menjadi bekal belajar saya berikutnya. Tidak saja yang berkenaan dengan ponten, tetapi tentang berbagai hal yang mungkin jauh lebih luas dan kompleks!