Siang itu, Pak Guru yang masuk kelas dan seharusnya mengisi pelajarannya di kelas 12, di sebuah sekolah menengah atas negeri di Jakarta, tiba-tiba berbicara lain. Bukan tentang materi pelajaran dari mata pelajaran yang seharusnya diampunya, ttapi justru tentang hal yang lain, yang tidak kaitannya dengan agar kami dapat mengerjakan ulangan. Mungkin ini dilema yang harus ia alami semenjak menjadi tenaga guru honor lebih kurang lima belas tahun lalu sesuai apa yang disampaikan kepada siswanya.
Tentu, salah satu siswa yang ada di dalam kelas itu adalah aku. Untuk ilustrasi saja, bahwa ketika menginjakkan kaki di kelas 12 pada bulan Juli lalu, sekolah tiba-tiba menjadi berbeda. Ini berawal dari informasi di koran tentang bagaimana Pak Foke mendeklarasikan Wajib Belajar hingga bangku SMA di Jakarta. Padahal pada awal Juli itu, saat pendaftaran ulang, Aku telah membayar uang sekolah yang dinamakan iuran di sekolahku, sebesar Rp. 275 ribu.
Dilaur apakah kebijakan itu sebagai upaya Pak Foke mengambil hati kami yang sudah duduk di bangku akhir SMA agar suara naik dan dapat menjadi gubernur terpilih DKI Jakarta, yang jelas, iuran di sekolahku menjadi tidak ada. Dan kala itu pula aku belajar tentang istilah BOP atau Bantuan Operasional Sekolah. Yang kebetulan juga ayahku mendapat artikelnya di sebuah web pendidikan.
Dalam perjalanan waktu, ternyata bukan gratis, karena iuran bulanan yang besarnya Rp 275 ribu per bulan itu diganti dengan iuran sebesar Rp 50 ribu per bulan dengan alokasi untuk biaya AC dan kebersihan. Dan khusus kelas 12, aku dan teman-teman diminta untuk mengiur biaya kelas 12 seperti biaya bimbingan belajar dan perpisahan.
Namun cerita ternyata masih berlanjut. Ini berawal dari pertemuan antara sekolah yang digawangi oleh Kepala Sekolah tanpa pendamping Komite Sekolah, sebagaimana biasanya yang terjadi di sekolah-sekolah negeri lainnya, dengan orangtua siswa guna menyampaikan anggaran tersebut. Dan ketika orangtua bertanya apakah anggaran yang dipresentasikan tersebut dapat diminta kopinya, karena merasa ingin jelas serta transparan, dan ditolak, maka pada pekan berikutnya AC sekolah yang ada di setiap kelas tidak dinyalakan. Juga kebersihan tidak terjaga.
Lalu, apa hubungannya dengan curhat Pak Guru honor di atas?
Hubunganya adalah pengakuan Pak Guru tersebut di depan kelasku bahwa ia telah selama dua bulan ini belum mendapatkan hornor dari sekolah. Kok bisa? Mungkin saja bisa.
Tapi karena keterbatasanku sebagai siswa, maka aku coba untuk melihat apa itu BOP yang menjadi pemicu bagi sekolah gratis di DKI Jakarta tersebut. Dan dari artikel yang ditandatangani Fauzi Bowo selaku Gubernur saat itu, bahwa dana yang akan diterima sekolahku sebesar RP 410 ribu per bulan per siswa. Artinya, bukankah jika dibandingkan dengan iuranku dan teman-teman yang hanya Rp 275 ribu per bulan per siswa jauh lebih besar?
"Tunggu dulu," kata ayahku.
"Sangat boleh jadi bahwa uang sebesar Rp 410 ribu itu ketika sampai di sekolah, atau minimal ketika akan di alokasikan ke dalam anggaran yang ada besarannya sudah tidak Rp 410 ribu lagi?" lajut ayahku.
"Kok bisa Ayah?" sergahku.
"Mungkin bisa. Karena ayah juga tidak berpengalaman soal itu." Kata ayah lagi.
Perbincangan kami masih terus berlanjut. Tetapi karena ayahku tidak menguasai, maka aku akhiri saja disini.
Mungkin ada teman yang ada di SMA Negeri lain di DKI Jakarta ini punya pengalaman yang sama? Karena boleh jadi strategi itu menjadi 'kesepakatan'?
Tentu, salah satu siswa yang ada di dalam kelas itu adalah aku. Untuk ilustrasi saja, bahwa ketika menginjakkan kaki di kelas 12 pada bulan Juli lalu, sekolah tiba-tiba menjadi berbeda. Ini berawal dari informasi di koran tentang bagaimana Pak Foke mendeklarasikan Wajib Belajar hingga bangku SMA di Jakarta. Padahal pada awal Juli itu, saat pendaftaran ulang, Aku telah membayar uang sekolah yang dinamakan iuran di sekolahku, sebesar Rp. 275 ribu.
Dilaur apakah kebijakan itu sebagai upaya Pak Foke mengambil hati kami yang sudah duduk di bangku akhir SMA agar suara naik dan dapat menjadi gubernur terpilih DKI Jakarta, yang jelas, iuran di sekolahku menjadi tidak ada. Dan kala itu pula aku belajar tentang istilah BOP atau Bantuan Operasional Sekolah. Yang kebetulan juga ayahku mendapat artikelnya di sebuah web pendidikan.
Dalam perjalanan waktu, ternyata bukan gratis, karena iuran bulanan yang besarnya Rp 275 ribu per bulan itu diganti dengan iuran sebesar Rp 50 ribu per bulan dengan alokasi untuk biaya AC dan kebersihan. Dan khusus kelas 12, aku dan teman-teman diminta untuk mengiur biaya kelas 12 seperti biaya bimbingan belajar dan perpisahan.
Namun cerita ternyata masih berlanjut. Ini berawal dari pertemuan antara sekolah yang digawangi oleh Kepala Sekolah tanpa pendamping Komite Sekolah, sebagaimana biasanya yang terjadi di sekolah-sekolah negeri lainnya, dengan orangtua siswa guna menyampaikan anggaran tersebut. Dan ketika orangtua bertanya apakah anggaran yang dipresentasikan tersebut dapat diminta kopinya, karena merasa ingin jelas serta transparan, dan ditolak, maka pada pekan berikutnya AC sekolah yang ada di setiap kelas tidak dinyalakan. Juga kebersihan tidak terjaga.
Lalu, apa hubungannya dengan curhat Pak Guru honor di atas?
Hubunganya adalah pengakuan Pak Guru tersebut di depan kelasku bahwa ia telah selama dua bulan ini belum mendapatkan hornor dari sekolah. Kok bisa? Mungkin saja bisa.
Tapi karena keterbatasanku sebagai siswa, maka aku coba untuk melihat apa itu BOP yang menjadi pemicu bagi sekolah gratis di DKI Jakarta tersebut. Dan dari artikel yang ditandatangani Fauzi Bowo selaku Gubernur saat itu, bahwa dana yang akan diterima sekolahku sebesar RP 410 ribu per bulan per siswa. Artinya, bukankah jika dibandingkan dengan iuranku dan teman-teman yang hanya Rp 275 ribu per bulan per siswa jauh lebih besar?
"Tunggu dulu," kata ayahku.
"Sangat boleh jadi bahwa uang sebesar Rp 410 ribu itu ketika sampai di sekolah, atau minimal ketika akan di alokasikan ke dalam anggaran yang ada besarannya sudah tidak Rp 410 ribu lagi?" lajut ayahku.
"Kok bisa Ayah?" sergahku.
"Mungkin bisa. Karena ayah juga tidak berpengalaman soal itu." Kata ayah lagi.
Perbincangan kami masih terus berlanjut. Tetapi karena ayahku tidak menguasai, maka aku akhiri saja disini.
Mungkin ada teman yang ada di SMA Negeri lain di DKI Jakarta ini punya pengalaman yang sama? Karena boleh jadi strategi itu menjadi 'kesepakatan'?
Jakarta, 27-28 Nopember 2012.