Belum ada bekas tetes hujan di hamparan tanah pekarangan rumah, ketika saya datang untuk mengunjungi keluarga di kampung halaman. Itu juga terlihat dari bersihnya tanah pekarangan dari rerumputan yang biasanya menutupi permukaan tanah. Hanya terlihat beberapa tanaman umbi yang masih muda usia. Tunas-tunas tanaman yang mengingatkan saya kepada masa lalu. Masa kecil dimana saya tumbuh di desa ini.
Ada beberapa tanaman umbi itu yang diwaktu kecil benar-benar menjadi bagian inheren dalam hidup saya dan seluruh anggota keluarga. Karena umbi-umbian itulah yang menjadi makanan pengganti, kadang bukan lagi sekedar penambah, baik untuk sarapan pagi, atau makan sore. Bahkan diantara tanaman dari umbi yang kebetulan sedang tumbuh di pekarangan yang saya foto pada siang itu, ada yang kemudian diolah lagi untuk menjadi pengganti makan siang kami di desa. Sebuah pengalaman yang tiba-tiba tergambar kembali begitu kaki saya menginjakkan kaki tanah kering itu.
Tunas-tunas umbi yang mulai menyembul dari tanah itu, seperti tanda bagi kami bahwa tetes air hujan tidak akan lama lagi membasahi tanah-tanah kering. Ya, seperti juga pada waktu akan mulainya musim kemarau, diantara tanaman umbi itu, ada yang ketika kemarau akan datang mulai mengeringkan daun dan batangnya. Daun yang berjari-jari selayaknya daun pepaya namun dengan batang yang ada di bagian tengahnya sehingga memberi kesan semacam payang, itulah pohon suweg. Sebagaimana saya temukan pada pertengahan bulan April tahun ini, 2012, ketika pohon itu meninggalkan lubang di permukaan tanah dengan batang yang belum mengering benar. Sebuah tanda juga bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk menikmati umbi suweg yang berbentuk tidak terlalu bulat.
Tidak saja suweg, ada lagi satu tanaman umbi yang ketika siang itu masih bertunas. Dari tunasnya, kelihatan seberapa besar umbi yang yang ada dibalik permukaan tanah. Itulah umbian yang lebih enak dan lebih membuat kangen. Umbi yang ketika dimasak sudah cukup usia sehingga merekah lunak atau mempur, berwara ungu. Itulah uwi.
Dan dari dua umbi yang hingga sekarang masih mudah saya temui di pekarangan rumah itu, akan terlalu sulit untuk menjadi suguhan pengganti makan malam kami sore itu. Makan malam untuk istri dan anak-anak saya, yang memang tidak mengenal umbi-umbian itu sejak hadir di dunia.
Dengan itulah saya berpikir bahwa akan menjadi langkalah umbi-umbi itu untuk tetap lestari dan tumbuh berbiak di pekarangan rumah manakala generasi berikut kami tidak mengenalnya. Itulah bayangan masa depan saya tentang makanan dari umbi-umbian yang hingga kini, alhamdulillah, masih mewarnai hamparan pekarangan rumah kami di desa.
Jakarta, 03 Nopember 2012.
Tunas suweg Dok Pribadi. |
Tunas-tunas umbi yang mulai menyembul dari tanah itu, seperti tanda bagi kami bahwa tetes air hujan tidak akan lama lagi membasahi tanah-tanah kering. Ya, seperti juga pada waktu akan mulainya musim kemarau, diantara tanaman umbi itu, ada yang ketika kemarau akan datang mulai mengeringkan daun dan batangnya. Daun yang berjari-jari selayaknya daun pepaya namun dengan batang yang ada di bagian tengahnya sehingga memberi kesan semacam payang, itulah pohon suweg. Sebagaimana saya temukan pada pertengahan bulan April tahun ini, 2012, ketika pohon itu meninggalkan lubang di permukaan tanah dengan batang yang belum mengering benar. Sebuah tanda juga bahwa saat itulah waktu yang tepat untuk menikmati umbi suweg yang berbentuk tidak terlalu bulat.
Tidak saja suweg, ada lagi satu tanaman umbi yang ketika siang itu masih bertunas. Dari tunasnya, kelihatan seberapa besar umbi yang yang ada dibalik permukaan tanah. Itulah umbian yang lebih enak dan lebih membuat kangen. Umbi yang ketika dimasak sudah cukup usia sehingga merekah lunak atau mempur, berwara ungu. Itulah uwi.
Dan dari dua umbi yang hingga sekarang masih mudah saya temui di pekarangan rumah itu, akan terlalu sulit untuk menjadi suguhan pengganti makan malam kami sore itu. Makan malam untuk istri dan anak-anak saya, yang memang tidak mengenal umbi-umbian itu sejak hadir di dunia.
Tunas uwi. Dok: Pribadi. |
Jakarta, 03 Nopember 2012.
No comments:
Post a Comment