Tampaknya dari tahun ke tahun, dari pengalaman kami yang mendapat jatah piket menjaga anak pada saat
kepulangan siswa, semakin tidak mungkin membubarkan mereka dari permainan futsalnya di lapangan sekolah untuk segera
pulang. Ketika peluit saya bunyikan sebagai tanda pembubaran, mereka menawar agar masih boleh menunggu penjemput dengan bermain bola paling tidak lima belas menit lagi.
Dan dengan demikian maka kami pun harus tetap berada di lokasi bersama mereka. Padahal saat itu jam tangan saya telah menunjukkan pukul 16.15.
Dan menurut perhitungan yang saya ingat, setidaknya hingga dua tahun lalu, anak-anak itu telah dengan sukarela meninggalkan sekolah untuk kemudian melanjutkan kegiatan di luar sekolah dalam bentuk kursus, atau mengikuti les privat, atau untuk istirahat di rumah ketika kami bunyikan peluit tepat pada pukul 16.00. Dan bila masih ada beberapa anak yang tetap tinggal di sekolah dengan bermain futsal, maka kami berikan toleransi hingga pada pukul 16.15. Dan pada jam tersebut, mereka begitu mudah untuk bubar dan membubarkan diri.
Namun belakangan ini anak-anak tampak tidak begitu mudah untuk pulang ke rumah meski waktu telah menunjukkan pukul 16.15, mereka tetap bertahan untuk tetap bermain futsal, atau sekedar duduk-duduk di pinggiran lapangan sembari menunggu yang menjemput mereka. Memang tidak semua siswa kami yang tetap tinggal di lapangan hingga sesore itu. Tetapi mereka-mereka yang bagaimanapun harus tetap kami tunggui.
Bahkan suatu kali ada orangtua siswa kami yang harus menulis di status BB-nya; need peluit Pak Agus. Ini karena hingga nyaris pukul 17.00, si anak tetap bertahan di lapangan dan belum mau pulang. Sedang peluit yang dimaksudkan adalah peluit yang biasa saya gunakan sebagai aba-aba agar anak-anak membubarkan diri ketika memang waktu mereka sudah habis di sekolah. Begitulah.
Betah di Sekolah Apakah tidak Betah di Rumah?
Dengan kondisi itu, sejujurnya saya tidak persis mengetahui mengapa. Tetapi dengan melihat fenomena yang ada, tampaknya bagi anak-anak tertentu rumah dengan aktivitas fisik yang semakin minim belakangan ini bukan solusi bagi mereka untuk segera kembali ke rumah. Karena ketika mereka telah kembali ke rumah, maka aktivitas yang menjadi pilihan adalah kegiatan-kegiatan non fisik, seperti main games, nonton film, atau nonton tv, atau mungkin hanya menghabiskan waktunya hingga malam dengan berjejaring sosial.
Tidak ada lagi kegiatan luar rumah yang akan menjadi tantanga perkembangan fisik mereka seperti bermain sepada, bemain bola, atau kegiatan berbasis komunal seperti ikut sekolah sore (madrasah atau TPA). Itulah maka, anak-anak kami di sekolah itu belakangan hari semakin sulit untuk diminta sesegera mungkin meninggalkan sekolah begitu keluar dari kelas.
Itulah cacatan saya hari ini.
Yogyakarta, 16/11/12.
Dan menurut perhitungan yang saya ingat, setidaknya hingga dua tahun lalu, anak-anak itu telah dengan sukarela meninggalkan sekolah untuk kemudian melanjutkan kegiatan di luar sekolah dalam bentuk kursus, atau mengikuti les privat, atau untuk istirahat di rumah ketika kami bunyikan peluit tepat pada pukul 16.00. Dan bila masih ada beberapa anak yang tetap tinggal di sekolah dengan bermain futsal, maka kami berikan toleransi hingga pada pukul 16.15. Dan pada jam tersebut, mereka begitu mudah untuk bubar dan membubarkan diri.
Namun belakangan ini anak-anak tampak tidak begitu mudah untuk pulang ke rumah meski waktu telah menunjukkan pukul 16.15, mereka tetap bertahan untuk tetap bermain futsal, atau sekedar duduk-duduk di pinggiran lapangan sembari menunggu yang menjemput mereka. Memang tidak semua siswa kami yang tetap tinggal di lapangan hingga sesore itu. Tetapi mereka-mereka yang bagaimanapun harus tetap kami tunggui.
Bahkan suatu kali ada orangtua siswa kami yang harus menulis di status BB-nya; need peluit Pak Agus. Ini karena hingga nyaris pukul 17.00, si anak tetap bertahan di lapangan dan belum mau pulang. Sedang peluit yang dimaksudkan adalah peluit yang biasa saya gunakan sebagai aba-aba agar anak-anak membubarkan diri ketika memang waktu mereka sudah habis di sekolah. Begitulah.
Betah di Sekolah Apakah tidak Betah di Rumah?
Dengan kondisi itu, sejujurnya saya tidak persis mengetahui mengapa. Tetapi dengan melihat fenomena yang ada, tampaknya bagi anak-anak tertentu rumah dengan aktivitas fisik yang semakin minim belakangan ini bukan solusi bagi mereka untuk segera kembali ke rumah. Karena ketika mereka telah kembali ke rumah, maka aktivitas yang menjadi pilihan adalah kegiatan-kegiatan non fisik, seperti main games, nonton film, atau nonton tv, atau mungkin hanya menghabiskan waktunya hingga malam dengan berjejaring sosial.
Tidak ada lagi kegiatan luar rumah yang akan menjadi tantanga perkembangan fisik mereka seperti bermain sepada, bemain bola, atau kegiatan berbasis komunal seperti ikut sekolah sore (madrasah atau TPA). Itulah maka, anak-anak kami di sekolah itu belakangan hari semakin sulit untuk diminta sesegera mungkin meninggalkan sekolah begitu keluar dari kelas.
Itulah cacatan saya hari ini.
Yogyakarta, 16/11/12.
No comments:
Post a Comment