Istilah baru ini daya dapatkan dari anak saya terkecil saat bersepakat dengan
teman-sekolahnya untuk tidak berangkat ke sekolah. "Karena tidak ada guru
yang akan mengajar kita, Ayah. Mereka pergi untuk LDKS dengan siswa kelas 1 dan 2."
jelasnya sekaligus minta izin kepada saya.
"Mereka gabut yah" katanya lebih lanjut. Seolah memberi tambahan pembelaan. Kalau teman yang lain di kelasnya tidak masuk sekolah, mengapa kita tidak ikut serta ambil bagian? Begitu kira-kira jalan berpikir bontot saya itu.
"Apa maksudnya dengan gabut?" Tanya saya.
"Gaji buta." jelasnya.
"Bukankah tidak semua guru terlibat dalam LDKS?" kejar saya.
"Yang berarti akan ada guru yang tinggal di sekolah untuk tetap Mengajar?" lanjut saya lagi.
"Memang tidak semua guru ikut kegiatan LDKS. Namun yang datang ke sekolah juga tidak akan masuk kelas untuk mengajar kita. Jadi intinya tetap gabut!" jelas anak saya.
"Tapi ingat ya, Senin-nya Ayah tidak akan mau untuk membuat surat izin kamu tidak masuk sekolah." ancam saya sekaligus mengingatkannya.
"Tidak perlu surat izin Ayah. Karena kita bareng-bareng tidak masuk sekolahnya." jelasnya lagi.
Benar saja. Ketika senin sore kami berkumpul di rumah. Saya bertanya kepada anak saya tentang perkembangan kelanjutan cerita dari ketidakhadiran mereka di sekolah pada hari Jumat yang lalu.
"Apa yang terjadi pada Jumat lalu? Apakah Bapak/Íbu guru mempertanyakan keberadaan kalian yang tidak berada di dalam kelas? Berapa teman yang tidak masuk sekolah?" Tanya saya. Meski sebenarnya saya sudah tahu beberapa temannya yang memilih tidak masuk sekolah pada Jumat sore. Karena rupanya anak saya berkomunikasi dengan teman-temannya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena pelajaran hanya berlangsung sampai jam setengah sepuluh. Habis itu, guru-guru tidak ada yang masuk ke dalam kelas." Jelas anak saya.
Dari peristiwa ini, saya dapat merefleksikan diri, tentunya karena saya adalah juga guru. Betapa sesungguhnya, nak-anak itu, peserta didik kita di dalam kelas kita itu, adalah cermin yang reflektif jika kita memiliki kemauan untuk merubah diri. Hanya memang, jika ingin...
Yogyakarta, 16/11/12
"Mereka gabut yah" katanya lebih lanjut. Seolah memberi tambahan pembelaan. Kalau teman yang lain di kelasnya tidak masuk sekolah, mengapa kita tidak ikut serta ambil bagian? Begitu kira-kira jalan berpikir bontot saya itu.
"Apa maksudnya dengan gabut?" Tanya saya.
"Gaji buta." jelasnya.
"Bukankah tidak semua guru terlibat dalam LDKS?" kejar saya.
"Yang berarti akan ada guru yang tinggal di sekolah untuk tetap Mengajar?" lanjut saya lagi.
"Memang tidak semua guru ikut kegiatan LDKS. Namun yang datang ke sekolah juga tidak akan masuk kelas untuk mengajar kita. Jadi intinya tetap gabut!" jelas anak saya.
"Tapi ingat ya, Senin-nya Ayah tidak akan mau untuk membuat surat izin kamu tidak masuk sekolah." ancam saya sekaligus mengingatkannya.
"Tidak perlu surat izin Ayah. Karena kita bareng-bareng tidak masuk sekolahnya." jelasnya lagi.
Benar saja. Ketika senin sore kami berkumpul di rumah. Saya bertanya kepada anak saya tentang perkembangan kelanjutan cerita dari ketidakhadiran mereka di sekolah pada hari Jumat yang lalu.
"Apa yang terjadi pada Jumat lalu? Apakah Bapak/Íbu guru mempertanyakan keberadaan kalian yang tidak berada di dalam kelas? Berapa teman yang tidak masuk sekolah?" Tanya saya. Meski sebenarnya saya sudah tahu beberapa temannya yang memilih tidak masuk sekolah pada Jumat sore. Karena rupanya anak saya berkomunikasi dengan teman-temannya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena pelajaran hanya berlangsung sampai jam setengah sepuluh. Habis itu, guru-guru tidak ada yang masuk ke dalam kelas." Jelas anak saya.
Dari peristiwa ini, saya dapat merefleksikan diri, tentunya karena saya adalah juga guru. Betapa sesungguhnya, nak-anak itu, peserta didik kita di dalam kelas kita itu, adalah cermin yang reflektif jika kita memiliki kemauan untuk merubah diri. Hanya memang, jika ingin...
Yogyakarta, 16/11/12
No comments:
Post a Comment